Bangunan yang beratapkan seng itu berada di atas lahan yang cukup luas, memanjang sampai ke belakang. Bentuk dan lebar dari bangunan tergolong panjang, yaitu sekitar 15 meter. Terdapat tiga unit truk yang baru masuk ke dalam bangunan itu. Muatan truk yang baru datang di sana, sampai menyundul atap pada bagian belakang mobil prahoto.
Para pekerja yang bertubuh kekar, segera naik ke atas truk yang baru tiba. Beberapa di antara mereka hanya memakai kaos singlet berwarna putih. Pada pundak bagian kanan pekerja, dilapisi oleh setumpuk kain yang agak tebal. Kain di pundak pekerja itu berfungsi sebagai pelindung agar gesekan antara karung beras dengan kulit pundak si pekerja, jangan sampai menimbulkan lecet di bagian pundak. Di dekat truk pengangkut yang paling bongsor, seorang mandor sedang sibuk mengawasi para pekerja yang menurunkan goni beras ke gudang.
“Bagaimana mungkin goni beras itu pada bolong-bolong. Bukan kecil bolong yang tersisa pada kulit goni ini loh,” kata mandor sambil berkacak pinggang. “Muatan beras kita jelas berkurang, pastilah beras itu berceceran pada saat mobil ini berjalan. Jangan-jangan sengaja kalian bolongi goni-goni di dalam truk ini.”
Seorang sopir yang diajak berbicara oleh mandor terpaksa menutup mulutnya karena merasa akan lebih baik untuk diam dan mengalah saja. Kepala sopir itu mengangguk-angguk dengan rasa hormat yang berlebihan terhadap si mandor. Barangkali sikap sopir itu lebih dekat kepada perasaan takut karena mandor memarahi dengan mulut bawel yang kasar sekali. Mata sopir itu tak berkedip, dan dengan jeli memperhatikan mulut mandor saat berkata-kata dengan lugas. Agaknya kata-kata mandor itu keras bagai batu koral, apalagi tak hadir senyum yang melintas di antara kedua orang itu. Hanya suara kemarahan mandor yang terdengar nyaring seperti suara ledakan bom atom di Hiroshima.
“Jangan sampai aku memergoki beras curian di rumahmu ya, Topaz. Kalau setiap kali muatan yang kaubawa berkurang sepuluh kilo, sehari kau bisa mengumpulkan 30 kilogram beras, misalnya kalau kau berhasil tiga kali mondar-mandir dengan truk ke gudang ini dalam satu hari,” kata mandor lagi. “Itu artinya kau ikut menjarah uang negara cukup besar setiap bulan. Kau tahu akibatnya kalau kau sampai mengorupsi uang negara, kan?”
Sopir truk itu terdiam. Mulutnya terkunci lebih rapat pada saat mendengarkan kemarahan mandor—yang berkobar-kobar dengan bau busuk yang muncrat dari mulutnya. Di Gudang Dolog atau Depot Logistik ini, mandor gudang sangat berkuasa terhadap sopir. Bila perkataan mandor dengan seenaknya mendapat bantahan oleh sopir—yang dapat berakibat dengan munculnya ketersinggungan, bukan mustahil kalau keangkuhan mandor kian melonjak lagi. Bukan tidak mungkin pula pada bulan berikut si sopir sudah menjadi pengangguran. Sopir pembangkang kena pecat dengan alasan melawan atasan, dan kunci mobil diambil oleh sopir baru yang menggantikan posisinya. Meski hanya sebagai sopir truk, lamaran mengantri di bagian personalia.
Rojali, sopir truk pengangkut beras Dolog yang lainnya, paham benar akan tabiat buruk si mandor. Cara terbaik pada saat menghadapi kerumitan seperti yang kini terjadi, rasanya akan lebih baik diam seribu basa, atau menganggukkan kepala dengan rasa hormat. Kedua tangan berada di atas resleting celana. Lebih baik menerima cercaan kemarahan daripada menyuarakan pendapat, atau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Topaz juga terdiam, mulutnya bungkam di tengah keheningan yang berlalu sambil terdengar hiruk-pikuk suara buruh angkut yang bekerja untuk memindahkan beras ke dalam gudang.
