Pada keesokan pagi adalah hari yang berat bagi Bara, meski tak ada petir di balik awan yang membuatnya harus takut. Serasa hadir batu berbongkah yang menindih bagian tubuhnya dari langit. Anak itu belum siuman benar pada saat tubuh yang dekil menggeliat dengan letih, kemudian ia mengepalkan tangan kiri, dan mengentak tangan kanan ke kasur dipan.
Anak itu terperanjat pada saat menyadari matanya merekat seperti lem vinil pada pagi hari yang membeku laksana embun ini, dan ia pun tersentak dari bangun tidur yang terlambat. Lantas segera bangkit dari dipan, seraya mengumpulkan buku pelajaran yang harus ia tenteng ke sekolah dengan memasukkan buku tersebut ke dalam tas berwarna biru—satu-satunya tas sekolah yang ia punya selama hidupnya. Dengan tergesa-gesa ia mencari sepatu hitam yang tercecer entah di mana, padahal sepatu itu adalah sepatu kesayangan yang sudah tiga tahun menemani perjalanan ke sekolah setiap hari.
Kalau Bara sampai terlambat tiba di sekolah akan sukar baginya untuk dapat mengelak dari hukuman, dan ia sudah dapat menebak bagaimana bentuk dari sanksi hukuman yang dengan terpaksa diterimanya di kelas. Guru kelas Bu Ramijo, biasanya tak mau kompromi dengan anak-anak yang melanggar disiplin sekolah. Tak terkecuali terhadap murid yang terlambat hadir di dalam kelas dengan alasan apa pun. Murid yang terlambat tiba di kelas, biasanya kena strap dengan berdiri seperti pesakitan di depan penghuni kelas. Lantas hukuman disiplin dijalankan oleh pesakitan sambil tangan kanan memegang kuping sebelah kiri, sedangkan tangan kiri mencengkeram kuping yang kanan. Tapi bukan itu yang membuat hati pesakitan yang kena hukuman akan teriris hatinya, melainkan rasa malu saat mata semua orang di dalam kelas akan memandangi dengan sikap remeh dan rasa kasihan terhadap pesakitan.
Tindakan yang terpikir dalam benak Bara untuk menyelamatkan diri dari hukuman adalah secepat kilat untuk melompat ke kamar mandi. Celakanya hanya satu-satunya kamar mandi di rumah mungil itu, dan ia terperanjat lagi pada saat menyadari pintu kamar mandi terkunci dari dalam. Kemudian ia menggedor pintu kamar mandi yang terbuat dari kayu, triplek, dan seng yang tipis, sekarang pintu membeku seperti benteng. Suaranya berteriak dengan lantang sambil menggedor pintu kamar mandi, berulang dengan berteriak terlalu kencang.
“Tolong. Tolong keluar dulu, Kak. Murah hati untuk menolong saya, Kak Gumontar,” ucap Bara dengan memelas.
Tak terdengar sahutan sepatah atau dua patah kata dari dalam kamar mandi.
“Guru kelas akan memberikan hukuman kalau saya terlambat sampai di sekolah, Kak Gumontar. Lekas Kakak bukakan pintu kamar mandi demi menolong saya. Berganti dulu kita di dalam kamar mandi,” kata Bara lagi.
Yang terdengar di dalam kamar mandi hanya suara orang yang menciduk air dari bak dengan gayung. Kecipak kecipung.
“Bagaimana kalau Kakak keluar dulu, supaya saya bisa lekas mandi. Saya perlu sebentar saja kok, Kakakku Sayang. Jangan lama di dalam, ayo Kakak keluar sekejap…, saya hanya butuh waktu satu menit saja kok, kalau lebih saya siap membayar denda, Kak!”
