Bukan hanya sekali saja pengalaman berkawan dengan orang gede yang mengecewakan bagi Oskar. Pengalaman berkawan dengan orang gedean seperti perkawanan dengan Harrisbah, tak jarang malah mengecewakan lantaran orang gede suka berbuat semena-mena, dan mengecoh anak-anak. Kadang-kadang sikap orang gedean suka semena-mena dengan lagak sok tahu, seperti perlakuan antara seorang majikan yang bengis terhadap orang-orang upahan. Biasanya orang upahan tak akan melawan kalau mendapat hinaan, sekalipun mungkin merasa tertindas dengan kekejaman.
Dalam peristiwa yang lalu tadi, Oskar tak tahan lagi untuk memberanikan diri dengan cara melawan Harrisbah. Melawan dengan caranya sendiri, tanpa harus mengajak orang lain untuk berkomplot demi pembangkangan.
Dalam khayalan Oskar perlahan-lahan muncul sikap protes, kenapa ada hak adiraja yang istimewa bagi laki-laki yang gedean? Padahal keistimewaan orang gedean sering mengecoh, dan malah acap mengecewakan. Tapi semua kepedihan kembali Oskar simpan dalam relung hati yang paling rahasia, ditutupnya rapat bagai peti rahasia yang kena gembok dengan memakai kunci pengaman—berlapis-lapis gembok pengamanan atas rahasia hatinya itu.
Satu-satunya kawan yang dapat menghibur Oskar, hanya teman sebaya yang selalu memperlakukan dirinya sebagai kawan yang elok, dan merasa senang kalau mereka berjalan-jalan. Orang itu hadir sebagai kawan yang bermartabat, dan orangnya tiada lain kecuali Bara. Sayangnya sejak peristiwa penyanderaan di gudang beras tempo hari, Bara seperti menghilang dari kerumunan. Oskar belum pernah lagi berjumpa dengan Bara sejak kejadian itu. Apa yang terjadi menimpa Bara seusai insiden penyanderaan, membuat jejaknya sulit untuk terlacak, entah apa masalahnya. Oskar belum paham apa yang sebenarnya terjadi dengan Bara. Jangan-jangan ada masalah serius yang menimpa kawan baik saya itu, pikir Oskar.
Oskar segera mengayuh sepedanya dengan gerakan meliuk-liuk yang lamban. Saat ia teringat kepada kepintaran Bara, semangatnya mengalir kembali dengan deras seperti air pada aliran sungai—yang meluncur lincah pada batu-batu yang licin. Pertemanan yang tulus dapat mengalahkan ketakutan akan suatu ancaman, tidak terkecuali intimidasi oleh orang dewasa yang menekan secara kasar. Selama ini Oskar merasa, persoalan serumit apa pun dapat diselesaikan, asalkan duet antara dirinya dengan Bara jangan sampai luntur oleh perseteruan. Jangan sampai cacat karena iri hati, atau persaingan untuk merebut cinta Septiana. Kalau ada perseteruan di antara mereka, harus dapat diselesaikan dengan bijak. Akur kembali antara satu dengan anak yang lain.
Rumah mungil di pinggir jalan kampung itu, diapit oleh dua rumah besar di kedua belah sisi. Jendela rumah terbuat dari kayu berwarna coklat muda. Sebagian kayu telah keropos karena digerogoti oleh rayap. Pintu bagian depan hanya selembar papan yang dapat dilalui oleh dua orang saat berselisih jalan. Pintu rumah terbuat dari kayu jati yang kokoh namun dengan cat warna coklat yang sudah tua, kelihatan warnanya telah memudar. Atap gentengnya terbuat dari lempung tanah berwarna oranye, sebagian warnanya telah kusam. Wajah genteng yang kusam terjadi, karena genteng sejak lama ditimpa oleh cahaya matahari maupun hujan yang datang silih berganti—sesuai dengan pergantian musim.
Tak ada penghuni yang muncul di halaman rumah, kecuali barisan semut yang hadir di taman yang kecil dan ditumbuhi oleh bunga melati. Dari permukaan tanaman yang tampak, bunga melati seperti kekurangan air—mungkin jarang kena siram air oleh pemiliknya. Apalagi sekarang lagi musim panas yang melelahkan.
