Rumah bertingkat dua di pinggir jalan yang berkelok itu, sebenarnya tidak besar kalau dibandingkan dengan rumah-rumah lain yang berderet di sana. Meski rumah itu bertingkat dengan bentuk yang khas, pada bagian atas hanya terbuat dari bahan kayu yang sederhana. Lantainya pun terbuat dari kayu dengan penataan yang rapat dan rapi. Dinding kamar berupa triplek yang sambung-menyambung, dan berjejer pada rangka kayu. Plafon atap juga terbuat dari triplek dengan cat berwarna putih yang mulai kusam.
Terdapat sembilan orang yang menghuni rumah bertingkat dua itu, padahal sebenarnya, keluarga inti hanya tujuh orang yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan lima orang anak. Hanya saja keluarga ini menampung dua orang anak dari keluarga lain yang hidupnya selama ini kurang beruntung. Meski tidak ada hubungan pertalian darah dan persaudaraan keluarga, atau tidak ada hubungan hubungan darah keturunan secara langsung, hadirnya dua orang anak asuh di rumah ini malah jadi pelengkap kebahagiaan yang seimbang. Keduanya ikut jadi bagian penting dari keluarga ini, tidak berbeda dengan anak kandung yang lain. Keduanya hadir sebagai pelengkap yang sempurna untuk kebahagiaan, dan untuk kebersamaan dalam persejajaran keluarga inti. Bahkan keduanya hadir sebagai bagian dari anak yang senantiasa bersikap hangat dalam keluarga ini pada setiap hari. Kehadiran kedua anak asuh itu, tidak dibeda-bedakan dengan anak-anak kandung yang lain oleh pemilik rumah itu.
Biasanya penghuni rumah yang terdiri dari orang dengan jumlah yang banyak akan berbanding lurus dengan sampah domestik rumah tangga yang mereka hasilkan setiap hari. Di sana bak sampah ukuran sedang terletak di samping kiri rumah, dan pada pagi hari bak sampah pun akan terisi penuh. Bermacam-macam isi di dalam seperti sampah makanan, kertas kardus, koran usang, botol, dan banyak sampah yang lain lagi. Sesuai dengan jadwal pada setiap pagi hari, yaitu hari Rabu dan hari Sabtu, akan hadir petugas kebersihan dari kelurahan—yang datang untuk mengumpulkan dan mengangkut sampah rumah tangga warga sekitar tempat itu.
Sebelum sampah diangkut dengan gerobak berwarna oranye, tak jarang bak sampah akan menimbulkan bau menyengat—yang terasa menusuk hidung orang yang berada di dekatnya. Bau menyengat yang busuk dari kotoran rumah tangga yang terkumpul, dapat merebak dengan bau anyir ke sekeliling. Apalagi kalau sampah insang ikan dan ujung kepala udang, bau busuk yang muncul dapat membuat rongga hidung jadi sesak, dan kenyamanan orang yang berada di dekat itu akan terganggu olehnya. Meski terdapat sampah basah rumah tangga, tak jarang pula di dekatnya—dengan bersamaan tergeletak pula sampah dari kamar mandi seperti pembungkus odol. Bungkus odol seperti Pepsodent terbuat dari aluminium tipis yang tajam bila kulitnya terkupas, atau kalau dengan sengaja untuk merobeknya. Sedangkan dari sampah pembangunan rumah, bisa saja pemulung menemukan satu atau dua potong besi yang besarnya seperti empu jari, dan kadang-kadang di sana muncul pula tembaga mengilat—yang berwarna coklat tua.
Sisa-sisa sampah seperti besi, tembaga, atau bungkus odol yang terbuat dari aluminium tipis, punya nilai ekonomi yang cukup berharga kalau terkumpul dalam jumlah banyak. Pengumpul barang bekas yang berkeliling kampung, biasanya dengan para pengumpul dapat melakukan barter barang loak, atau menukar dengan cemilan yang dibawanya. Anak-anak yang menemukan dan mengumpulkan bungkus odol terbuat dari aluminium tipis, atau menemukan rangka besi yang berselimut dengan semen, biasanya akan berhati girang dan penuh kegembiraan pada saat meraih barang itu dari bak sampah. Terutama pada saat orang itu dapat menukarkan benda loak tersebut dengan cemilan seperti permen, atau menukar dengan permainan anak-anak kecil seperti burung-burungan yang beraneka warna. Tapi ada juga pedagang mainan yang mau membeli barang loak dengan uang kontan.
Bara dan Oskar telah sepakat satu dengan yang lain untuk mencari uang jajan tambahan, dan keduanya tertarik untuk mengumpulkan barang-barang bekas dari tong sampah di rumah orang. Nah, ketika keduanya berada di dekat rumah yang bertingkat dan bagian atas terbuat dari kayu yang khas itu, terlebih dahulu mereka mengamati tempat sampah dari jauh dengan pandangan harap-harap cemas. Perlahan-lahan mereka mendatangi tempat bak sampah, lalu mengais-ngais isinya dengan gerakan tangan yang pelan dan lembut. Mereka menemukan tiga tube bekas odol dari bak sampah, dua buah botol kaca minuman Fanta, serta benda yang lain seperti aluminium yang berupa periuk nasi dengan bentuk yang sudah uzur.
“Asyik. Lumayan nih rezeki kita dari bak sampah ini,” kata Bara sambil menunjukkan benda-benda yang ditemukannya. “Sekali ini kita betul-betul beruntung mendapatkannya!”
