Ranting pohon dan daun-daun jambu bergoyang kencang seperti melayang dengan lambaian tangan, padahal angin bergerak dengan cukup lembut di sana. Tiupan angin berubah sepoi-sepoi, dan terasa menyejukkan lara hati. Bara terseret jadi ikut lega pada saat Kong Saropin muncul di dekat tempat dia duduk bersama Harrisbah. Kemunculan pemilik kebun dengan napas yang terengah-engah sewaktu ia membawa buah nangka—yang dipanggulnya dengan bersusah-payah. Sejenak ia berhenti pada saat melihat ada orang duduk di dekat Bara. Lalu Kong Saropin dengan terburu-buru menaruh buah nangka yang mengkal di dekat pondok, kemudian ia melongok lagi sesaat. Pada waktu Kong Saropin menyadari ada anaknya Harrisbah di sana dan sedang bercakap dengan Bara, ia kembali beranjak dengan tertatih-tatih untuk menuju ke area dalam kebun—yang menjorok ke parit. Tak ada sapaan, atau pertanyaan yang diajukan olehnya kepada Harrisbah. Wajah Kong Saropin terlihat dingin dan agak kusut sewaktu memandangi Harrisbah tadi. Pandangan matanya itu hanya sekilas, dan memandang pun dari jarak yang tergolong jauh. Sedangkan Harrisbah malah bersikap cuek terhadap Kong Saropin, bahkan enggan untuk mendatangi Ayahnya itu—meski sekadar berbasa-basi, atau menanyakan sesuatu yang sederhana tentang apa yang sedang terjadi dengan kebun ini.
Pada saat itu Bara mencium sesuatu yang ganjil di sana, seolah-olah tergores gelagat yang buruk telah terjadi antara Kong Saropin dengan Harrisbah. Tapi Bara enggan untuk bertanya kepada salah satu di antara mereka. Bertanya mengenai persoalan pribadi dan masalah keluarga orang asing—yang mungkin telah membuat keduanya seolah-olah berjarak satu sama lainnya, tentu saja perbuatan yang tabu atas nama adab sopan santun. Bara akan bersalah sekiranya mau mengorek rasa ingin tahunya lebih jauh tentang kecurigaan kepada Kong Saropin, atau kepada Harrisbah. Saat ini bukan pada tempatnya untuk bertanya tentang dugaan perselisihan di antara ayah dan anak itu. Pamali, kata orang Sunda. Rahasia domestik siapa pun tentang kerukunan satu keluarga, mestinya tertutup dengan rapat. Biarlah semua berlalu menjadi rahasia yang berselubung misteri bagi orang-orang yang mengenal mereka di sini, tak terkecuali bagi Bara yang nelangsa.
Pada saat itu Bara hanya bisa menduga-duga apa yang telah terjadi di antara kedua orang yang bertaut oleh aliran darah itu. Hanya mampu mereka-reka kejadian tragis antara ayah dan anak tunggalnya yang gegabah itu. Rasanya mustahil kalau anak tunggal kesayangan akan dibiarkan oleh Kong Saropin jika bukan persoalan yang fatal dan serius yang memicu. Tapi karena persoalan apa sampai terbebas dari tegur sapa di antara keduanya? Di sana berselubung misteri, belum ada jawaban bagi Bara. Tidak ada sapaan di antara keduanya, mungkin adalah wujud lain dari hukuman dari seorang ayah terhadap anak yang membandel. Tanpa teguran ramah yang merdu, bisa saja sebagai pertanda hati yang terluka oleh perbuatan bandel si anak. Kecuali tatapan penuh ragu dan bernada permusuhan seperti yang tergambar dalam adegan tadi, seolah-olah ada jarak yang memisah jauh bagai jurang antara satu pulau dengan pulau lain yang terkucil. Begitu jauh jarak keduanya, yaitu jarak antara Kong Saropin dengan Harrisbah. Bara hanya dapat menduga-duga dengan perasaan yang terpendam dalam kepundan tanya.
Kedatangan Kong Saropin ke pondok, lalu pergi lagi ke area dalam kebun jambu tanpa mengeluarkan suara sepatah kata pun, seperti menyimpan rahasia yang ganjil dari misteri hidup. Ibaratnya ini misteri yang sukar untuk menebak apa yang sesungguhnya telah terjadi pada masa lalu di antara keduanya, jangan-jangan hanya kedua orang itu yang dapat memberi jawaban pasti. Karena sejak kemunculan Kong Saropin kedua kalinya di dekat tempat Harrisbah dan Bara bicara berdua, pertanyaan dari Harrisbah tak lagi ditumpahkannya dengan tendensius. Tak lagi berkata dengan nada intimidasi, berbeda dengan perlakuan Harrisbah sebelumnya yang sebegitu intimidatif. Mulut Harrisbah sekarang ini seolah-olah terkunci seperti ada peti rahasia yang tersimpan di dalam tenggorokannya. Barangkali saja karena berselubung dengan keculasan dan kepalsuan selama rahasia itu menganga di tubir langit.
Selintas Bara teringat dengan laki-laki tinggi dan bertubuh tegap yang pernah mencecarnya di tanah lapang berpagar kawat berduri itu. Cara-cara intimidasi yang ditunjukkan oleh Harrisbah terhadap Bara, tak jauh berbeda dengan perlakuan laki-laki yang tegap terhadapnya tempo hari. Jangan-jangan Harrisbah kenalan baik laki-laki tegap yang menghardik saya saat memainkan layang-layang di tanah lapang, pikir Bara menduga-duga. Muncul kecurigaan di hati anak itu, jangan-jangan kedua orang itu memang berkomplot dan mengincar anak-anak untuk diperlakukan dengan lagak yang kasar. Cukup mengherankan baginya kalau Harrisbah sampai mengetahui peristiwa pengambilan umbi singkong oleh laki-laki yang bertubuh tegap dan berambut sedikit gondrong itu, entah siapa yang membeberkan rahasia yang lampau.
