Malam Minggu di bulan Juni menjadi malam panjang yang dinanti-nantikan. Pada musim perkawinan antarsuku, tidak jarang pemilik hajatan mendatangkan hiburan malam seperti layar tancap buat menghibur tetangga dan warga sekitar perkampungan. Film yang pernah diputar di bioskop dan populer pada masanya, hadir di tengah khalayak penonton dengan cuma-cuma. Biasanya pemutaran film secara gratis itu melegakan hati, bahkan untuk ketenangan bagi penonton yang hadir—petugas keamanan berdiri untuk berjaga-jaga, tujuannya demi semua penonton merasa nyaman di tengah keramaian.
Layar putih berukuran besar terhampar di bagian depan. Sebuah layar yang berada di hadapan penonton, hadir dengan gagahnya, seolah-olah sosok tinggi ke atas, dan berdiri ke arah sudut yang lapang. Di depan layar film terdapat halaman kosong yang luas, dan menjadi tempat berdiri bagi penonton, atau tempat duduk yang asyik bagi penonton lain sambil menikmati cemilan. Suara dialog maupun ilustrasi musik yang muncul dari loud speaker, biasanya kencang namun pada telinga penonton terdengar kurang jernih. Tentu saja bagi penonton mudah untuk memahami, terutama mereka yang mengerti akan kelemahan teknologi pengeras suara film, apalagi selama ini loud speaker itu dipakai berulang-ulang pada tempat yang terbuka—sering terciprat oleh air hujan, maupun tertimpa oleh panas matahari.
Bara dan Oskar berjanji untuk menonton layar tancap di malam Minggu yang panjang ini. Tempat pertunjukan film berada di tanah lapang yang sekelilingnya berpagar kawat berduri di perkampungan. Mereka pernah bermain layang-layang di tanah lapang, tapi pada malam ini pagar kawat berduri di sekeliling sudah copot semua, supaya penonton film terhindar dari tusukan kawat berduri yang berkarat. Pemilik hajatan sengaja menyewa tanah lapang ini sebagai tempat hiburan malam. Sekarang ini tanah lapang tanpa pagar kawat, terkesan menjadi lebih nyaman di dalam area yang luas. Meski rumah pemilik hajatan berjarak seratus meter lebih dari tanah lapang, tiada pilihan baik bagi mereka untuk merayakan hajatan selain di tanah lapang itu. Ini demi merawat tradisi warga setempat, demi gengsi sesaat, dan sekaligus demi harga diri keluarga pengantin yang merayakan hajatan.
Pemutaran film pada layar besar menandakan pemilik hajatan sebagai orang yang murah hati, rela berbagi rezeki dengan orang lain sekalipun mungkin uang yang dihambur-hamburkan adalah hasil menjual tanah warisan. Tentu saja bagi keluarga dari kalangan orang berada dan cukup beruntung nasibnya, mereka biasanya tetap rela kalau terpaksa harus menguras tabungan, misalnya dengan menghabiskan tabungan di bawah bantal—yang selama ini berlebih-lebih. Hanya tanah lapang itulah satu-satunya lokasi yang layak, pantas, dan memungkinkan bagi pertunjukan layar tancap pada malam hari. Tempat yang lain cukup jauh dan kurang cocok sebagai tempat pemutaran film, karena biasanya penonton yang datang ke sana akan tumpah ruah.
Film kedua baru saja memasuki masa putar. Beberapa di antara pengunjung yang bertahan di tanah lapang, menatap layar film sambil mata melotot ketika menyaksikan adegan yang asyik. Sebagian lagi ada yang tersenyum dengan wajah memelas. Seperti biasanya, kegiatan menonton film berseling dengan percakapan atau komentar satu dengan yang lain, tapi ada juga yang mengumbar lamunan malam. Ada lagi yang menikmati cemilan ringan seperti combro, timus, kacang goreng, atau kudapan yang lain. Minuman favorit pada saat menonton adalah bajigur yang hangat-hangat kuku, dan lazimnya penonton baru akan menyeruput bajigur—setelah minuman dibiarkan pada gelas selama tujuh menit. Obat nyamuk lingkar berwarna hijau, melingkar seperti spiral pada saat ujungnya terbakar dengan perlahan-lahan. Kepulan asap obat nyamuk bukan hanya menghalau nyamuk nakal, tapi juga mengganggu pernapasan penonton di dekatnya. Pada area lahan yang luas, obat nyamuk hanya efektif untuk masa sejenak saja. Setelah asap obat nyamuk lenyap dan menghilang dalam kegelapan, gigitan nyamuk yang mampir akan lebih perih lagi pada kulit korbannya.
