Langit yang terhalang oleh gumpalan seperti batu yang berwarna putih, menganga dengan mulut yang lebar. Sinar yang memantul ke bumi tertahan oleh gumpalan yang terdiri dari awan yang berkelompok di atas sana. Perlahan-lahan awan putih berubah agak kehitaman seperti tanda akan turun hujan dari langit. Suhu udara terasa gerah pada tubuh orang-orang yang duduk-duduk dengan tangan yang mengepal. Lalu-lalang warga yang melakukan aktivitas sehari-hari kelihatan mulai berkurang pada saat mereka menerka apa yang akan terjadi, yaitu akan turun hujan yang begitu deras. Sebagian di antara mereka memilih untuk berlindung di bawah atap rumah, meski belum tersirat tanda-tanda tangkai hujan akan rebah ke bumi. Sebagian orang lagi berharap matahari agar bersinar dengan cerah, supaya dapat melanjutkan kegiatan sampai bumi betul-betul gelap di perkampungan ini.
Banyak orang yang belum paham dengan membayangkan perkampungan yang bernama Kampung Ambon ini terdiri dari orang-orang yang berkulit hitam, rambut keriting, kumis melintang di atas bibir, dan berbicara dengan logat Melayu Ambon yang kental. Tapi masyarakat di sini sudah bercampur dengan orang dari bermacam-macam suku lain. Kalaupun ada orang yang postur tubuhnya tinggi, tegap, gagah, dan hitam seperti lazimnya sosok orang Ambon, hanyalah tersisa tiga atau empat orang, tapi mungkin juga lebih. Kalaupun ada yang melihat orang sedang bernyanyi di tepi jalan dengan gitar di tangan, belum tentu penyanyi jalanan itu orang Ambon. Bisa jadi orang Batak, atau suku lain. Karena masyarakat yang menetap di sini adalah warga yang sudah berbaur satu dengan yang lain. Beragam suku hidup di sini dengan ramah, anteng, dan damai. Namun penyebutan nama Kampung Ambon tak mudah hilang begitu saja, karena memang dahulu banyak orang dari Pulau Maluku yang menetap di sini. Dan nama kampung tua itu sudah melekat seperti lem kanji di bibir orang-orang yang hidup di sana.
Warga penghuni Kampung Ambon ini terdiri dari banyak suku yang bermigrasi ke Jakarta dari tahun ke tahun. Mereka umumnya orang perantauan yang ingin mendapat kehidupan yang lebih beruntung dan mau hidup sejahtera daripada hidup melarat di kampung halaman. Warga asli yang menetap di sini pastilah orang dari suku Betawi—biasanya mereka pemilik tanah, atau pemilik kebun yang luas seperti kebun jambu klutuk. Selain itu bisa jadi mereka adalah juragan rumah kontrakan yang berderet di pinggir jalan kampung. Kehidupan warga asli biasanya tergolong ramah terhadap para pendatang, tampil apa adanya, dan ceplas-ceplos bila sedang berbicara untuk kepentingannya. Mereka bersikap santai dalam kehidupan sehari-hari, dan suka berseloroh dengan kawan akrab. Namun kadang-kadang di antara mereka ada juga yang suka dengan cara bicara yang nyelekit kalau berhubungan dengan kewajiban orang lain yang tertunda kepada mereka, apalagi kalau penundaan itu terjadi tanpa penjelasan yang logis.
Pada saat mereka melihat ketangguhan para pendatang yang merantau ke Jakarta sebagai pejuang hidup yang pemberani dan heroik, termasuk orang Ambon, biasanya warga asli akan kagum. Warga kagum pada kegigihan dan semangat juang perantau untuk bisa hidup survive di Ibu Kota dengan modal nekat menjelajah belantara kota.
