Jakarta sebagai Ibu Kota Negara yang sedang menggeliat dengan pembangunan infrastruktur dan bangunan gedung jangkung, belum terlalu sumpek pada masa itu. Tapi arus urbanisasi sudah mulai menggeliat dengan denyut yang penuh harapan, serta semangat juang untuk bertarung bagi perantau. Perkampungan penduduk di kota ini, selain ditempati oleh warga asli, tapi mulai dibanjiri oleh orang-orang yang datang dari luar daerah untuk merantau di Ibu Kota. Menggeliat ragam pembangunan yang menyapa perkampungan penduduk dengan penataan berbagai bidang, termasuk jalan-jalan kampung. Selain siaran televisi TVRI, hiburan populer bagi warga kota pada masa itu masih terbatas sekali jumlah dan jenisnya.
Pada masa musim perkawinan pengantin biasanya kehidupan warga akan berubah ceria. Pesta kawin ikut mewarnai hari-hari yang cerah, bahagia, dan menggembirakan hati. Rasa gembira bukan hanya milik keluarga pengantin, tapi juga bagi warga di sekitar keluarga yang punya hajatan, serta warga perkampungan di sekelilingnya. Biasanya akan ada hiburan malam dengan keramaian untuk masyarakat luas. Bisa saja berbentuk tontonan wayang kulit semalam suntuk yang dapat dinikmati secara gratis oleh siapa pun, tak hanya dinikmati oleh undangan dan tamu pengantin. Warga dari perkampungan sebelah biasanya akan berdatangan untuk ikut menonton, dan mereka merasa terhibur dengan kehadiran wayang kulit. Dalang yang hadir di panggung tentu saja dalang pilihan. Begitu pula dengan hiburan musik dangdut yang biasanya heboh dengan sensasi goyangan penyanyi wanita, keluarga pengantin sering mengundang mereka untuk datang menghibur. Istilah yang begitu populer, yaitu keluarga pengantin wanita menanggap hiburan di rumahnya. Tak kalah seru kalau terjadi pemutaran film nasional yang dengan mudah dapat dinikmati pula secara gratis—melalui layar tancap di tanah lapang yang luas, atau pada tempat yang tak jauh dari rumah pengantin. Biasanya dalam satu malam beberapa film diputar dengan gratis sebagai hiburan pelipur lara dan sekaligus perayaan.
Kalau ada pagelaran musik dangdut di malam hari biasanya meninggalkan masalah klasik yang sukar untuk dihindari oleh penonton setianya. Sensasi penyanyi dangdut wanita melalui desah suara yang serak-serak basah, dapat membongkar hasrat kejantanan laki-laki untuk berjoget dengan riang, dan penonon bergoyang dengan gerak tubuh yang lentur. Meliuk-liuk tubuh penyanyi dangdut dengan bungkus pakaian yang seronok tapi tipis, membuat sorot mata laki-laki akan jelalatan sampai lupa dengan keluarga di rumah. Atau tantangan buat menyawer bagi penggila sang idola oleh teman-teman sesama penonton, benar-benar seru dan kadang-kadang malah menegangkan. Tak jarang bila tontonan dangdut itu mencengangkan, karena kadang-kadang suasana heboh terjadi di luar akal sehat.
Bagi si penggila sang penyanyi dangdut idola, biarlah uang di kantong terkuras habis asalkan beken di antara ratusan penonton. Gilanya lagi musik dangdut dapat memicu persaingan di antara laki-laki yang bergoyang di depan panggung. Ujung-ujungnya terjadi perkelahian di antara sesama penonton yang dapat meledak tanpa diduga sebelumnya. Perkelahian lebih dahsyat mudah terjadi dengan berkelompok, apalagi kalau minuman anggur Cap Orang Tua sudah matang untuk menyeduh isi perut penenggaknya.
Sekali ini, begitulah yang terjadi pada Bara. Ia lari terbirit-birit di tengah kerumunan penonton pada saat pecah perkelahian dengan beramai-ramai. Serunya lagi perkelahian orang-orang dewasa pada saat itu bergaya kuda lumping. Hampir saja Bara terinjak-injak oleh penonton yang melerai perkelahian. Teriakan minta tolong dengan suara nyaring kala itu, tiada artinya untuk didengarkan oleh orang yang bertarung—sekalipun teriakan korban makin lama tambah keras terdengar. Kepanikan melanda setiap orang, apalagi bila ada penonton yang anggar jago dengan mengangkat tinggi-tinggi sebilah celurit di tangannya. Suasana di sana tambah mencekam. Akan makin mengerikan suasana di tempat perayaan hiburan pengantin itu pada saat teriakan penonton malah membuat orang yang memegang celurit tambah penasaran, lalu berteriak dengan histeri.