“Kalau goni beras bolong-bolong, kutu beras akan mudah masuk ke dalam bungkusan goni. Kutu beras pun akan cepat berkembang-biak di dalam goni yang busuk,” kata mandor dengan nada yang masih tinggi. “Kalau isi beras busuk oleh kutu beras, mutu beras jadi berkurang. Sia-sia hasil panen petani. Paham? Kalian kan tahu, berapa lama yang petani butuhkan untuk menanam padi di hamparan sawah. Mulai dari menyiangi lahan, menanam bibit padi, membereskan humus tanah garapan, melenyapkan serangga pengganggu, dan memberi pupuk. Petani juga menyemprot tanaman dengan pestisida pembasmi hama, ah pokoknya panjang sekali proses sampai beras menginap di gudang kita ini. Bagaimana? Kalian paham, bukan?”
“Siap, Pak! Akan kami perhatikan nanti pada saat mengangkut beras yang berikutnya,” sahut Rojali dengan nada suara yang hampir tak terdengar. “Siap kalau dapat teguran lagi!”
“Coba kalian bayangkan proses panjang yang dilalui oleh beras raskin di gudang Dolog kita ini. Tadi kan sudah kuceritakan semua—betapa panjang mata rantai beras hingga makanan utama rakyat negeri kita ini sampai di sini, tersimpan di gudang besar Dolog ini,” kata mandor lagi dengan nada kesal yang belum hilang.
Mangkuto, mandor gudang beras itu, menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Ia merasa para sopir harus mendapat semprotan galak secara tegas, dan kekasaran mulut bukan lagi sesuatu yang tabu baginya. Kalau menghindari tindakan kasar seperti takut untuk marah-marah, apalagi kalau enggan untuk memarahi sopir, alamat celaka yang akan terjadi. Tanpa adanya sikap tegas dengan nada sok berkuasa, biasanya membuat sopir akan mudah lalai. Sikap kehati-hatian dari sopir truk akan lengah, sebab mereka cenderung untuk abai—terlenakan oleh sikap ceroboh, dan meremehkan kewaspadaan yang seharusnya tertancap dalam hati. Saat berada dalam perjalanan mengangkut beras dari Krawang, sopir tak akan berubah lebih baik kalau mereka cenderung untuk bertindak sembrono di jalan raya. Pencurian beras akan terjadi berulang dan lebih semarak lagi. Apalagi kalau di antara sopir bersikap pengecut, atau berkolusi dengan penggarong beras, alamat celaka bagi badan negara yang mengurusi logistik utama seperti beras murah itu.
“Coba kauhitung jumlah goni yang tersisa di dalam truk. Tambahkan dengan jumlah goni yang sudah diturunkan dari mobil truk oleh buruh angkut. Apakah sudah sesuai dengan jumlah goni pada saat kau mengangkutnya dari Krawang, Rojali,” kata Mangkuto dengan nada menyepelekan sopir.
Rojali melompat ke atas truk dengan langkah sigap. Tangannya berpegangan pada rangka kayu di dinding pembatas, seraya menghitung jumlah goni yang tersisa di situ. Mengingat-ingat sesuatu, lalu menjumlahkan dengan cara meraba-raba jari-jarinya yang gemetar. Keningnya mengernyit. Kurang satu goni? Oh, tidak. Ia menghitung ulang kembali. Jumlah goni sesuai dengan jumlah saat ia mengangkutnya dari Krawang. Sopir itu melompat lagi ke bawah dengan dada yang kembang kempis. Mandor tak dapat ia temukan di tempat semula, ternyata mandor sedang melakukan inspeksi ke mobil berikut yang sedang menurunkan goni beras.
Saat Mangkuto mendatangi kembali truk yang disopiri oleh Rojali dari Krawang, tubuh Rojali rendah, membungkuk-bungkuk lagi dengan sikap seperti orang taklukan yang merendahkan martabat diri sendiri. Sekali ini Rojali terlihat lega karena jumlah goni yang dibawanya tak berkurang satu pun. Tapi senyum pada wajah mandor, kelihatan telah terbunuh oleh kemarahan. Rojali membungkuk-bungkukkan tubuhnya lagi, dan lebih rendah lagi kepalanya menunduk. Rojali menyadari kekhawatiran dirinya, karena muatan beras memang berkurang. Beras telah dilucuti oleh penggarong dengan sodokan besi yang tajam. Kalau dijumlahkan beras yang berkurang setiap hari, bukan tidak mungkin jumlahnya bergoni-goni—yang lenyap dalam perjalanan dari Krawang, yaitu jumlah total beras hilang selama sepekan hari kerja. Truk pengangkut yang lain juga mengalami pencurian beras dalam perjalanan, lenyap oleh penggarong yang mencuri dengan cara menyodok goni beras pakai benda tajam, berseling dengan sodokan tumpul.
