Mobil bongsor dengan bak besar di bagian belakang, meliuk-liuk dengan lincah di jalan raya. Hanya tiga kilometer lagi sopir akan sampai untuk membawa mobil angkutan barang ke tempat penyimpanan beras di gudang. Pada saat prahoto berada di persimpangan jalan dekat Utan Kayu, prahoto itu tertahan oleh sepeda motor yang menyela, disusul oleh mobil lain yang datang menyerobot—tak mau kalah dengan memepet prahoto. Menjelang sampai ke persimpangan traffic light yang menghubungkan Jalan Ahmad Yani, Jalan Pemuda, dan Jalan Pramuka, muncul seseorang, dan orang itu masuk ke dalam truk. Muncul lagi dua remaja tanggung yang melompat ke tubuh prahoto dengan cara bergayutan terlebih dahulu.
Tangan mereka memegang sodokan yang terbuat dari besi tumpul dan besi yang tajam. Terdapat kantong plastik, mereka bawa secara sembunyi-sembunyi di bagian belakang saku celana. Berkali-kali sodokan besi tajam mengenai tubuh goni yang berwarna coklat muda itu. Beras di dalam goni ikut meleleh. Butiran beras lolos dari sobekan goni yang menganga karena mendapat sobekan oleh besi yang tajam. Sebagian beras yang tercecer dari goni, mereka kumpulkan sambil memasukkan ke dalam kantong plastik berwarna hitam.
Tusukan pada goni lain sengaja mencecerkan beras lebih banyak lagi, supaya beras yang tercecer ke bawah tumpah kian banyak. Selanjutnya beras tercecer di sela-sela dinding papan pembatas bak truk. Bila beras telah tercecer ke jalan raya akan hadir pemuda tanggung yang lain lagi untuk memungut beras yang tumpah ruah ke jalan. Beras yang tertumpah ke jalan raya biasanya bercampur dengan debu, tanah, atau pasir sisa dari truk pengangkut bahan bangunan.
Menjelang sampai ke Gudang Dolog, laki-laki yang bertubuh tinggi, badannya tegap, dan sesekali punya senyum kebapakan, melompat dengan sigap. Laki-laki itu dengan sengaja melompat saat sopir lengah, atau mungkin sopir berpura-pura lengah karena tak mau mengambil risiko sewaktu berhadapan dengan garong beras. Terkesan sopir truk sengaja mengabaikan orang yang melompat ke bagian belakang, yaitu memanjat ke dalam bak terbuka itu. Seharusnya sopir dapat mengetahui adanya pencoleng yang beraksi di atas mobil truk. Kalau sopir bermata jeli ia dapat mengintip aksi kejahatan orang-orang itu dari kaca spion mobil, atau kalau kepekaan rasa terpelihara akan dapat mengetahui aksi di luar batas kepatutan.
Namun di antara sopir truk pengangkut itu, memang ada yang mendetak hati, dan menyadari akan bahaya yang mengancam. Perlawanan sopir terhadap pencoleng muatan truk akan dapat berbuah dengan permusuhan, atau perlawanan yang tangkas seperti yang pernah terjadi pada April tahun lalu. Bahkan penikaman terhadap sopir yang membandel karena berani melawan penggarong—dapat saja terjadi pada sopir yang lain lagi. Lazimnya sopir mendapat tudingan sebagai orang yang sok dan anggar jago oleh kelompok pencoleng seperti terjadi tahun lampau, dan aksi kejahatan malah berbuntut dengan penikaman pada bagian perut sopir. Sedangkan kernet pengganti merasa ketakutan dalam bahaya, lalu melarikan diri sampai selamat dari tikaman pencoleng beras.
Bagi mereka satu kantong plastik beras sudah cukup buat bekal makan seminggu, hadiah khusus buat anggota keluarga yang berhasil menggarong. Mungkin juga sebagian dari beras hasil menggarong akan mereka jual buat uang jajan, atau mungkin saja sebagai modal untuk menikmati kudapan ringan–yang dijajakan oleh pedagang kue baskom. Penggunaan beras tergantung pada kebutuhan keluarga itu—yang jumlahnya bisa berubah-ubah.
Pada saat penggarongan itu berlangsung, dua remaja tanggung menyusul dan kemudian melompat, tak kalah heroik aksi penyelamatan keduanya itu. Kantong plastik yang mereka bawa sudah penuh memuat beras curian. Bisanya di rumah kedua remaja akan menjadi pahlawan bagi keluarganya. Sementara para pengais beras yang jatuh berceceran di jalan raya, terlebih dahulu harus membersihkan beras raskin pakai tempah seperti orang yang mengayak beras catu. Memisahkan beras dari debu, tanah, atau pasir, bukanlah pekerjaan sepele bagi orang yang malas. Pembersihan butuh ketekunan, apalagi kalau mau menjual beras buat pembeli lauk-pauk bagi anggota keluarga yang jumlahnya bisa belasan orang.