Belum juga terdengar ada suara yang menyahut dari kamar mandi. Kecemasan Bara kian memuncak pada saat pintu kamar mandi belum juga terkuak dari dalam, padahal sudah tiga menit ia bermohon di depan pintu dengan nada memelas. Anak itu merasa kesabarannya terganggu, karena permohonan yang mendesak hanya diabaikan begitu saja. Kemudian ia menggedor pintu kamar mandi dengan lebih kencang lagi.
Bagai ada harimau yang keluar dari kamar mandi, padahal orang itu adalah pria yang bongsor dengan rambut kepala hampir ubanan semua. Orang itu muncul dari dalam kamar mandi dengan wajah sangar, dan menatap dengan pandangan mata yang beringas. “Bara, kamu punya banyak kesalahan, kan. Kemarin siang kamu melengos dan melawan. Kamu lebih mementingkan kesenanganmu untuk bermain layang-layang daripada tidur siang,” kata orang itu dengan suara yang lantam. “Entah apa sebab, kamu makin sering membangkang belakangan ini.”
Setelah menyadari siapa orang yang baru keluar dari kamar mandi, kepala Bara hanya mampu untuk tertunduk. Ia kian terjerat oleh salah tingkah sewaktu mendengar hardikan yang memekakkan telinga dari suara orang itu.
“Berjemur di tanah lapang membuat kulit tubuhmu bertambah dekil. Saya dapat merasakan bau keringat yang menyengat, ternyata kemarin sore kamu nggak mandi lagi sampai menjelang tidur ya,” teriak pria yang muncul dari kamar mandi itu lagi, tanpa paham apa yang terjadi dengan anak itu pada pagi ini.
Teriakan itu membuat Bara tambah bersalah, dan terperanjat lagi. Orang yang berteriak adalah Ayahnya, yaitu Barumunsati. Laki-laki itu berteriak dengan suara lantang, dan ternyata salah duga sebab orang yang berada di kamar mandi sampai lama bukanlah Kakaknya Gumontar seperti perkiraan semula. Sekali ini Bara gagal untuk mengelak dari orang yang menyergah, dan ia kehilangan peluang buat berkilah dari kenyataan di depan mata. Tubuhnya yang kecil terlalu ringkih kalau mau membandingkan dengan tubuh pria tambun di hadapannya. Nyali Bara jadi ciut dengan hanya menggigit bibir yang mengerut. Meski gigitan pada bibir terasa sakit, belum juga dapat untuk melenyapkan rasa bersalah pada dirinya. Ketakutan bertambah kecut saat suara senggakan Barumunsati luar biasa keras, bahkan berulang dengan nyaring. Nyalinya tambah terpuruk. Tubuhnya saat itu bagai ayam laga yang terkapar kena patuk oleh ayam jago—yang bongsor, tersudut oleh tindakan yang ganas di luar perkiraan.
“Bara hanya perlu waktu sebentar di kamar mandi, Ayah,” jawab anak itu sambil menunduk. “Sekejap saja cukup.”
“Kemarin juga selalu sama alasanmu, mengaku hanya sebentar. Pergi hanya sekejap waktu. Tapi kenyataan yang terjadi kamu mengeram di tanah lapang. Di sana kamu merasa berada di surga yang lapang. Lalu sekarang kamu mau mandi kilat seperti cara mandi ayam laga yang kucel. Saya paham, kamu akan mandi seperti cara mandi ayam laga saat membasuh bulu dengan air comberan,” tukas Barumunsati dengan suara yang masih terdengar keras. “Dengan tingkah yang tergesa-gesa begitu, pastilah hanya bagian kepalamu saja yang akan tersiram oleh air, kan. Sedangkan tubuhmu nggak akan terkena guyuran air! Begitu biasanya yang akan terjadi pada orang yang mandi tergesa-gesa, kan?”
“Saya nggak akan lama kok di kamar mandi, Ayah!”
“Nah, itulah soalnya. Kamu mau mandi ala setan tanah lapang!”