“Jumlah goni pada saat saya angkut sampai goni tiba di gudang ini masih tetap sama, Pak!” kata Rojali, nyaris bibirnya tergigit saat berbicara. “Pada bagian bawah bak terbuka tidak terdapat goni yang sudah dibolongi. Semua goni masih utuh seperti awal saat naik ke truk di Krawang, goni utuh seperti sejak semula kok.”
“Kalau ada penggarong yang membolongi goni, pasti mereka memilih goni yang paling mudah terjangkau pada tumpukan teratas,” kata Mangkuto menyenggak. “Waktu yang mereka butuhkan untuk beraksi di atas truk kan terbatas. Mereka terpaksa mengambil beras dari lubang karung goni yang posisinya paling terlihat, Rojali. Karung goni sebelah atas kan terlebih dahulu diangkut oleh buruh ke gudang beras kita, dan tak ada lagi goni beras yang bolong di mobil truk peganganmu itu. Kau jangan berpura-pura bloon ya!”
“Saya akan lebih hati-hati lagi ke hari depan, Pak. Kalau perlu saya akan memasang perangkap tikus di atas bak truk, Pak,” kata Rojali memberanikan diri untuk bercanda
“Kalau kau mau memasang perangkap tikus, perangkapnya harus dua kali lebih besar dari karung goni ya. Barulah perangkap tikus itu bermanfaat bagimu, Rojali,” kata Mangkuto tak mau kalah gaya. “Kalau si penggarong memang manusia yang dungu, mungkin ia akan terperangkap ke dalam jebakan perangkap tikus besar itu. Tapi masalahnya si penggarong itu lebih berani, dan mereka jauh lebih cerdik daripada sopir seperti dirimu!”
“Apakah ada pedagang yang menjual perangkap tikus dua kali lebih besar dari goni, Pak?” kata Topaz menyambar, maksudnya ikut bercanda.
“Kau ini Topaz! Dulunya apakah kau sampai selesai untuk menamatkan Sekolah Dasar di sekolah tempatmu mengigau?”
“Sekolah saya hanya sampai kelas empat SD, dan itu pun sekolah kelas kampung, Pak. Kalau bolos pun nggak ada guru yang menegur.”
“Oh ya? Sudahlah! Lain kali kalian lebih siaga di jalan raya. Kalau ada bajing loncat beraksi dengan melayang, jangan segan-segan agar kalian bertindak dengan memukul jidatnya, kalau perlu pantatnya juga kalian libas pakai cambuk,” kata Mangkuto sambil berkacak pinggang. “Sopir truk harus punya nyali yang teguh, jangan hanya pandai memegang stir mobil di balik kemudi. Kalau perlu kalian bawa celurit saat mengangkut beras dari Krawang, masing-masing sopir menyimpan celurit di bawah jok mobil sebagai jimat. Kita harus lebih waspada terhadap garong yang buas dan liar, Rojali. Begitu juga denganmu Topaz, kau harus melotot tajam pada saat mengangkuti beras milik negara. Jangan sampai uang mingguan kalian kupotong lagi untuk mengganti denda beras yang tercecer! Dengarkan perintahku baik-baik kalau kalian masih menyayangi pekerjaan untuk menyetir mobil truk.”
Di sisi luar bagian depan Gudang Dolog—yang pada masa sekarang ini telah berganti nama menjadi Gudang Bulog, dua orang bocah mengendap-endap di pintu masuk yang terbuka lebar. Mereka memandangi seksama ke arah halaman dalam gudang dengan mata melotot. Barang-barang rongsokan belum mereka temukan di bak sampah yang besar di luar pintu gerbang. Anehnya mereka belum menemukan seorang pun petugas penjagaan di pintu gerbang yang berukuran selebar telinga gajah.
