Kejadian Bara terlambat tiba di sekolah dan mendapat hukuman setrap dari guru yang terjadi pagi tadi di dalam kelas, begitu membekas baginya. Luka yang ditimbulkan oleh hukuman disiplin itu cukup dalam, bagai onggokan sampah yang menyempil di pinggir jalan. Menambah rasa sepi dan kesendirian bagi penyesalannya. Kini ia merasa kalau guru sekolahnya tak mau mengerti bagaimana dengan perasaan yang tertekan sewaktu ikut terluka oleh hukuman setrap itu.
Okelah, harus ada ganjaran bagi pelanggar disiplin sekolah sesuai dengan aturan yang berlaku. Harus ada orang yang jadi korban karena lalai dan terlambat tiba di sekolah dengan menghukum. Harus ada yang jadi bahan canda, dan sesekali bahan untuk mengejek sesorang yang merana dengan kelalaiannya. Itulah sosok Bara yang malang dengan kesendiriannya. Tatkala ia betul-betul kena setrap pada diri sendiri, cukup menyakitkan bagi luka yang tersisa. Luka yang terasa pedih begitu menohok ke ulu hati, bagai tersayat sembilu, ucap Bara pada dirinya.
Bara merasa dirinya hanya sendiri. Tak ada tempat lagi untuk berbagi kesedihan. Tak ada sosok Ibu yang dapat melerai dukanya yang meleleh. Tak ada tempat untuk mengisahkan laranya. Untunglah pada saat yang tepat Septiana datang untuk menghibur. Tapi itu belum cukup bagi Bara. Bayang-bayang dirinya sebagai orang yang kalah, begitu membekas dalam lukanya. Perlakuan orang asing di tanah lapang saat bermain layang-layang, juga masih terasa menggores ulu hatinya. Saya harus bangkit, jangan sampai terpuruk lebih jauh lagi, pikir Bara untuk meneguhkan kekuatan hatinya.
Meski masih dalam suasana melankoli pada sore hari ini, Bara mencoba untuk menghibur diri dengan apa yang bisa dilakukannya. Ia duduk sendiri di depan televisi hitam-putih di rumahnya seperti orang yang terasing dari sekeliling. Televisi itulah hiburan masa kini baginya, sesekali di sana muncul cuplikan yang mengajak penonton hanyut dalam promosi film yang diputar dalam satu acara hiburan. Menonton siaran televisi satu-satunya di republik ini memang menyenangkan, setidaknya begitulah perasaan yang muncul dengan terpaksa. Lalu kisah pengalaman Septiana yang dikejar-kejar oleh anjing pada hari yang lalu, mendorong Bara untuk menonton film ini dengan lebih tekun. Jangan sampai saya melewatkan film seri yang diputar oleh TVRI itu, sayang kalau ketinggalan cerita, ucap Bara dalam hati. Apalagi ia memang menyukai film petualangan The Adventures of Rin Tin Tin. Pada beberapa episode film itu pada pekan yang lalu, film ini bukan hanya soal cerita tentang seekor anjing. Tapi ramuan perang juga mewarnai film itu, yaitu perang pada zaman dulu antara pasukan Amerika dengan suku Indian, dan kehadiran pencoleng-pencoleng yang ganas pada masa itu. Bau mesiu terungkap dalam kisah-kisahnya, sedangkan adu jotos oleh para tokoh cerita terasa mengerikan sekali. Betapa hidup penuh dengan gejolak yang tak menentu. Dinamika hidup penuh dengan perjuangan yang tak mudah untuk melaluinya. Kisah heroik yang lainnya, ikut jadi daya tarik yang khas dan memikat hati bagi Bara, sekaligus memperkaya pengalaman hidup bagi penonton film itu. Film bukan hanya sekadar hiburan perentang waktu senggang saja, tapi juga bertumpuk pelajaran hidup yang dapat dipetik darinya.
Dalam episode Rin Tin Tin in Apache Horses, lain lagi cerita yang terjadi dan memang unik. Karena episode itu berkisah tentang yatim piatu si Rusty—yang selamat ketika kereta api yang ditumpanginya mengalami kejadian yang mengerikan. Kereta api itu kena gasak oleh suku Indian. Rusty bersama Rin Tin Tin akhirnya bergabung dengan pasukan Kavaleri No. 101. Pada saat itu pasukan ini punya markas di Benteng Apache di Arozana.