Pada saat Bara memergoki laki-laki yang tinggi, bertubuh tegap, dan sesekali roman wajahnya kebapakan, ingatan anak itu muncul pada peristiwa bulan Maret lalu. Laki-laki itu sedang mengendap-endap di pinggir jalan dengan jarak yang cukup jauh dari tempat Bara memergokinya. Laki-laki tegap yang terkesan angker saat berjumpa di tanah lapang tempo hari, pernah membentak Bara dengan lagak kasar. Bahkan orang itu dengan cara yang memaksa untuk meminta agar layang-layangnya dipegangi oleh Bara—supaya mudah menarik benang dengan sekencang-kencangnya. Pada saat peristiwa itu terjadi, laki-laki itu terlihat senang ketika layangannya mendapatkan angin untuk beranjak dengan perlahan-lahan ke dekat langit.
Orang asing itulah yang pernah bertengkar dan berkelahi dengan laki-laki berkumis tebal. Laki-laki berkumis adalah pemain layang-layang seteru—yang mendapat tuduhan telah ingkar janji untuk membayar uang denda taruhan. Keduanya bertengkar hebat dan berkelahi fisik, kala perselisihan itu terjadi. Laki-laki yang wajahnya berhias kumis seperti ijuk itu, layang-layangnya putus tali benang, namun enggan untuk membayar uang taruhan atas kemenangan seterunya. Kemudian terjadi upaya untuk saling mempertahankan keyakinan diri masing-masing tentang uang denda taruhan itu. Acungan celurit pun berbicara sebagai penunjuk sikap, siapa yang lebih jagoan di antara mereka. Si gondrong yang hadir melerai keduanya, supaya terhindar dari pertumpahan darah oleh persoalan yang sepele, tak mereka hiraukan jadi penengah. Tapi karena menyangkut kejujuran dan harga diri, kedua orang itu malah berkeras untuk bertarung—yang sebenarnya dapat berakibat lebih buruk terhadap tubuh yang rentan.
Bara menyaksikan dari jarak jauh sewaktu laki-laki bertubuh tegap dan tinggi itu berjalan tergopoh. Ia memakai celana ponggol sebatas lutut. Ketampanan tubuhnya, sebenarnya pantas bila ia menjadi bintang film aksi drama. Tapi anehnya, kali ini laki-laki itu sedang membawa kantong plastik yang besar dan berwarna hitam. Kantongan sengaja disembunyikannya di balik tubuh, supaya jangan terlihat dengan leluasa oleh orang ramai—yang berlalu-lalang di pinggir jalan raya. Ia seperti mengendap-endap, dan roman wajahnya agak pucat. Mungkin orang itu khawatir kalau ada pihak lain yang menyergap tiba-tiba dari arah yang sulit terduga.
Dari jarak jauh dan agak tersembunyi dari penglihatan, Bara penasaran dan sengaja untuk membuntuti laki-laki yang tegap dan tinggi itu. Satu dari kaki laki-laki itu berjalan agak terpincang-pincang, dan terlihat ia kurang nyaman dengan situasi ruwet di sana, atau mungkin ada yang sengaja disembunyikannya dengan kepincangan kakinya. Kepalanya bergoyang-goyang pelan sewaktu memperhatikan sekeliling dengan teliti sekali, dan mewaspadai apa yang akan terjadi pada sekelilingnya. Ia mengendap-endap lagi, lalu menuju ke sebuah bangunan kecil yang berbentuk kubis. Tempat mungil itu berdinding triplek dan terletak di pinggir jalan.
Kediaman yang ditempatinya seperti sebuah warung besar yang tertutup. Dari jarak jauh sukar tergambar seperti apa suasana di dalam. Tidak ada penghuni lain di dalam warungnya. Jangan-jangan tidak terdapat kamar mandi, atau kakus di warung yang menjadi rumah tinggalnya itu.
Sambil mengendap-endap Bara sengaja untuk mendekat ke warung, sekilas tegak seraya melintasi warung mungil yang jadi hunian laki-laki tegap dan tinggi itu. Ia memperhatikan sekeliling dengan perasaan ingin tahu dan penasaran yang sebegitu dalam. Di depan warung terdapat kali besar yang airnya lebih sering kering, apalagi pada musim kemarau panjang. Di dekat warung terdapat sebuah restoran besar yang sering dikunjungi oleh orang-orang bermobil.
Tak lama kemudian laki-laki tegap keluar dari dalam warung sambil celingak- celinguk. Pada saat ia berjalan, tidak kelihatan kakinya terpincang-pincang seperti ketika berjalan di jalan raya tadi. Orang asing itu memandang ke arah depan dengan mata yang lindap. Pandangan matanya terperosok ke arah anak—yang tak jauh pula dari jangkauan ingatannya. Ia ingat dengan tanah lapang tempat bermain layang-layang, Maret lalu. Dialah bocah yang pernah dibentaknya dengan suara yang lantang, tapi tetap mau menolong layang-layangnya yang mengalami kesulitan untuk terbang ke udara.
“Woi, mau ke mana elo bocah pemain layang-layang?” kata laki-laki itu sambil menghadirkan senyum kebapakan, menyapa Bara dengan suara yang keras.
“Saya si Bara, Om,” jawabnya lunak.
“Oh ya, elo yang membantu gua tempo hari, kan? Benar…, elo ikut membantu pada saat layang-layang gua belum bisa naik ke langit, karena embusan angin yang tipis pada saat itu. Gua masih ingat, angin yang bersiul dengan lamban tempo hari itu seperti lagak orang yang malas untuk bergerak. Angin yang malas telah menyulitkan gua untuk menaikkan layang-layang ke dekat awan.”