Berlangsung pada hari-hari belakangan ini di langit, burung-burung bersuara nyaring pada bagian ekor. Mereka acap melintasi langit yang biru. Bunyi suara yang melengking sebegitu khas, seperti desingan pesawat tempur di udara terbuka. Orang-orang yang mendengar bunyi mendengking, penasaran dan biasanya menolehkan kepala ke atas untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan langit. Mereka penasaran, jeli memperhatikan apa yang terjadi di langit sana.
Bunyi mendengking bukan hanya satu, tapi bisa dua, tiga, bahkan lebih. Tapi bunyi nyaring bukanlah suara yang kompak dan padu seperti paduan suara. Bunyi mendengking muncul dari berbagai arah yang berbeda, bisa saja berjauhan, sebab ketinggian burung yang melintas di udara berbeda satu dengan yang lainnya. Pada ketinggian tertentu akan ada burung yang menukik ke bawah dengan pesona yang indah. Suara yang muncul dari ekor terdengar kian melengking saat mendekat ke bawah. Lalu dengan indah burung itu terpesona, menukik, dan mendarat pada tempat pendaratan yang memang didambakannya.
Burung merpati yang lebih dikenal dengan sebutan burung dara, biasanya dilepaskan dari kandang bergerak yang tertutup oleh kain di sekelilingnya. Biasanya ada pengantar yang membawa kandang itu bergerak dalam lintasan panjang. Pada kandang bergerak yang tertutup oleh kain itu, lazimnya tertutup oleh kain pilihan yang berwarna gelap. Pilihan atas warga hitam—sengaja tampil begitu khas untuk menyamarkan lokasi di mana burung berada saat dilepaskan. Jarak burung dilepaskan jauh dari keberadaan kekasihnya, yaitu burung dara betina yang pedih saat menunggu di dekat kandang.
Anak itu sedang mengayuh sepeda, membawa kandang burung yang tertutup sekeliling, sesuai dengan arah yang hendak ditujunya. Kayuhan sepeda terseok-seok, tak begitu cepat seperti biasa. Jalan yang dilaluinya hanyalah jalan kampung yang sempit, kumal, dan permukaan jalan memang belum rata semua. Meski capek, tak tersirat rasa lelah yang muncul pada napas. Malah rasa semringah yang mencuat di dalam hati yang berbunga-bunga. Ia gembira mendapat kepercayaan dari orang dewasa untuk membawa burung dara jantan ke tempat pelepasan yang terpisah jauh dari kekasih, pengalaman yang langka baginya.
“Apa yang elo lakukan dengan kandang bergerak itu,” kata Bagio menyapanya, ketika anak itu dengan tergesa-gesa untuk membawa kandang burung itu.
“Saya sedang membawa harta karun, Mas Bagio,” jawab anak itu bercanda sambil mengayuh sepeda dengan lesu, karena rantainya baru saja copot.
“Berhati-hati, ya. Bahaya kalau elo kena rampok oleh penjahat. Harta karun itu bisa lenyap seketika diambil penjahat dengan paksa,” kata Bagio lagi dengan agak jenaka.
“Biar saja penjahat mengambilnya. Saya masih punya harta karun yang lain kok, Mas,” kata anak itu lagi acuh tak acuh.
“Sombong sekali. Kalau elo anak orang kaya, sepedamu bukanlah sepeda butut seperti yang sedang elo pakai!”
“Suka-suka saya. Nggak diminta komentar, eh mau ikut campur urusan orang. Dikasih jawaban malah mengejek!”
Bagio melongo. Anak itu sudah jauh di depan, makanya tak begitu jelas terdengar umpatan yang terakhir di telinga Bagio. Lagi pula anak itu menyampaikan umpatan dengan suara yang bergetar pelan dan mau menyindir.
Beberapa lama kemudian anak itu berhenti di satu tempat lapang yang agak luas permukaan tanahnya. Bagio melangkah dengan cepat untuk mendahului anak itu. Saat Bagio sudah berlalu, anak itu memandang ke sekeliling dengan waspada. Kepalanya mendongak ke langit. Lalu memperhatikan ke sekeliling lagi. Keadaan di sini cukup aman, pikirnya. Harta karun yang dimaksudnya adalah burung dara yang ada di dalam kandang bergerak—yang mana kain hitam menyelubungi kandang burung itu sebelum dilepaskan.
Biasanya ketika burung dara terbang ke langit, burung akan bergerak dengan lincah untuk melepas kerinduan, seperti orang yang mencari-cari kekasih yang hilang dari pandangan mata. Lazimnya burung dara jantan sangat mencintai kekasihnya. Ia dengan gigih akan melewati rintangan angin sambil membaui kekasih dari jarak jauh di udara terbuka. Ketika mengepak-ngepakkan sayap, matanya dengan tajam melihat-lihat ke bawah, sekalipun kepakan sayap di udara makin jauh dengan terbang sampai tinggi lagi. Burung tak akan kehilangan daya dan tenaga untuk dapat segera menemukan tempat berlabuh kekasih hatinya.
Anak yang baru saja melepaskan burung dara jantan itu mengamati dengan hati-hati akan perjalanan burung dara di udara. Ia lebih jeli lagi mengamati dengan sebelah mata terpicing, sedangkan burung dara jantan mencari-cari arah yang tepat untuk sampai ke tempat tambatan hati berada. Siul sawangan yang muncul dari peluit angin burung dara balap, menimbulkan suara yang tambah nyaring, dan mendengking sepanjang kepakan sayap masih berlanjut di langit. Bukan hanya burung dara itu yang sedang melintas di tubir langit. Dua ekor burung dara lain juga sedang terbang mencari kekasih di bawah langit yang cerah.