“Sebenarnya tempat ini untuk digunakan sebagai apa ya? Rumah kah? Atau perkantoran? Jangan-jangan tempat penyimpanan mesiu senjata api,” kata si bocah itu pada temannya.
“Saya juga nggak paham tempat apa sebenarnya!” jawab bocah yang ditanya. “Tapi ada celah kalau kalau mau masuk ke dalam.”
“Tapi kalau kita menyusup ke dalam, apakah kita akan ditangkap oleh petugas keamanan yang mengawasi tempat ini? Kelihatannya nggak ada tanda peringatan larangan untuk masuk ke dalam. Berarti orang boleh bebas masuk ke halaman dalam tempat ini, meski hanya ada pintu tikus.”
“Kamu saja yang masuk duluan. Berani kan! Kalau kamu ditangkap, saya dapat berjaga-jaga di luar. Saya akan memberi tahu Ayahmu di mana posisimu yang terakhir supaya dia bisa melacak keberadaanmu.”
“Wah, jangan curang dong. Enak saja kamu kalau saya yang ditangkap duluan. Bagaimana kalau mereka menangkap saya, dan memenjarakan saya, kelak bagaimana saya bisa bernapas dengan nyaman? Apakah Ayah dapat membela, dan membebaskan saya dari hukuman di lubang tikus?”
“Jangan menjadi pengecut sekalipun gagah. Kita ini bukan penggarong yang berkeliaran. Kita bekerja dengan tulus kok, hanya untuk mencari barang-barang loak yang nggak terpakai sama pemiliknya. Ibarat kegiatan pengorek sampah yang lihai, kita hanya mencari sampah kering yang mudah terjangkau, dan masih dapat kita manfaatkan upilnya. Sampah kering yang terbuang tapi punya nilai ekonomi bagi kita, dan ternyata harganya selangit sewaktu bandar pengumpul membeli barang rongsokan.”
“Siapa pula yang berubah kulit menjadi pengecut? Kalau kita jadi orang yang pengecut terhadap bahaya, kita nggak akan sampai di tempat ini. Tempat ini kan cukup jauh dari rumah kita. Oh, nggak ada yang kita kenal di sini. Nggak ada pula orang yang bertanya-tanya kenapa kita bisa sampai di sini. Belum ada orang yang dapat kita tanya untuk bisa sampai ke bagian dalam gudang ini.”
“Maksud saya yang sebenarnya, bukan menuduhmu penakut. Kita harus selalu bernyali dan waswas. Jangan-jangan ini gudang mesiu senjata, dan muatannya dapat meledak seperti bom atom, sehingga bahaya kalau melukai tubuh kita. Biasanya gudang senjata kan mengandung mesiu yang mudah meledak kalau ada gangguan dari luar, atau karena ada pemicu yang sensitif.”
“Khayalanmu terlalu palsu. Ini bukan gudang mesiu!”
“Siapa tahu. Biasanya mesiu dapat digunakan untuk melengkapi rakitan benda peledak seperti dinamit buat meledakkan batu. Bahan-bahan kimia lain terdapat di gudang senjata, lazimnya dapat bermanfaat untuk merakit bom kalau terjadi peperangan antarnegara. Wow, berbahaya sekali sekiranya bom dijatuhkan dari atas langit, suara ledakan yang membakar rumput bumi akan sangat kencang. Ledakan yang keras itu dapat mengempaskan bongkahan tanah dan batu granit di balik planet tempat manusia hidup.”
“Terjadi seperti perang dalam film cerita Rin Tin Tin, ya?”
“Seperti kisah dalam cerita pengarang Tolstoy…, Perang dan Damai.”
Tak lama kemudian melintas truk bak terbuka. Suara mesin truk merek Hino itu terseok-seok saat memasuki tempat yang luas di dalamnya. Sopir memasuki tempat yang halamannya lapang, tanpa menyadari kehadiran kedua bocah yang berdiri di depan gerbang masuk yang kini melebar. Setelah melihat sekilas, kedua anak itu hanya sekadar menduga-duga adalah karung goni yang dibawa ke dalam, sebagai muatan truk barangkali saja goni berisi beras. Dari warna dan bentuk goni yang memuat beras, kelihatan bertumpuk gagah, dan bisa jadi letoi sewaktu menjadi santapan sebagai menu makanan utama masyarakat.