“Jangan kamu dekati orang yang memegang celurit itu, Oskar. Bahaya. Nanti ia kalap, dan kepalamu melayang dibuatnya,” teriak Bara kepada kawannya. “Lebih baik kita sekarang meninggalkan tempat pertunjukan dangdut yang brengsek ini.”
Oskar terlihat panik sewaktu menyelinap di antara penonton yang bertubuh jangkung, kekar, dan ada pula orang yang tangan kekarnya bertato cap tengkorak. Anehnya, penyanyi dangdut malah makin heboh dengan goyangan yang meliuk-liuk. Di dekat panggung hiburan malam, malah tak ada orang yang merasa terusik dengan perkelahian di antara sesama penonton dangdutan. Sebab perkelahian seperti itu sudah jadi peristiwa yang biasa terjadi dalam perayaan dangdut. Pada gilirannya penonton itu juga akan damai, dan mereka dengan riang dan asyik akan berjoget lagi di tengah kerumunan.
Bara menarik tangan Oskar dengan gigih, setelah bersusah-payah untuk menemukan teman setianya itu. Sementara itu Oskar abai dan merasa tak penting untuk melayani tarikan yang kuat oleh tangan Bara, sebab ia hampir saja terseduh oleh keriangan yang meriah di tempat hiburan malam ini. Darah Oskar mengalir deras untuk ikut tersihir oleh penyanyi dangdut itu.
“Hati-jati. Jangan terlalu kasar untuk menarik tangan saya, Bara!” teriak Oskar. “Kamu kan paham, tangan kanan saya sedang sakit!”
“Orang-orang mabuk yang bergaya kuda lumping itu, biasanya tak akan dapat membedakan yang mana musuh, atau yang mana kawan sejati. Kalau kepanikan menimpanya dengan lebih seru, siapa pun yang berada di dekatnya akan mudah menjadi sasaran kemarahan. Saya akan sangat menyesal kalau kehilangan kawan setia seperti dirimu, Oskar!”
“Jangan-jangan orang dewasa yang berkelahi itu, sebenarnya sedang kesurupan, ya. Betul juga, jangan-jangan arwah orang jahat membuat mereka kesurupan begitu hebat, dan mereka akan bertindak brutal terhadap penonton kere seperti kita. Saya setuju kalau kita memang harus beranjak dari sini, dan menjauh dari kerumunan orang-orang yang sedang kegoyangan itu, Bara.”
“Jangan dulu. Tunggu. Sebentar…sebentar…!”
“Apa rupanya yang kamu lihat di sana, membuatmu sebegitu tertarik, Bara?”
“Orang asing yang tinggi dan bertubuh tegap itu, kenapa dia ada di sini? Itu loh, orang yang memarahi saya tempo hari di tanah lapang tempat kita bermain layang-layang. Ia ikut juga berjoget di sana bersama dengan anak yang sebaya dengan kita, serta anak muda usia tanggung!”
“Mungkin kamu melihat orang yang serupa dengan orang yang pernah memarahimu tempo hari, Bara!”
“Saya yakin dengan penglihatan mata sendiri kok. Tadi orang itu sempat memukul laki-laki di dekatnya, karena merasa terganggu dengan goyang nyentrik orang yang jangkung itu. Tapi…, sekarang sosoknya menghilang, dia tak terlihat lagi oleh saya. Mungkin orang asing yang tegap itu berpindah tempat ke lokasi penonton yang suasananya lebih temaram, Oskar!”
“Lantas mau kamu apakan orang asing itu? Mau balas dendam sekarang? Berani kamu memukul kepala orang yang bertubuh tegap itu?”
“Betul. Rasanya saya mau memukul kepala orang itu dengan batu, Oskar!”
“Jangan cari perkara deh. Ayo Bara, kita pergi dulu dari sini! Kita jangan cari perkara baru di sini, kawan. Bahaya!”
“Memang benar saranmu, pergi dari sini adalah pilihan kita yang tepat seperti ajakanmu tadi, Oskar! Kita harus berangkat untuk meninggalkan tempat yang rawan akan kejahatan ini.”
“Tapi…, tunggu dulu. Lihat, penyanyi dangdut yang bernyanyi di panggung, sering saya tonton di televisi, Bara. Kamu pernah mendengar nama pedangdut Rita Sugiarto, kan? Dia sudah di panggung dan akan menyanyi lagi pada gilirannya. Sayang sekali kalau kita melewatkan lagu-lagu hit yang dinyanyikannya. Yuk, kita menonton dulu si Rita Sugiarto, ya.”