“Oh, tadi bak sampahnya bau menyengat karena ada bekas sampah ikan, bercampur dengan sisa kotoran udang yang telah terpisah dari daging udang yang mau dimasak. Saya lihat ada kepala ayam juga di dekatnya,” ucap Oskar sambil menutup hidungnya, sekaligus memaksakan diri untuk tersenyum.
“Begitulah risiko bagi kita kalau kita ingin dapat rezeki. Tak ada barang loak yang dengan mudah kita dapatkan dari bak sampah. Selama ini hidup kita keenakan, karena kita terbiasa untuk menetek terus—berkat adanya uang jajan yang keluarga berikan kepada kita. Sekarang ini barulah kita paham dengan keadaan yang sebenarnya, betapa sukar untuk mendapatkan uang receh dari kegiatan usaha yang berkeringat, yaitu usaha oleh diri kita sendiri dengan menguras tenaga dari satu tempat ke tempat bak sampah lainnya,” kata Bara dengan rasa menyesal yang begitu kental.
“Memang, dalam setiap usaha seperti yang lazim benar-benar membutuhkan perjuangan, Bara. Sekarang kita jadi lebih paham dengan perjuangan untuk mendapatkan rezeki, rupanya nggak mudah untuk menjalani perjuangan usaha—walaupun hanya untuk mendapatkan uang receh sebagai pelengkap bagi kita saat mau jajan. Padahal kegiatan ini kan hanya tambahan uang jajan yang sedikit jumlahnya, menambah bekal kita buat jajan makanan,” jawab Oskar dengan tenang.
Lalat hijau terbang ke sana ke mari. Suara lalat berdengung-dengung—bercampur dengan raungan yang kedengarannya menyebalkan. Lalat hijau bukan hanya hinggap pada plastik yang terdapat di bak sampah terbuka, tapi juga menghinggapi pipi Bara pada bagian sebelah kiri. Lalat yang muncul makin banyak ketika Bara mengais-ngais tumpukan sampah lebih dalam, seolah-olah lalat tidak merelakan bila ada orang yang mengambil sampah dari bak. Di sana terlihat seekor tikus got yang membusuk, tergeletak pada bagian pojok kanan bak, dan baunya terlalu menyengat pada hidung yang berleleran.
“Pantas saja di sini bau busuknya—sebegitu menyengat, luar biasa bau. Kepala tikus itu terkena pukulan kayu, dan membusuk pada lubang matanya. Bulu-bulu tebal pada bagian perut di tubuh tikus itu, telah mengelupas dan menyisakan warna putih pada kulitnya. Tubuh tikus terkesan licin karena bulunya yang mengelupas dan rontok, Oskar.”
“Sebaiknya kita jangan berlama-lama di bak sampah ini. Penyakit sampar dapat ditimbulkan oleh tikus dan kotoran sisa ikan yang terdapat di sini, Bara.”
“Benar, dan kamu nggak keliru telah mengatakannya, Oskar. Penyakit sampar kan penyakit yang berbahaya bagi manusia. Sampar dapat disebabkan oleh infeksi bakteri yersinia pestis.”
“Apa maksudmu, Bara?”
“Begini cara penularan yang terjadi. Pada awalnya serangga menggigit hewan yang terinfeksi seperti gigitan serangga pada tikus, atau pada tupai, atau gigitan di tubuh bajing. Nah, bakteri itu dapat berpindah untuk memasuki tubuh manusia pada saat seseorang mengalami kontak melalui gigitan serangga yang terinfeksi. Begitulah cara penyebaran penyakit sampar itu.”
“Kalau begitu saya masih ingin hidup lebih lama lagi, Bara. Ayo secepatnya kita tinggalkan bak sampah ini.”
Kedua anak itu beranjak dengan sikap optomis ke rumah yang berikutnya. Bak sampah di sini lebih bersih daripada bak sampah rumah pada rumah yang sebelumnya. Namun di sini hanya terdapat sebuah tube odol Pepsodent. Pembungkus sabun mandi Lifebouy, tidak mereka ambil karena hanya kertas tipis yang belum punya nilai ekonomi kalau ditukarkan kepada pedagang loak.
Saat mereka menemukan sebuah rumah yang berbeda lagi—yang mana rumah itu sedang mendapat sentuhan dari pekerja bangunan agar ruangannya lebih luas dengan dekorasi yang cantik, Bara terkesima saat melihatnya. Ia berhenti di depan rumah itu sambil memandangi bangunan dengan kagum. Sisi sebelah kanan rumah terdapat bongkahan bangunan yang baru saja diruntuhkan. Tumpukan sisa bangunan teronggok dalam wujud bata berbungkus semen, kayu lapuk, triplek, dan masih ada sisa sampah lainnya seperti sisa rangka besi. Di sana Bara menemukan juga bekas penopang tiang sebesar lengan orang dewasa, dan panjangnya satu meter lebih.
Bara memungut besi sebesar telunjuk jari dari sana, dan memasukkan besi itu ke dalam kantongan yang dibawa dengan menjinjing pakai sebelah tangan. Tentu saja tidak muat karena besi itu panjang, dan sulit untuk menekuknya. Pada saat Bara menekuk besi itu lagi dengan tangan kiri, terasa tambah keras karena sulit untuk menandingi besi oleh tangan kidal yang lembut. Akhirnya ia membungkus besi itu dengan kertas koran bekas. Kemudian giliran Oskar yang menenteng besi itu, dan ia merasa gembira ketika membawa potongan besi—yang keras sekali, bahkan melebihi keras kayu jati yang berusia ratusan tahun.