Burung dara berkeliling pada ketinggian yang cukup jauh di atas sana. Anak itu hampir saja kehilangan jejak burung dara yang ia lepaskan dengan rasa kagum. Sepeda butut yang mengantarkannya perlahan untuk sampai ke tempat melepaskan burung dara tadi, disambarnya lagi dengan gairah akan mendapatkan keberuntungan, atau mungkin hadiah, nantinya. Ia duduk pada sadel sepeda dengan rasa lega yang semringah.
Tugas anak itu telah rampung sesuai janji, dan sesuai arahan telah berhasil ia tunaikan dengan semringah. Burung dara yang menerbangkan sawangan di bagian ekor, biasanya dengan cepat mengetahui jejak di mana kekasihnya berada. Penciuman burung dara—lazimnya tajam sekali. Barangkali seperti penciuman harimau di hutan belantara pada saat menemukan sesuatu yang ganjil, seperti bau tubuh manusia. Bagi harimau, mungkin itulah manusia yang hendak dimangsanya dengan lahap. Namun bagi burung dara jantan berbeda, bukan ingin memangsa bau yang dicarinya, tapi mau menemui kekasih hati—yang terpisah oleh perbedaan tempat yang berjauh-jauhan jaraknya. Demi keperluan balap, memang terbentang perbedaan jarak yang cukup panjang di antara mereka, terpisah oleh anak yang mengayuh sepeda butut.
Jarak enam kilo meter dari tempat burung dara balap yang berkelamin jantan dilepaskan, sebenarnya bukan jarak yang dekat, cukup melelahkan untuk bisa sampai ke sana, pikir anak itu. Pada saat burung dara mendekam dalam sangkar kurungan berkain hitam, memang sengaja menyamarkan setiap jengkal jejak perjalanan—yang pengantar tempuh. Sama halnya dengan manusia yang matanya terbungkus dengan perban kain hitam, pastilah dunia di sekelilingnya terhampar gelap gulita. Tapi penciuman burung dara jantan memang luar biasa tajam, terpisah oleh jarak terlampau jauh sekalipun bukan halangan baginya untuk menemukan burung dara betina—yang sangat setia menunggu agar didatangi si dara jantan.
Biasanya bukan hal yang mengherankan kalau muncul orang lain—yang iseng dengan mengibas-ngibaskan burung dara wanita miliknya. Orang itu dengan sengaja mengecoh burung dara jantan yang terbang. Tujuannya supaya burung dara balap jantan di atas sana, segera menukik dari ketinggian. Namun si burung dara jantan tak akan mudah terkecoh, kalaupun ia menukik karena salah menafsirkan isyarat kepakan sayap dari burung dara wanita di bawah, pada saatnya burung dara jantan akan menyadari kalau dia sedang terkecoh. Burung itu akan lekas berkelit dan bermanuver dengan taktis di udara. Akan kembali terbang lebih tinggi, berkelit mencari keberadaan kekasih sejati yang sebenarnya. Demi mencari kekasih tercinta yang tak tergantikan oleh burung dara betina lainnya, sekalipun cantiknya luar biasa.
Trik tipuan sepintar apa pun akan sukar berhasil, sekiranya ada yang berupaya mengelabui burung dara balap jantan dengan cara yang berbeda lagi. Bagi si burung dara jantan sang kekasih hanya satu di dunia ini, dan pastilah satu-satunya. Tak tersirat kamus bagi pengkhianatan sekalipun godaan datang dari burung dara wanita dengan wajah dan bulu-bulu yang mirip dengan burung dara kekasihnya. Sekalipun penyamaran dilakukan berulang oleh pemilik burung dara ratu sejagat dengan mengibas-ngibaskan sayap burung dara di tangan yang lembut, sekadar upaya mengecoh burung dara jantan yang terbang di langit, hatinya tetap tergeming.
Benar saja. Saat si bocah sampai di tempat pangkalan awal ia mengayuh sepeda, burung dara balap jantan sudah mendarat di sana. Burung dara itu sedang bercumbu di kandang bersama kekasih hatinya. Anak yang tadi membawa kandang bergerak, yaitu Oskar, segera menaruh sepedanya yang butut di pinggir jalan. Napasnya terengah-engah. Ia kalah cepat dibanding dengan burung dara jantan yang tadi dilepasnya, dan kini berada di kurungan bersama cinta sejatinya.
“Kenapa elo kurang jauh saat melepaskan burung dara balap jantan itu,” kata laki-laki itu, suaranya keras bagaikan ledakan. “Jangan suka bermalas-malasan!”
Anak itu, yaitu Oskar, kaget saat mendengar sanggahan dari laki-laki itu. Sebab ia merasa tugasnya sudah cukup tepat dengan melepas burung dara di tempat terlalu jauh. Tak mudah untuk mencapai tempat itu dengan sepeda butut. Tapi ia diam saja, enggan untuk menyahuti sanggahan yang nyaring itu.
“Seharusnya elo bisa melewati Pasar Paseban, baru seru permainan yang tadi gua jalani,” lanjut laki-laki itu. “Permainan untuk merayu burung dara jantan dari tempat yang terlalu jauh, pastilah akan lebih seru lagi. Tapi kali ini burung dara yang berada di ketinggian tadi—begitu mudah untuk menemui kekasihnya. Tanpa ada kejutan apa pun yang asyik, sungguh tak ada kejutan berarti secuil pun bagi gua.”