Soal kisah orang Betawi yang melabrak tetangga yang baru datang dari kampung halaman di Pulau Sumatera, memang pernah terjadi di sini, yaitu pada saat si perantau membuat kesal juragan pemilik kontrakan. Si perantau yang berambut gondrong kala itu sedang bermain catur di halaman rumah sambil memamerkan bir Cap Anker di dekat papan catur. Menenggak berbotol bir yang logonya warna hijau sambil bermain catur, dan berseling pula dengan bersiul-siul dendang lagu yang merdu—selagi minuman bir tersisa di dalam botol. Sampai habis menenggak bir oleh orang itu, lagaknya seperti orang-orang yang meminum air putih untuk pemuas dahaga. Sementara itu, kewajiban bulanan kepada pemilik kontrakan masih menunggak, dan uang sewa rumah petak belum juga ditunaikan sesuai jadwal.
Kendati meluapkan amarah kepada si penunggak, si pelabrak akhirnya paham akan situasi yang buruk dapat terjadi bila kemarahan diteruskan lebih lanjut. Sebab selama ini, justru para perantau inilah yang menghuni rumah petak sebagai pengontrak rumah dan setia pada juragan. Tapi bukan berarti pemilik rumah kontrakan dapat membiarkan penyewa bertindak semaunya—sebelum melunasi kewajiban sewa bulanan. Perantau mengisi rumah kontrakan dengan sewa yang tinggi, biasanya harga sewa selalu naik setiap tahun tanpa basa-basi.
Kong Saropin adalah salah satu juragan rumah kontrakan di Kampung Ambon, selain juga pemilik kebun jambu klutuk yang tergolong luas. Pada musim panen jambu yang bijinya keras—biasanya lebih keras dari lidi itu, pengambilan buah pada masa panen tergantung kepada penyerapan pasar atau kebutuhan konsumen. Karena pada musim panen jambu, panen buah bukan hanya terjadi di Kampung Ambon, tapi panen juga dilakukan oleh pemilik kebun di tetangga kampung. Panen jambu di antaranya berlangsung juga di Kampung Baru, Kayu Jati, atau Pulomas, dan kebun jambu milik mereka pada kenyataannya tak kalah luas dari kebun Kong Saropin. Hasil panen jambu biasanya dengan buah yang selalu bagus, terasa empuk saat menggigitnya.
Dalam rentang jarak yang lebih jauh dari Kampung Ambon, terdapat kebun jambu di Pasar Minggu, Condet, Ragunan—yang biasanya ikut menyerbu pasar tradisional yang terbatas serapan pembeliannya. Tidak mengherankan kalau pemilik kebun jambu akan membiarkan jambu matang pohon, atau dimakan oleh tupai yang suka bergelut dari pohon ke pohon, atau jadi santapan kelelawar. Atau, buah jambu akan jatuh tergeletak di tanah sampai membusuk di sana, sebab berhari-hari tak ada yang memungut dan terbengkalai begitu saja. Buah jambu klutuk yang jatuh dan membusuk di tanah, biasanya terjadi sewaktu lagi musim panen besar, dan tak ada orang yang berminat buat mengambilnya dari kebun.
Tapi biasanya, dan dengan lagak diam-diam, Bara suka melanglang-buana di kebun jambu yang luas. Ia menyelinap ke kebun jambu klutuk milik Kong Saropin untuk memunguti buah jambu masak pohon—yang tergeletak di tanah sampai membusuk. Bara menyantap buah masak pohon dengan lahap, setelah mencuci kulit jambu di sumur yang terdapat di belakang pondok. Kalaupun Kong Saropin datang ke kebun dan memergoki anak itu sedang menyantap buah jambu, pemilik kebun sungkan buat marah dengan membentak-bentak. Wajah teduhnya malah tersenyum lunak, apalagi bila ia mendapat panggilan dengan sebutan Pak Haji. Kong Saropin penuh perhatian dan penuh pengertian terhadap kebiasaan orang lain memungut buah jambu. “Sudah lama elo di kebun ini, Tong?” tanya Kong Saropin menyapa dengan ramah ketika ia memergoki Bara di sana, dan pemilik kebun malah orang yang lebih awal bersuara daripada anak itu.
“Baru juga dua gigitan jambu, Pak Haji. Eh, tahu-tahu Pak Haji muncul di sini. Jambu masak pohon ini manis luar biasa, Pak Haji,” kata Bara terbata-bata sambil memegangi jambu yang disantapnya dengan lahap.