Bara menyelinap ke kamar mandi dengan langkah kaki yang lincah. Saat mendekam di kamar mandi yang sempit itu, ia mengucak rambut, telinga, hidung, dan wajah. Tangannya dengan lincah menyapukan air ke bagian tubuh yang tersembunyi seperti bagian lubang hidung dan mulut. Tabung odol di tempat perkakas kebutuhan mandi, isinya tidak tersisa lagi. Pembungkus odol yang terbuat dari aluminium tipis telah dikupas berkali-kali, dan isi odol di dalamnya tandas. Terlihat warna agak kehitaman pada kulit dalam pembungkus odol, dengan terpaksa Bara menyikat gigi tanpa odol sebagai pelumas putih—pelumas yang biasanya akan membuat rasa pada mulut sedikit manis seperti senyum yang ranum. Tapi karena odol telah tandas, rasa pada mulutnya malah agak sepat.
Secepatnya pula anak itu meninggalkan kamar mandi, menyelinap ke kamarnya dengan tergesa, dan menyambar tas sekolah miliknya yang telah memuat buku pelajaran di dalam. Tali sepatu ia ikat dengan tergesa-gesa saat mengencangkan talinya—supaya jangan sampai copot di tengah jalan. Baju sekolah dan celana pendek sudah ia pakai sehari lampau, tapi masih layak untuk digunakan ulang pada pagi ini daripada memakai baju yang belum kena setrika. Sarapan pagi ia abaikan, kecuali minum seteguk air putih buat sekadar membasahi tenggorokan. Wajah Bu Ramijo saat marah kepada muridnya, jauh lebih mengerikan daripada rasa lapar di bagian perut. Bila sedang marah pada murid sekolah yang melanggar disiplin, biasanya Bu Ramijo akan terlalu galak. Mulut cerewet dengan begitu dahsyat—lebih mengerikan daripada cara kemarahan Barumunsati yang meledak-ledak. Rasa malu saat mendapat senggakan dengan saksi mata seisi kelas rasanya lebih menyakitkan lagi, sebab mengiris hati anak yang kena damprat oleh guru di depan murid-murid yang mengejek dengan tersenyum. Betapa memalukan saat dampratan terjadi di hadapan mata yang menelanjangi dan bibir yang tersenyum liris.
Bara mendatangi Barumunsati yang sedang duduk bersandar di bangku, duduk seorang diri seperti orang yang kecewa di meja makan itu. Anak itu menyambar tangan Ayahnya, mencium telapak tangan dengan memburu-buru, dan menyeruduk dengan melompat dari sana. Kelihatan kurang tulus cara anak itu sewaktu mencium tangan, sebab gayanya seperti lagak orang yang terpaksa untuk menjalani sopan santun. Mencium tangan hanya demi mengambil hati Ayah, padahal sebenarnya karena sikap ketergesa-gesaan. Sekilas Barumunsati merasakan bau keringat yang menyegat, dan bau itu belum sepenuhnya lenyap dari tubuh putranya. Barumunsati berdecit saat merasakan masih ada bau yang sepat dari tubuh yang dekil.
“Kamu nggak jadi mandi ya, Bara? Aroma tubuhmu masih terasa liar seperti bau menyengat dari kandang tikus!” kata Barumunsati sambil membentak. “Ayo pergi mandi dulu, kan kamar mandi sudah lama kosong!”
Bara melengos, merasa seolah-olah telinganya budek, enggan untuk mendengar pertanyaan maupun perintah dari Barumunsati. Ia melangkah dengan gerak yang lincah, meninggalkan Barumunsati yang masih terkesima di bangku. Barumunsati terpana sewaktu melihat kepergian Bara dengan tergesa-gesa, meski sesaat putranya sempat menoleh ke belakang. Matanya tepergok oleh lirikan mata Barumunsati—yang memandang dengan sorot mata yang tajam sekali.