“Hei, kamu si bocah Rusty yang berpangkat kehormatan Kopral,” teriak Bara pada saat merasa terharu. “Lihatlah, Rusty dan Rin Tin Tin menjadi jagoan. Mereka ingin menegakkan hukum yang masih asing bagi penduduk kota Messa Grande.”
Mendengar teriakan seru yang muncrat dari mulut Bara, menyentak Barumunsati sampai terjaga dari tidurnya. Lalu ia keluar kamar dengan terheran-heran sewaktu menyaksikan putranya tengah asyik dan berteriak di depan siaran TVRI. Kemudian ia beranjak untuk mendekati televisi yang berbentuk seperti kotak sabun itu.
“Kamu boleh menonton tivi, tapi jangan berteriak-teriak seperti orang yang keranjingan dengan tontonan. Saya terbangun dan merasa aneh saat mendengar caramu bicara, kamu sungguh seperti orang yang mengawur, Bara!” kata Barumunsati mengingatkan putranya sambil mengetuk kaca tivi.
“Filmnya begitu asyik dan seru, Ayah. Anjing dan manusia dapat bersahabat dengan tulus. Tapi kemarin, kenapa si Septi dikejar-kejar oleh anjing hingga anak itu lari terbirit-birit ya?” ujar Bara penasaran.
“Siapa si Septi yang namanya sedang kamu perbincangkan itu, Nak?” kata Barumunsati ingin tahu lebih jauh.
“Si Septi itu kawan sekolah Bara, Ayah. Ia pernah bercerita, anjing tetangganya menyalak, dan menggonggong dengan keras sambil mengejarnya. Septi panik sekali saat anjing mengejar dengan memburu. Ia cemas kalau kena gigitan anjing yang sangat galak seperti orang yang panik di tengah pasar,” ucap Bara sambil menoleh ke kanan.
Barumunsati terpana sejenak dengan senyum yang masih terasa getir di bibirnya. Tapi ia segera paham dengan apa yang telah terjadi terhadap gadis yang tadi diceritakan oleh Bara.
“Anjing memang sangat setia kepada orang yang dikenal baik olehnya, apalagi terhadap majikan yang mau merawat dan memberinya makanan yang cukup,” kata Barumunsati, lalu matanya beralih ke siaran televisi. “Sebaliknya terhadap orang baru dan orang asing, anjing dapat bertindak dengan sangat galak. Anjing selalu waspada untuk melindungi orang-orang yang menyanyangi hidupnya.”
“Oh, ya? Pantas saja si Septi dicurigai oleh anjing tetangganya itu. Mungkin anjing itu mengira si Septi akan menggangu orang yang menyayangi dirinya, ya. Makanya anjing itu mengejar dan menggonggong dengan galak terhadap si Septi.”
“Oh, begitu yang terjadi toh dengan temanmu itu. Dulu ada kawan Ayah, namanya Alfo. Ia punya anjing kesayangan yang sejak lama dirawatnya. Lalu pada satu hari anjingnya itu selalu berada di samping peti mati, tak mau bergerak dari peti itu barang sejengkal pun.”
“Maksud Ayah, apa yang terjadi dengan Om Alfo?”
“Kan kawan Ayah itu meninggal dunia. Pada saat kejadian itu, Alfo mati dengan mendadak. Rupanya ia kurang hati-hati dalam merawat kesehatan tubuhnya. Pembuluh darah dan pompa jantungnya bermasalah. Kolesterol jahat di pembuluh darahnya menumpuk sejak lama. Lalu ia terkena serangan stroke secara mendadak. Ayah melihat anjing kesayangan Alfo sangat sedih, matanya seperti mata orang yang menangis. Hidungnya berair. Si anjing kesayangan Alfo begitu setia, sedikit pun tak mau beranjak dari sisi peti mati tuan yang sangat menyayanginya itu.”
“Setia sekali anjing Om Alfo itu, Ayah! Anjing yang hebat. Orang mati pun mendapat pengawalan oleh anjing dengan setia, apalagi orang yang masih hidup dan menyayangi anjingnya dengan sepenuh hati itu, ya.”
“Kesetiaan itu memang langka, dan begitu mahal harganya, Bara.”
“Maksud Ayah?”
“Seharusnya manusia juga begitu, bersikap setia kepada orang yang berjasa kepadanya. Setia dan sayang kepada keluarganya. Setia kepada kawan-kawan dan sahabatnya. Setia kepada sesama manusia untuk saling membantu dan menyayangi satu dengan yang lain. Dan juga setia….”