Keadaan yang penuh misteri di sana itulah yang menyelamatkan Bara dari perlanjutan intimidasi oleh Harrisbah. Seolah-olah terjadi perubahan sikap yang drastis, bagai malam dengan siang pada Harrisbah—yang membiarkan Bara untuk meninggalkan kebun jambu itu. Harrisbah tak lagi memaksa anak itu agar diam seperti cecunguk dan mendapat interogasi dengan kata-kata pedas yang sengit.
Awan di langit masih mendung dan berkelompok dengan warna yang kehitaman. Suhu udara masih terasa gerah di tubuh orang-orang yang melintas di luar kebun. Meski Bara telah bebas dari intimidasi Harrisbah, perasaan cemas di dalam hati masih kentara. Ia merasa bersalah karena masuk ke kebun itu pada saat pemilik belum datang, dan bertekad untuk tidak mengulangi lagi pada hari yang lain nanti.
Setelah beranjak dari kebun jambu milik Kong Saropin dengan langkah gontai, ia mau pulang ke rumahnya. Tapi di tengah jalan matanya memergoki Bagio. Sejenak matanya tertuju ke arah Bagio yang sedang duduk santai di pinggir jalan, seolah-olah hidupnya tanpa beban setitik pun. Bagio yang berambut gondrong itu sedang asyik sekali dengan radio di sampingnya. Bara mengenal Bagio sebagai pemuda yang menumpang hidup di rumah sepupunya di Kampung Ambon. Gayung bersambut sewaktu Bagio tersenyum dengan wajah cerah kepada Bara, kendati bagi anak itu masih terasa getir dengan kejadian tadi. Sekilas senyum Bara membalas Bagio dengan rasa yang getir pada lidah.
Selama ini sepupu yang ditumpangi oleh Bagio—mengontrak rumah kontrakan yang dikelola oleh Harrisbah, bahkan ia sudah berbulan-bulan menumpang di rumah petak itu. Sehari-hari ia hidup luntang-lantung tak menentu, tapi anehnya, satu bungkus rokok yang mahal hampir selalu bertengger di kantongnya. Entah siapa yang membiayai belanja untuk membeli rokok Djie Sam Soe yang harganya paling mahal di antara rokok kretek pada masa itu, Bara enggan bertanya tentang masalah pembelian rokok itu kepada Bagio.
Dalam pandangan sekilas Bara sewaktu melihat Bagio melamun sambil merokok Djie, muncul pikiran yang menggoda karena jari tengah yang berbeda ikut mengepit sebatang rokok yang lain. Kepala pemuda itu bergoyang-goyang, menyesuaikan dengan alunan musik yang didengarnya dari radio di sampingnya. Lagu-lagu grup tenar Koes Plus sedang menghibur perasaan pendengar menjadi riang, membuat hati Bagio berbunga-bunga seperti berada di taman surga. Dari radio terdengar lagu pop yang melankoli dan indah.
Bukan lautan hanya kolam susu
Kain dan jala cukup menghidupimu
……………………………………..
Setelah lagu Kolam Susu tertelan suara yang redup, Bara jadi terusik untuk menyapa Bagio dengan sikap ramah yang redup. “Asyik sekali lagu yang terdengar dari radiomu, Mas Bagio,” kata Bara menyapa sambil memandangi radio itu. “Lagu kesayanganmu terdengar syahdu, dan merdu sekali pembawaan lagu oleh penyanyi dari radiomu yang gagah itu.”
“Hanya lagu pelipur lara. Koes Plus memang jagoan dalam soal menghibur hati orang yang sedang lara,” ucap Bagio tanpa beban.
“Apa yang membuat Mas Bagio butuh hiburan untuk menghibur hatimu yang tertimpa lara,” kata Bara penasaran.
“Seperti angin yang berembus ke tempat tujuan, kamu begitu pula mau tahu saja apa yang terjadi di tempat tujuanmu. Yang jelas grup band yang namanya tenar itu, memang idola anak muda zaman sekarang. Kamu seharusnya tahu akan hal itu. Sekalipun Koes Plus pernah mendapat hujatan oleh Bung Karno, karyanya tetap berkibar di langit. Grup band itu memang luar biasa akrab dan top. Lirik lagu-lagunya sederhana tapi yahud, dapat meninabobokan kehampaan yang sedang gua jalani sekarang ini, Bara.”
“Memangnya Mas Bagio lagi tenggelam oleh lara dan hampa, ya? Oh ya, kalau boleh tahu—perasaan hampa karena persoalan apa yang sedang menimpamu, Mas?”
“Rahasia dapur dong. Tapi, kamu bisa saya percaya kan?”
Kepala Bara mengangguk dengan perlahan.
“Maklumlah, Bara. Sudah sembilan bulan gua merantau di Jakarta, belum juga dapat pekerjaan. Surat lamaran sudah gua sebar ke banyak kantor dan instansi. Tapi belum ada yang tersangkut jaring di sana. Mungkin gua harus punya orang dalam supaya ada yang menjamin dan memberi rekomendasi, atau mungkin harus punya backing penggede dari kalangan pejabat negara,” lanjut Bagio dengan ceplas-ceplos seenaknya.