Bagaimana pun ada kekikukan dan rasa bersalah yang beradab pada diri Bara ketika ia memasuki kebun orang lain tanpa permisi. Memang ia tidak minta izin terlebih dulu kepada pemili kebun, tapi tiba-tiba menyerobot untuk mengambil buah yang jatuh dan melahap dengan nikmat sambil berjongkok di bawah pohon jambu—seperti tingkah-laku orang yang sedang buang kotoran ke tanah. Hebatnya Kong Saropin memaklumi orang yang memasuki kebun seperti penyantap buah yang kini ia pergoki. Bila umbi singkong di tanah lapang memang seperti tanaman tak bertuan, kebun jambu klutuk ini jelas siapa pemilik yang menanam dan merawat kebun yang terhampar luas sampai ke batas Kampung Baru.
Kong Saropin tersenyum dengan bibir yang lebar pada saat mendengar pembelaan diri oleh Bara. Ia membawa keranjang rotan untuk mengumpulkan buah yang jatuh, atau buah masak pohon yang baru dipetik. Bara membantu untuk memilih buah yang matang, dan memasukkan jambu ke dalam keranjang rotan. Satu per satu buah berwarna kuning, atau buah hijau kekuning-kuningan, telah berpindah dari dahan pohon ke keranjang rotan itu.
“Di pasar lagi banjir buah jambu klutuk, Tong. Harga buah di pasar lagi ambruk. Percuma bawa banyak buah ke sana, tapi dihargai murah sama pedagang pengumpul. Nah, pilih buah yang benar-benar matang baru dipetik ya. Sayang kan kalau buah terbuang nantinya. Biarkan buah terjatuh sampai membusuk, atau buah yang dimakan tupai separuh bagian saja,” ucap Kong Saropin dengan kalimat yang terdengar empuk oleh Bara.
“Baik, Pak Haji. Aye memang senang dengan kegiatan di kebun seperti memetik jambu klutuk yang rimbun ini. Suasana di sini segar bila berdiri di antara pohon jambu yang rimbun seperti kita berada di hutan. Apalagi kebon Pak Haji paling luas di Kampung Ambon ini, rasanya seperti berada di tengah hutan kota yang sebegitu lebat,” ujar Bara sambil memilih jambu yang layak untuk dipetik.
“Kebun ini kan dulunya juga warisan keluarga, Tong. Dapat dari peninggalan Babe dan Nyak. Engkong cuma meneruskan saja, dan menikmati hasil panen pohon jambu klutuk yang berbuah. Kalau ada pohon jambu yang tua, lalu meranggas sampai kering, barulah disisipi sama pohon baru yang kami tanam untuk peremajaan kebon,” katanya lagi dengan ramah.
“Pohon nangka yang tumbuh di dekat pondok, siapa yang dahulu menanamnya, Pak Haji?”
“Nangka itu juga warisan dari Babe. Cuma ada tujuh pohon loh. Pohon nangka pilihan, buahnya lebih manis kalau nangka matang pohon.”
“Kenapa buah nangka di batang pohon ada yang dilapisi pakai kain putih ya, Pak Haji. Apakah maksudnya supaya buah nangka lekas matang pohon, atau karena alasan yang berbeda?”
“Kalau dibiarkan tanpa bungkus perlindungan, takutnya datang tupai, atau kelelawar, atau binatang rakus lainnya. Pernah terjadi buah nangka matang yang sudah sompel karena tergigit oleh binatang, saat menjualnya di pasar pasti kena tawar dengan harga anjlok, Tong! Cara menyiasatinya harus kita kupas dulu bagian kulit, dijual ketengan per bungkus kecil. Kan repot dan rugi kalau nggak laku juga.”
“Kalau sumur kapan Pak Haji buat. Batu pelindung di pinggiran sumur, bentuknya kokoh seperti benteng Fort de Kock. Kerekan sumur peninggalan zaman dahulu kala, ya. Unik, dan mungkin nggak ada lagi kerekan seperti itu yang dijual di Pasar Genjing.”