“Penyanyi itu bukan Rita Sugiarto yang sebenarnya, Oskar. Dandanannya saja yang mirip dengan penyanyi Rita Sugiarto. Lagu-lagu yang dibawakannya memang lagu yang dipopulerkan oleh Rita Sugiarto, tapi orangnya sungguh berbeda.”
“Saya benar kok. Apa kamu nggak menyimak lagu Mati Aku yang dibawakan oleh Rita Sugiarto pada saat pemunculannya yang pertama tadi, ya! Begini kan lirik lagunya.…”
Oskar bergaya kenes seperti penyanyi dangdut yang centil. Goyangan tubuhnya meliuk-meliuk dan terkesan sebagai penari yang yahud. Suaranya menirukan lirik lagu yang tadi dibawakan oleh penyanyi di panggung.
Mati aku ayahku tahu
Aku sedang berjalan dengan pacarku
…………………………………………..
Melihat aksi Oskar bergoyang-goyang dengan yahud, Bara tertawa dengan terkekeh-kekeh. Ia tak habis pikir dengan aksi Oskar, bagaimana anak itu sampai larut dan bergoyang dengan gaya santai, acuh tak acuh dari perhatian penonton yang memadati tempat hiburan malam itu.
“Benar memang, gayamu sama persis sama gaya si Rita Sugiarto di tivi. Tapi penyanyi itu bukan Rita Sugiarto yang asli, Oskar.”
Oskar malah balik tertawa, suaranya terkekeh-kekeh. Katanya, “Lagu itu, memang sama dengan lagu yang saya tonton di televisi, Bara. Oh ya, tadi pembawa acara juga menyebut-nyebut nama Rita Sugiarto. Kamu mengira kuping saya budek ya—sampai saya nggak mendengar suara pembawa acara dari muncung speaker? Kan kencang sekali suara si pembawa acara di panggung, bahkan suaranya membahana seperti gledek. Ia menyebut-nyebut nama Rita Sugiarto kok! Lagi pula, sama persis kok suara penyanyi di televisi dengan suara penyanyi dangdut Rita Sugiarto tadi saat menyanyi di panggung hiburan!”
Tak lama kemudian perkelahian di antara penonton yang tadi sempot heboh, mulai mereda. Laki-laki jankung yang melerai perkelahian dapat merengkuh tubuh orang yang membawa celurit yang sengaja ia simpan di balik pakaiannya. Petugas hansip berseragam hijau muda segera mengambil celurit dari tangan orang yang kalap itu. Hansip menyimpan celurit milik orang kalap di rumah pengantin wanita yang jadi tuan rumah perayaan hajatan dangdut pada malam hari ini.
Dua orang dari puluhan orang yang berkelahi—makin terbawa larut dalam suasana ria. Keduanya dengan bergaya kuda lumping sedang trance, sekarang mulai dapat mengendalikan diri—setelah dirubuhkan oleh seorang pawang yang berkumis runcing bagai bulu kucing. Kedua petarung duduk terjungkal di tanah, mulut mereka mengoceh dengan suara yang terdengar ganjil. Laki-laki yang bertubuh ceking, mulutnya mengeluarkan busa sewaktu mengoceh lebih nyinyir lagi. Laki-laki yang satunya lagi—yang bermata merah seperti merah saga saat mendelik, seolah-olah ia mau menerkam bayangan setan—yang mengeluarkan cakar di depan matanya. Suaranya sempat mengaum seperti suara auman harimau yang ganas di hutan rimbun tak bertuan.
Bara masih belum juga melepaskan tangan Oskar dari pegangannya. Keadaan di tempat ini belum sepenuhnya terkendali, bahaya kalau kami terpisah, pikir Bara. Dapat saja penonton yang lain naik pitam tiba-tiba karena minuman anggur Cap Orang Tua yang ditenggaknya mulai menyeduh perut. Bila pengaruh minuman anggur menjalar ke kepala maka orang yang bersangkutan dapat menjadi setengah pening. Ancaman bahaya yang lebih runyam dapat saja terjadi, dan mengancam orang-orang yang ikut hadir untuk menonton hiburan malam ini.
“Bagaimana kalau kita menyusup ke belakang panggung. Saya ingin sekali menyalami idola yang aduhai itu. Siapa tahu… Rita Sugiarto mau menemui kita sebagai penggemar setia yang kere, Bara!”
“Bagaimana kamu bisa yakin kita akan dapat menyalami pedangdut idolamu itu? Kamu memang sedang memegang uang buat saweran seperti penonton lain yang royal terhadap penyanyi yang lagi bergoyang?”