Drakula Bertato Celurit

Mulia Nasution
Chapter #19

Kisah Anjing Kena Racun #19

Pada hari yang berseri-seri di bulan Agustus ini, matahari sudah condong ke barat dengan miring. Panas udara meraba ubun-ubun kepala Bara. Ini hari yang melelahkan baginya. Rasa lelah bukan hanya bagi anak itu saja, tapi ikut dirasakan oleh beberapa murid lain yang baru saja mengikuti Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Cara mengajar yang tadi disampaikan oleh Bu Ramijo tak seperti biasanya, berseling dengan uring-uringan. Jadinya agak membosankan, selain bikin kecewa.

Sampai pelajaran tadi usai, sebenarnya masih ada soal yang mau ditanyakan oleh Bara. Meski guru uring-uringan, masalah tentang perubahan cuaca di Tanah Air belakangan ini tetap mengundang rasa penasaran baginya. Tapi bel sekolah keburu berbunyi. Kalau saja ia memaksakan diri untuk mengajukan pertanyaan, ia akan jadi sasaran ejekan. Sok ambil perhatian! Sok pintar! Macam-macam cercaan yang jadi menu pembicaraan murid yang buru-buru mau pulang. Akhirnya lebih baik ia tutup mulut, dan pertanyaan yang tersisa itu dibawanya pergi bersama dengan langkah kaki yang gontai.    

Dari halaman sekolah Bara menyaksikan beberapa anak sekolah SMP Sahabat Sejati, pergi berhamburan keluar kelas. Mereka keluar kelas dengan gaya masing-masing yang unik. Di antara murid dari kelas lain itu, muncul murid yang bertubuh atletis—berlari-lari dengan langkah yang mantap. Tak lain supaya mudah mendahului murid yang lain di depannya. Ada pula murid yang bertubuh gendut, berteriak girang dengan suara melengking. Murid yang lain lagi dilihatnya sedang memukul tubuhnya dengan penggaris—seraya bersenandung tentang cara-cara penari debus—yang kebal dari serangan benda tajam. Tak ketinggalan tingkah murid centil yang menyanyikan lagu kesukaannya, yaitu lagu yang dipopulerkan penyanyi cilik Adi Bing Slamet. Sayangnya pembawaan suara anak yang centil itu terdengar sumbang pada bait tertentu.  

Bara telah berjanji dengan Oskar untuk bermain gundu atau kelereng di halaman sekolah. Biasanya halaman sekolah ini dipakai bersama-sama oleh murid SMP Sahabat Sejati dan murid sekolah di dekatnya. Kedua bangunan sekolah berhadap-hadapan, dan ada lapangan sekolah yang cukup luas di sana. Lapangan yang berupa tanah itu belum mendapat polesan oleh pengeras lahan seperti batu koral, atau dengan pengeras berupa adonan semen.

Sebelum Oskar muncul di sana, Bara berpapasan dengan Septiana di dekat lorong sekolah. Bara yang menyapa Septiana terlebih dahulu dengan terburu-buru.  

“Kamu sepertinya tergesa-gesa, mau buru-buru pulang ke rumah ya, Septi?” kata Bara dengan gaya menggugah. “Kenapa sebegitu bergegas?”  

Nggak kok,” jawab Septiana. “Nggak ada yang mau saya kejar. Buru-buru hanya sekadar mau kelihatan sibuk seperti anak-anak yang lain.”

“Oh ya, tadi pagi saya mau digigit oleh anjing di tengah jalan. Sekarang saya jadi teringat dengan pengalamanmu yang dahulu, bagaimana dengan anjing tetanggamu itu, Septi,” ucap Bara. “Anjing itu masih juga mau mengejarmu seperti dia mengejar orang asing?”  

“Anjing tetangga saya yang mana, ya?” ujar Septiana.

“Dahulu kan kamu pernah cerita tentang anjing galak yang suka menyalak. Apakah anjing itu masih menggonggong dan bersikap galak kepadamu? Maksud saya, anjing itu masih terus menggonggong Septi pada saat dia berpapasan denganmu?” ucap Bara.

“Saya jadi menyesal. Anjing peliharaan itu telah mati, Bara. Mungkin ada orang jahat yang meracunnya,” ucap Septiana dengan begitu yakin.

“Bagaimana bisa terjadi ada orang yang meracun anjing itu?” ujar Bara seperti gonggongan.

“Pemilik anjing itu kurang hati-hati saat memelihara anjing peliharaannya.  Anjing yang bebas berkeliaran di perkampungan, memang menimbulkan kegaduhan bagi orang yang kalem. Tidak semua orang suka dengan hewan berkeliaran seperti anjing peliharaan itu kan. Apalagi saat mendengar gonggongan anjing menyalak dengan suara yang menderas. Biasanya ada saja warga komplek yang menyampaikan keberatan, lalu protes ke Ketua RT,” ucap Septiana.

“Sayang sekali ya. Kok masih ada orang jahat yang suka meracun hewan peliharaan,” kata Bara, seolah-olah mau menenangkan hati kawannya itu. “Seharusnya kalau ada orang yang merasa terganggu, silakan menyampaikan keberatan secara langsung kepada pemilik hewan, atau ke Ketua RT setempat seperti saranmu itu.”

“Pak Darmanto, pemilik hewan itu, telah melaporkan masalah peracunan anjingnya ke Kantor Polisi. Saat melapor dia mengaku sangat terpukul, karena mendapati hewannya tergeletak di dekat got, dalam keadaan terkulai lemas pula,” kata Septiana dengan lugas. “Nyawa anjingnya tak tertolong lagi pada saat hewan itu dibawa ke dokter hewan tetangga kami. Dari ciri-ciri anjing yang mati itu, dokter hewan Munarman menyatakan, si anjing terkena racun semacam racun tikus. Ternyata racun tikus disamarkan oleh orang jahat itu dengan makanan anjing, Bara. Bubuk racun dimasukkannya ke dalam makanan anjing di pinggir jalan yang terlindung.”

“Seharusnya tempat bagi orang jahat, tidak tersedia lagi di dunia ini, Septi,” kata Bara seperti orang yang marah. “Mereka harus berubah dengan menjadi orang yang baik. Punya sikap yang jujur. Lalu bertindak terhadap siapa pun dengan cara sportif.”

“Dalam hal sikap seperti ucapanmu itu, saya juga sepakat denganmu, Bara!”

“Melakukan tindakan sportif  akan lebih pantas  baginya, sekalipun tindakan jahat sulit untuk dienyahkan dari naluri orang yang suka berbuat keonaran terhadap pihak lain.”

“Benar. Begitu juga perlakuan terhadap anjing yang liar, maunya harus sportif. Misalnya dengan cara menangkap anjing terlebih dulu,” ujar Septiana dengan lirih. “Setelah menangkap anjing itu, sebaiknya anjing dimandulkan supaya dia tidak berkembang biak.”

“Bagaimana bisa anjing dimandulkan?”

Lihat selengkapnya