Pesona film yang sedang dalam masa putar mengalahkan lamunan malam, atau gangguan nyamuk yang nakal. Dua orang yang menjadi bintang utama dalam film yang kini berlangsung adalah pria dan wanita yang muda usia. Si pria dengan perawakan gagah itu punya kumis yang tipis. Hidungnya mancung. Sedangkan bintang film wanita, yaitu seorang putri cantik yang cerdas, hidungnya juga mancung—terkesan menantang untuk dikagumi oleh orang yang melihat sosoknya.
Kisah film ini bercerita tentang Bastian yang bekerja pada perusahaan milik keluarga Ade. Tumbuh bunga cinta di antara Ade dan Bastian. Kemudian muncul halangan. Keinginan keluarga Ade, sebenarnya untuk menjadikan Johny yang baru pulang dari Jerman sebagai menantu keluarga Sunarya. Tapi Ade menolak keinginan jodoh dari kedua orang tuanya, yaitu Ayah dan Ibu.
Peristiwa tak terduga terjadi dengan kedatangan bekas mertua Bastian yang membeberkan tentang kebusukan hati Bastian saat Siska terbunuh. Bahkan Bastian pernah dipenjara karena membunuh Siska. Seperti kejadian cerita yang mudah menebaknya, Ade pasrah saat menerima nasib. Sebab orang yang paling dekat dalam kehidupannya, justru berbalik arah dengan menolak Bastian.
Layaknya angin berembus, sewaktu-waktu arah embusan angin mengalir ke jalur yang sukar bagi orang untuk menebaknya. Bastian pun menghilang bersama angin yang mengalir. Rupanya Bastian bertani bunga untuk membantu sosok yang dekat dengan hidupnya, dan selama ini telah berjasa bagi Bastian.
Cerita mengalir pada saat Bastian mengirim bunga ke Jakarta, ia pun berjumpa dengan Ade, dan calon suaminya, yaitu Johny. Pergolakan jiwa Bastian mendidih, ia tidak rela bila Ade dikawini oleh Johny. Singkat cerita pada masa menjelang pernikahan, Ade dan Bastian pergi. Melarikan diri bersama dua orang lainnya. Johny mengejar Bastian dengan pistol. Terjadi perkelahian yang menewaskan Johny dan kawannya. Berakhir bahagia, Ade dan Bastian pun pergi untuk menghadap penghulu. Lalu mereka menikah.
Saat menonton film tadi, Oskar memilih tempat yang nyaman, berada di dekat layar. Matanya tak berkedip saat menyaksikan adegan film yang manis, bergelora dalam suasana romantis—yang begitu dinamis. Membawa hanyut bersama malam yang pekat.
Berada di samping kanan Oskar sambil duduk berselonjor adalah kawan baiknya, yaitu Bara. Pandangan Oskar maupun Bara tertuju ke layar tancap. Adakalanya Oskar tersenyum, lalu senyum Bara menyusul. Ada saatnya Oskar memuji kekaguman terhadap cara-cara bintang film memerankan tokoh yang diwakilinya. Bara juga kagum akan sosok bintang film itu. Pada kesempatan berbeda berikutnya, keindahan perasaan sepasang manusia bergelora, sebab mereka dapat mengalahkan rintangan. Protagonis mengalahkan keburukan seterunya. Hasrat penyelewengan cinta oleh si Johny yang bermimpi agar dapat menjadikan Ade sebagai istri tercinta, ternyata buyar tanpa menduganya.
Bintang pemeran utama wanita film itu hanya pendatang baru. Film inilah debut pertama. Meski pada mulanya produser film menolak usulan sang sutradara untuk memanfaatkan si pendatang baru sebagai pemeran utama wanita, pilihan sutradara tak dapat digoyahkan. Tubuh krempeng dan dada yang tipis, bukan halangan serius untuk menjadikan si pendatang baru sebagai bintang. Sang sutradara yakin, ia dapat menggodok kecakapan seni peran si calon bintang, menjadi lebih bagus seperti yang diinginkannya. Di sanggar yang menjadi tempat workshop-nya, sutradara bertekad untuk memoles si gadis pendatang baru sebagai primadona. Tapi bukan bintang primadona murahan, melainkan primadona film yang berkelas. Mungkin bintang kelas aktris itu seperti kelas berlian yang langka.