“Bagaimana kamu akan belajar di kelas dengan nyaman, kalau caramu mandi saja kurang sempurna, Nak! Kamu juga mengabaikan sarapan pagi. Kalau kamu sakit, kami juga yang akan repot untuk mengurus kesembuhanmu,” teriak Barumunsati seraya mengejar putranya. “Tunggu sebentar!”
Setelah Barumunsati dapat mengejar Bara, ia menyerahkan sepotong roti yang tersimpan di bungkus plastik. Memberikan gelas plastik tempat air minum, kemudian melempar pandangan mata bernada iba dan sekaligus bercampur dengan rasa kesal terhadap putranya. Saat Bara menerima roti dan gelas air, ia merasa dirinya bersalah dan menyesal telah memicu kemarahan Barumunsati. Tapi anak itu lebih khawatir oleh rasa takut akan dimarahi oleh guru sekolah kalau terlambat tiba sampai lama. Sambil tergesa-gesa memasukkan roti dan gelas air ke dalam tas, ia berlari dengan sekuat tenaga, supaya jangan terlambat tiba di sekolah sampai lama. Rasa cemas masih terus menghantui bayangannya.
Gerbang sekolah telah tutup ketika Bara tiba di depan halaman sekolah yang cukup luas. Penjaga gerbang sekolah memandangi Bara dengan mata kiri yang jereng. Bara terkesima oleh sikap penjaga gerbang sekolah itu, tapi ia sudah paham akan jurus ampuh untuk dapat menaklukkan hati penjaga gerbang sekolah dengan selalu punya akal dan siasat yang jitu. Membujuk penjaga gerbang sekolah dengan cara yang selama ini terbukti ampuh, yaitu tersenyum sambil mengambil roti dari dalam tas, kemudian menyerahkan roti itu kepada penjaga gerbang.
“Pak Doblang yang baik hati, tadi Ayah saya menitipkan roti ini untukmu,” kata Bara seraya menyerahkan roti kepada penjaga gerbang sekolah. “Ayah berpesan, Pak Doblang harus disiplin dengan kendali diri sendiri, dan harus terbiasa untuk sarapan pagi sebelum bekerja. Sarapan pagi itu bagus, sebelum Pak Doblang melakukan aktivitas apa pun. Apalagi kalau Pak Doblang mau melakukan kegiatan yang butuh tenaga seperti membuka dan menutup pintu pagar sekolah, Bapak harus selalu sehat, tegak, dan bertenaga dengan perkasa untuk melakukannya, kan.”
“Percuma saja Nak Bara menyogok saya dengan roti,” kata Doblang, suaranya lunak. “Bu Ramijo akan tetap menghukummu di depan kelas kalau kamu terlambat tiba di sekolah. Ini pukul tujuh lewat sepuluh menit! Nak Bara memang sudah terlambat tiba loh.”
“Terimalah. Saya memberi roti ini dengan tulus kok, Pak!” jawab Bara sambil tersenyum. “Tadi saya sudah makan dua buah roti kok.”
“Tapi…, cepat masuk ke kelasmu, ya. Cium tangan gurumu, sebelum ia kesal dan naik pitam, Nak!” kata Doblang dengan suara bergetar, seraya menerima roti.
“Baiklah Pak, akan saya coba merayu dengan lembut, Pak!”
Suara Doblang yang mengucapkan terima kasih telah dibekali roti, Bara abaikan begitu saja dengan berlari tergesa-gesa ke depan kelas satu. Perlahan-lahan ia mengetuk pintu kelas, seraya memperagakan raut wajah yang penuh dengan penyesalan. Seseorang membukakan pintu kelas dengan gerakan lambat, membuat Bara terperanjat saat orang yang dihadapinya adalah seorang laki-laki yang bertubuh besar, jangkung, berkaca mata tebal, dan kulitnya putih. Tangan laki-laki itu disambarnya sambil membungkuk dengan rasa hormat.
