Ini malam yang dingin seperti dinginnya bongkahan es batu di dalam kulkas, setidaknya begitulah perasaan Herlington manakala ia berjalan gontai dari arah Cempaka Putih menuju ke restoran yang selama ini ia kawal pengamanan lingkungannya. Sepintas lalu Herlington mengamati sekeliling, sedangkan entak kakinya berjalan dengan tertatih-tatih. Saat menemukan sekelompok orang sedang berkerumun, ia mendatangi tempat itu sambil matanya melotot—ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Beberapa laki-laki memegang hidungnya dengan cara menyumpalkan sapu tangan sebagai penutup lubang hidung. Laki-laki yang lainnya berbisik dengan orang lain di sisinya. Ada lagi orang yang bergunjing tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas kejadian tragis yang menimbulkan korban nyawa ini.
“Ada penemuan mayat di dalam kali. Jasadnya sudah membusuk. Ternyata korban meninggal ini seorang wanita, jasadnya tergeletak dengan merana di sana. Tubuhnya sengaja disembunyikan di balik bungkusan kain yang tebal,” kata seseorang menjelaskan kepada Herlington.
“Siapa orang yang menemukan mayat itu pertama kali?” tanya Herlington lebih jauh. “Di mana orang itu sekarang?”
“Pedagang kue baskom pada mulanya mencium bau menyengat. Sama sekali nggak sedap bau yang muncul sepanjang malam. Lalu pedagang itu memberi tahu pelanggan, dan orang-orang di sana pun penasaran untuk mencari keterangan apa yang terjadi. Namun mereka kagak berani untuk mendekat ke tempat sumber yang bau busuk itu,” jawab laki-laki yang lain lagi.
“Bagaimana kalian bisa tahu si mayat adalah benar seorang wanita?” tanya Herlington lagi. “Apakah berbeda bau mayat wanita dengan bau mayat pria?”
“Sesungguhnya dapat dikenali dari pakaian yang dikenakannya. Rambutnya panjang tergerai. Sandal yang ditemukan di dekatnya ternyata sandal khusus buat dipakai oleh kaum wanita, masih utuh dengan warna pink. Ada juga baskom berwarna lurik-lurik hijau yang ditemukan nggak jauh dari tempat penemuan mayat wanita itu,” jawab orang itu.
“Sudah ada yang lapor ke Kantor Polisi?” kata Herlington. “Siapa pula orang yang pergi melaporkan penemuan mayat ini?”
“Tadi sudah ada petugas keamanan dari Kantor Kecamatan yang datang ke sini. Mungkin orang itu yang melaporkan penemuan mayat ke Kantor Polisi,” kata orang itu lagi.
“Jangan ada yang menyentuh mayat terlebih dahulu. Tunggu sampai ada petugas yang datang ke sini. Biasanya tim forensik akan cepat tiba untuk menyelidiki kalau memang terjadi kasus pembunuhan atas diri korban,” kata Herlington. “Jejak forensik akan terlacak kalau kalian memegang tubuh mayat.”
“Bagaimana polisi bisa menyingkap, dan menemukan pelaku pembunuhan ini? Siapa saksi mata saat kejadian, kita belum pernah mengetahuinya,” kata orang itu seperti bercanda. “Siapa pula orang yang mau memegang mayat dengan tangan telanjang?”
“Biasanya polisi punya cara yang unik untuk melacak pelaku kejahatan. Mereka punya keterampilan yang khusus—yang nggak dimiliki oleh orang biasa seperti kita. Polisi memiliki kecakapan yang tangguh untuk mengungkap siapa pelaku pembunuhan korban yang sebenarnya,” kata Herlinton. “Polisi bisa membaca orang dari roman wajahnya.”
“Bagaimana kalau ternyata si korban justru membunuh dirinya sendiri?” kata orang itu berandai-andai dengan nada yang bingung.
“Bagaimana elo bisa memastikan kalau si korban telah melakukan upaya bunuh diri?” ucap Herlington. “Memangnya elo melihat dia saat menghilangkan nyawa sendiri?”
“Bisa saja terjadi. Ada yang bilang si korban sedang berbadan dua. Pada bagian perutnya menonjol dan kelihatan agak buncit!” kata orang yang berbeda lagi. “Mungkin orang yang menghamilinya nggak mau bertanggung jawab.”
“Perutnya buncit? Mungkin ia menyumpal perutnya dengan kain gendongan,” jawab orang yang baru datang untuk bergabung.
“Bagaimana orang mati bisa menyumpal perutnya dengan kain?” tanya orang yang lain lagi. “Jangan meracau.”
“Mungkin saja ia menyumpal perutnya, sebelum melakukan upaya bunuh diri, kalau memang benar si korban telah melakukan tindakan bunuh diri!” jawab Herlington. “Tapi bedah forensik akan dapat mengurai, dan membuktikan apa yang sesungguhnya menimpa si korban.”
“Jangan bercanda. Orang mati bukan untuk jadi bahan candaan loh!” ujar seseorang.