Pemain utama pria adalah si hidung mancung yang punya pengalaman dan modal cukup sebagai pemain teater. Masa latihan melalui workshop yang berdisiplin, mulai mematangkan karir sebagai bintang film berkelas. Pondasi latihan dasar teater, membuat kematangan seni peran dalam film itu tergambar sebegitu natural, dan sosoknya dengan mudah untuk menjiwai karakter tokoh yang diperankan dalam film drama tersebut.
Si pendatang baru tiada lain, yaitu Christine Hakim. Ia gadis manis berwajah molek yang berperan sebagai Ade. Sedangkan bintang pria berwajah Timur Tengah dengan rambut menempel lebat di dekat bahu. Suaranya mudah dikenali, empuk dengan dialek yang khas. Sang bintang pria tiada lain adalah si tampan Slamet Rahardjo.
“Dalam cerita sebenarnya, si Ade adalah Septiana. Sedangkan si Bastian…, adalah kawan baikku si Bara,” kata Oskar sambil menoleh ke arah kawan di sampingnya. “Bedanya bila si Bastian itu duda keren, kawan saya si Bara tujuh tahun mendatang masih tetap pria yang lajang.”
Roman wajah anak itu bersemu merah. Malam hari yang sinar terangnya samar-samar dari cahaya bulan, terbantu oleh cahaya dari pantulan proyektor. Tidak begitu kentara perubahan rona wajah Bara yang bersemu merah di malam hari, tapi keterkejutan amat sukar untuk disembunyikan. Pandangan matanya bercampur rasa heran saat menerima ledekan Oskar—yang kemudian berubah jadi lucu baginya, hingga terasa menggelikan dalam khayalannya.
“Suatu saat bila kalian sudah menjadi remaja, mungkin kisah cinta kalian akan seperti cerita film Cinta Pertama. Namun hendaknya kisah cinta kalian direstui, berjalan tanpa suatu rintangan yang berat. Jadi tak perlu kawin lari segala,” kata Oskar dengan ramah, sekadar menirukan lagak seorang deklamator.
“Kamu jangan berkhayal dulu. Meskipun kata-katamu penuh dengan khayalan, tetap enak didengar sih. Tapi, setelah saya cermati, tutur katamu mengada-ada deh, Oskar! Septiana itu teman sekolah yang baik hati, murah senyum, nggak pelit orangnya. Lagi pula, ia nggak sombong sama siapa pun yang mengenalnya. Apalagi sama saya!”
“Setelah tontonan berakhir, kamu sangat menjiwai karakter si Bastian kan, Bara. Kamu dapat membayangkan si Ade itu, ibaratnya ya si Septiana. Berarti selama ini kamu sudah mendalami isi hati Septiana melalui pergaulan, maupun dari beberapa percakapan rahasia kalian. Hore! Cinta Pertama di Bangku SMP Sahabat Sejati judul filmnya, bila kelak menjadi cerita film drama anak-anak loh,” kata Oskar meledek dengan gaya yang lebai.
Wajah Bara tambah bersemu merah, meski ia tak mampu untuk menyembunyikan perasaan senang sewaktu mendengar pujian itu. Namun Bara juga menangkap nada yang lain, yaitu terselip nada kecemburuan di dalam kalimat Oskar saat membawa-bawa nama Septiana di dalam percakapan yang sebenarnya di luar perkiraan semula.
Pada malam yang panjang itu bagi Bara—bukan hanya cerita film yang menyentuh hati, melainkan juga ledekan Oskar. Memang, ledekan itu segera mengingatkan Bara akan sosok Septiana yang mengagumkan bagi hatinya yang merahasiakan sesuatu. Cerita dan pengalaman Septiana pada saat dikejar-kejar oleh anjing milik tetangga, terbayang-bayang selintas lalu. Perbincangan mereka di kelas saat jam istirahat sekolah juga melintas bagaikan kenangan yang sukar untuk Bara lupakan, meskipun telah berlangsung beberapa bulan.