“Bara, kemarin siang kamu berlaga layang-layang lagi sampai magrib ya,” kata guru itu dengan suara keras. “Kemarin kamu tidak tidur siang, kan! Oh, ternyata kamu juga terlambat bangun tidur pada pagi ini. Kemarin sore ada orang asing yang menghardikmu di tanah lapang, kan….”
Hah? Guru ini tahu banyak hal tentang kegiatan saya di tanah lapang, pikir Bara dengan heran. Siapa yang telah membocorkan rahasia kepada orang ini? Bara hanya dapat memendam rasa penasaran dan seribu pertanyaan lain muncul dalam benaknya.
“Menjelang pergi ke sekolah tadi, kamu tergesa-gesa dan belum sarapan pagi di rumahmu, kan. Kamu menyogok penjaga gerbang sekolah. Oh, banyak sekali catatan kesalahanmu pada pagi ini,” lanjut guru itu sambil memelintir kumis yang tipis.
Bara terdiam. Kepalanya tertunduk dengan lesu. Ia menggigit bibir, tapi tak menimbulkan rasa sakit. Muncul rasa khawatir kalau guru itu akan mencium bau tubuh yang menyengat dari balik bajunya. Ia merasa akan lebih malu lagi kalau guru itu membeberkan bau tubuh yang menyengat kepada teman-teman sekelas. Betapa malu sekiranya guru itu mengucap: bau tubuhmu seperti bau ikan asin yang terpanggang matahari, ucap Bara membayangkan dalam hati. Ia tak dapat lagi berpikir jernih, bagaimana guru itu bisa tahu persis akan kebenaran yang diucapkan mulutnya. Perasaan bersalah kian melekat di hati murid sekolah itu, menyeretnya jadi kikuk.
Pandangan mata kawan-kawan yang menaruh curiga masih tertuju pada Bara. Di dalam hati Bara merasa bersalah, apalagi sorot mata kawan-kawan sekelas sebegitu culas. Mereka menantikan apa yang akan terjadi terhadap Bara, tentu saja menanti bentuk hukuman yang begitu nyata, atau apa akibat dari keterlambatan masuk kelas sekolah pagi ini. Seperti apa wujud sanksi hukuman terburuk yang akan diberikan guru kepada Bara, sungguh melecut penasaran teman-teman sekelas.
Guru yang bertubuh besar, berkulit putih, dan berkaca mata tebal adalah Sulaeman, Kepala Sekolah SMP Sahabat Sejati. Sulaeman yang juga berkumis sering merangkap sebagai guru kelas untuk menggantikan guru yang berhalangan hadir di sekolah. Selama ini, ia dikenal sebagai guru yang berdisiplin tinggi pada saat mengajar di kelas atau mengawasi administrasi pendidikan. Wataknya keras dan suka menggurui murid dengan berbagai petuah yang kadang-kadang terasa usang bagi murid yang pintar. Sungguh di luar dugaan, Bara tak menyangka kalau pagi ini adalah Sulaeman yang sedang mengajar di kelas satu sebagai guru pengganti.
Bara hanya dapat menduga-duga akan bayangan buruk yang terjadi dengan dirinya, karena akan menjalani sanksi hukuman oleh Sulaeman yang kemungkinan hukuman itu lebih keras daripada hukuman Bu Ramijo—kalau terlambat tiba di kelas sekolah. Tapi hukuman berupa sorot mata yang menelanjangi dari kawan-kawan sekelas Bara jauh lebih menyiksa baginya, seolah-olah dirinya manekin yang berada di toko busana tempat menjual pakaian anak-anak dan remaja. Kalau saja Bara yang seolah-olah adalah manekin, dan duduk berdekatan dengan mereka, mungkin akan ada teman sekelas yang iseng mencubit karena gemas dan sekaligus kesal padanya.
“Saya siap menerima hukuman, Pak Guru!” ujar Bara sambil menggigit bibir perlahan. “Saya pasrah kok.”