Oskar mengetuk pintu rumah perlahan-lahan. Supaya suara yang ditimbulkan oleh ketukan lebih keras, ia mengetuk bagian kaca jendela—yang bentuknya agak panjang. Ketukan pada jendela tambah kencang terdengar, tapi tetap saja tak terdengar sahutan dari dalam, atau suara kaki orang berjalan menuju ke pintu untuk melongok tamu yang datang berkunjung. Kalau melihat jendela rumah terbuka, pastilah ada penghuni yang berada di dalam rumah. Sayangnya, kenapa belum terdengar tanda-tanda penghuni rumah mau merespon ketukan pada pintu, maupun ketukan pada kaca jendela. Bagi Oskar situasi ini terasa ganjil, bahkan menimbulkan tanda tanya besar dalam benaknya. Ada apa yang terjadi di dalam rumah? Kenapa belum ada orang yang menyahut dan membuka pintu?
Oskar meraih sepeda butut yang ia sandarkan di dekat pohon di luar halaman rumah. Ia menggeser sandaran sepeda, dan pada saat mulai beranjak untuk meninggalkan rumah mungil itu, terdengar suara sahutan dari dalam rumah. Seseorang yang kepalanya ditumbuhi uban, muncul dengan tergesa-gesa di sana. Oskar berbalik arah. Berhenti dari mengayuh sepedanya. Mendekat ke pintu kembali dengan cara menuntun sepeda bututnya ke sana.
“Kamu pasti mencari si Bara ya?” kata orang yang bertubuh tambun itu.
“Benar, Om. Tadi pagi saya mencari Bara di sekolah, tapi kami nggak bertemu ketika jam sekolah sudah bubar. Padahal cukup lama saya menunggunya. Mungkin tadi Bara keluar ruangan sekolah, pergi lebih cepat dari biasanya, Om!” jawab Oskar dengan suara yang lembut.
“Oh, begitu. Tadi Bara berpesan, ia ada keperluan di dekat restoran khas Manado. Mungkin Bara masih di sana. Sebaiknya kamu susul saja ia ke dekat Prapatan Rawasari.”
Setelah mendengar keterangan itu Oskar mengayuh sepeda bututnya kembali. Ia ingat restoran Manado yang pernah diceritakan oleh Bara. Rasanya tak sabar untuk berjumpa dengan kawan baiknya itu. Pertemuan terakhir dengan Bara ketika terjadi insiden di gudang beras, menyisakan perasaan bersalah di hati Oskar. Sebab Oskar yang mendesak Bara supaya mendekat ke depan gudang, dan di sana mereka tidak mendapatkan barang-barang loak. Tapi mereka malahan menjalani interogasi oleh petugas keamanan gudang beras. Sungguh menakutkan kejadiannya, apalagi suasana interogasi penuh dengan intimidasi yang menuntut, menyelidik, dan tentu saja caranya menyebalkan. Di balik kekecewaan itu, Oskar tak pernah lupa dengan pemberian uang jajan yang lumayan besar oleh Marganas—Mandor Kepala yang murah hati itu. Dalam suasana tertekan, muncul Malaikat yang turun ke bumi untuk membantu saya yang kesulitan, pikir Oskar. Sikap bijaksana dari Mandor Kepala itu patut diteladani. Jiwa sosial terhadap anak-anak yang butuh bantuan, sungguh menggembirakan hati yang lagi galau.
Sampai di sana Oskar mengamati ke sekeliling restoran. Suasana di halaman restoran tidak begitu ramai. Hanya terdapat tiga mobil yang parkir, dua sepeda motor, serta sepeda butut yang tadi Oskar kayuh. Orang yang dicarinya belum ia temukan di sekitar tempat ini.
“Eh, elo siapa?” tanya seseorang bertubuh tinggi dan tegap. “Apakah elo mau makan di restoran ini?”
Mendengar pertanyaan itu, tentu saja Oskar gelagapan. Bagaimana saya harus menjelaskan apa yang ada di dalam pikiran saya, khayalnya. Bagaimana pula cara yang tepat untuk mengungkapkan maksud dan tujuan yang sebenarnya, tanpa menyinggung perasaan orang lain? Atau, bagaimana cara yang santun kalau terpaksa harus merahasiakan semua rencana itu? Menurut perasaan Oskar keadaan di dekat restoran saat itu seperti tirai rahasia—yang mana misteri terselubung menyelimutinya.
“Elo punya mulut, kan? Kenapa elo diam saja. Kenapa elo kagak menggunakan mulutmu untuk menjawab pertanyaan gua, hei?”