“Tanpa kesiapanmu pun, sanksi hukuman bagimu harus tetap dijalankan,” kata Sulaeman. “Semua peraturan disiplin sekolah kan sudah disampaikan oleh Bu Ramijo! Siapa pun yang melanggar peraturan dan disiplin sekolah, wajib untuk mematuhi perintah dari guru. Si pelanggar disiplin harus siap dan ikhlas menerima hukuman sebagai sanksi atas kelalaian dirinya.”
Nyali Bara makin ciut saat mendengar suara bariton sang guru yang bernada mengancam. Lalu Sulaeman menyuruh murid yang terlambat untuk berdiri dengan satu kaki di dekat papan tulis berwarna kehitam-hitaman. Sambil mencuri pandang ke arah pojok tempat duduknya, Bara berdiri tegak dengan satu kaki—seperti petugas keamanan yang tertimpa hukuman oleh komandan jaga. Murid itu juga bersiap siaga untuk menerima perintah yang lantang, atau perintah baru berbeda dari komandan yang menjatuhi hukuman.
“Kaki kananmu telah kamu angkat setengah lipatan. Kini giliran tangan kiri yang harus memegang telinga pada sebelah kanan, begitu pula dengan tangan yang sebaliknya,” kata Sulaeman. “Lalu sampaikan pernyataan berupa janji, bahwa pada lain hari nanti, kamu tak akan terlambat lagi tiba di sekolah.”
Perlahan-lahan Bara melipat kaki kanan sekali lagi karena pegal, sementara tangan kiri menjangkau telinga yang kanan. Lalu tangan yang kanan menjangkau telinga yang sebelah kiri. Sebagian murid kelas yang lain terdiam melihat tingkah terhukum yang uring-uringan. Tapi ada murid lain yang justru menahan tawa sambil menutup wajah dengan telapak tangan. Ada pula murid yang tersenyum simpul, karena merasakan adanya kemenangan pada saat menyaksikan teman tersiksa ketika menjalani hukuman itu. Di antara mereka ada pula murid yang bersorak dalam hati tatkala menyaksikan hukuman yang menimpa Bara, seolah-olah peragaan hukuman guru menjadi hiburan gratis pada pagi hari ini.
“Saya berjanji setia kepada sekolah kami ini, Pak. Nanti untuk waktu ke depan saya akan selalu berdisiplin. Tidak akan terlambat lagi tiba di sekolah, ” kata Bara mengucap janjinya. “Bila saya mengulangi keterlambatan sekali lagi, dan saya terlambat tanpa alasan yang tepat, saya bersedia menjalani hukuman yang lebih dahsyat nantinya. Apa pun tugas tambahan dari guru sekolah akan saya laksanakan dengan suka rela untuk menebus kelalaian dan kesalahan saya.”
Setelah sepuluh menit Bara menjalani hukuman dengan kaki terangkat sebelah sambil tangan memegangi telinga, Sulaeman segera menyuruh murid itu untuk istirahat pada bangku duduk yang berada di sebelah pojok. Suara riuh teman-teman sekelas Bara terdengar menyambutnya bergabung kembali, dan belajar bersama-sama di dalam kelas. Senyum Bara terasa kecut saat ia berjalan menuju ke arah pojok yang selama ini setia jadi bangku tempat duduknya. Perasaan malu di dalam hati karena kena setrap, belum sepenuhnya dapat dilenyapkannya. Apalagi masih tersisa sorot mata teman sekelas yang seolah-olah mencemooh Bara.
“Dengarkan baik-baik, anak-anak,” kata Sulaeman sambil berkacak pinggang. “Disiplin kalian di dalam menjalani pelajaran sekolah adalah salah satu modal dasar bagi kalian dalam menjalani kehidupan yang teratur.”
“Kami dengar kok, Pak,” jawab Ronggur, salah satu murid yang duduk di depan.