Pengunjung restoran khas Manado hari itu tidak ramai, hanya tersisa tiga orang tamu yang menyantap dengan lahap di dalam restoran. Memang momen jam makan siang sudah berlalu beberapa jam yang lewat. Matahari bersinar teduh dengan senyum lembut yang kaku. Keteduhan sinarnya membuat kenyamanan sedikit lega, berbeda dengan cuaca panas pada beberapa jam sebelum itu.
Dalam perjalanan, yaitu sebelum Bara sampai di dekat restoran, tiba waktu untuk Salat Ashar, terdengar suara azan dari Musala Al Ikhlas di perkampungan. Pekik suara muazin terdengar kencang gaungnya. Di sana jumlah pengunjung yang menunaikan Salat Ashar, lazimnya tidak seramai bila Salat Magrib. Sekali ini Bara salah satu jemaah yang ikut menunaikan salat berjamaah. Suara Imam tak terdengar oleh jemaah, karena bacaan Salat Ashar tidak dilafalkan seperti saat Salat Magrib, Isya, atau Salat Subuh.
Tujuan Bara selanjutnya, yaitu terlebih dahulu pergi menyelinap untuk bermain-main ke Prapatan Rawasari. Saat anak itu berjalan perlahan-lahan di pinggir kali, ia berpapasan dengan laki-laki yang bertubuh tegap, tinggi, dan suka tersenyum kebapakan padanya.
“Kenapa tergesa-gesa…, kamu mau pergi ke mana sih, Bara,” sapa laki-laki tegap itu dengan sikap yang ramah.
“Saya lagi iseng, mau nongkrong di Prapatan Rawasari, Om Herling!”
“Kamu mau nongkrong segala? Kok lagakmu seperti tingkah orang gedean saja!” kata Herlington mengingatkan dengan suara membujuk. “Hati-hati kamu, nanti di sana tubuhmu kena sambar oleh mobil, Bara.”
“Dalam kesempatan apa pun, saya akan selalu berhati-hati kok, Om!”
“Prapatan Rawasari selalu ramai oleh mobil dan sepeda motor yang melintas dengan kencang,” kata Herlington lagi. “Jangan sembarangan pada saat menyeberang, lihat dengan yakin di sisi kiri maupun sisi kanan jalan.”
“Baik sekali saranmu, Om!”
“Sering terjadi orang tertabrak, karena muncul sepeda motor secara tiba-tiba—datang dari arah yang berlawanan tanpa diduga. Pengendara yang ceroboh suka mengabaikan keselamatan orang lain saat berjalan dengan kendaraan di jalan raya.”
“Apa maksudmu, Om Herling?”
“Ada pengendara yang suka sembrono. Kalau terjadi tabrakan biasanya yang memicu adalah orang yang cenderung egois, mau menang sendiri ketika menguasai jalan raya. Seolah-olah pengendara lain hanya tamu yang nggak diundang di jalan raya. Lazimnya orang yang mau cepat sampai di tempat tujuan, cenderung bersikap egois dengan kemauan sendiri. Padahal tindakan mereka mungkin saja menyalahi peraturan tertib berlalu-lintas, bahkan mengabaikan sikap sebagai pengendara yang santun.”
“Baik sekali saranmu, Om Herling. Akan Bara perhatikan nasihatmu yang sangat berharga bagi saya, Om.”
“Tapi, kenapa pula Bara nongkrong di pinggir jalan ya?”
“Sekadar iseng, perintang waktu luang kok!”
“Kalau kamu nongkrong di Prapatan Rawasari, tindakanmu seperti preman pasar—yang berlagak jagoan terhadap pedagang daging cincang. Sebaiknya kamu nggak usah nongkrong dengan berlagak preman di Prapatan sana deh.”
Bara merasa hatinya tertusuk, tatkala mendapat peringatan yang lembut. Membuatnya terpana. Ia memandang wajah Herlington sambil menahan perasaan haru. Peringatan yang bernas itu membujuknya seperti kehangatan sebuah ikatan batin—setulus angin berembus tanpa meminta imbalan terhadap orang yang menerima manfaat dari embusan angin. Sikap ramah serupa, semakin jarang didengarnya dari Barumunsati—yang tadi ditinggalkannya di rumah, malah bersikap marah padanya. Mendengar petuah yang sejuk dari Herlington, hati Bara tersentuh sampai kedalaman relung kalbu. Hati anak itu tertoreh jadi rapuh, agaknya rapuh bagai bongkahan kerupuk bulat pada saat jemari meremasnya.
“Nanti kalau Bara berjumpa dengan preman pasar yang sebenarnya, tindakan mereka dapat membahayakan keselamatan dirimu sendiri,” kata Herlington dengan nada yang bijaksana. “Preman yang brutal dapat berbuat kasar terhadap orang yang lemah. Kalau mereka lagi panik dan kecewa, apalagi kalau mereka tidak memperoleh uang yang diharapkan, kemudian bersikap uring-uringan karena kesal, tindakan brutal mereka dapat terlontar seketika. Brutal tanpa ada orang yang menghalangi loh. Saat kemarahan preman mencapai puncaknya, biasanya mereka nggak dapat membedakan apakah orang yang disakitinya itu dari kalangan dewasa, remaja, atau anak-anak yang tiada berdosa.”
Muncul perenungan di hati Bara dan kepalanya jadi sejuk. Ia berubah pikiran dan mengikuti langkah Herlington yang berjalan dengan langkah kaki yang pelan. Mereka berjalan beriringan seperti seorang Ayah melangkahkan kaki bersama anak kesayangan. Herlington bersikap penuh perhatian terhadap Bara, sekilas ia menoleh, dan mengamati cara Bara berjalan. Sambil berjalan dengan lamban, Herlington mengelus-elus rambut Bara dengan gerakan lembut. Seolah-olah helai demi helai rambut anak itu ikut tersibak. Menepuk-nepuk pipi anak itu dengan lunak dan sayang, rasanya seperti kumpulan debu yang menempel halus pada daun-daun pohon.
Bara merasakan adanya kasih sayang yang tulus dari Herlington. Rasanya seperti perlakuan indah yang megah—yang memang layak diberikan oleh seorang Ayah kepada anaknya. Sayangnya perhatian Barumunsati belakangan ini, tidak sebesar perhatian yang kini ditunjukkan oleh Herlington kepada anak itu.
Bara merasa heran, kenapa ia melakukan perbandingan antara Barumunsati dengan Herlington. Dari sisi usia, Barumunsati lebih tua dari Herlington. Sikap maupun tindakan Barumunsati terhadap Bara selama ini, memang terkesan agak kaku meski tak selalu begitu. Kalau berbicara maka nasihat Barumunsati lebih tertuju kepada masalah keilmuan dan pengetahuan sejarah, dan kalimatnya sering menggurui. Sedangkan Herlington lebih kebapakan dengan sikap mengasihi, kata-katanya membuka cakrawala berpikir yang baru, dan kenyataan yang terjadi kini sungguh berbeda dari pengalaman pertama kali saat Bara berjumpa dengan orang itu.
Bukan hanya masalah sikap Barumunsati yang agak kaku yang pernah Bara rasakan. Tidak hadirnya sosok seorang Ibu di dalam keluarga membuat Bara sering bermimpi akan hadir sosok seorang wanita pengayom di tengah-tengah keluarga inti. Sosok wanita yang mengurai pengasuhan dengan tulus kepada anaknya, menuangkan senyum seperti ia menuangkan mata air ke dalam gelas kaca. Sosok wanita yang membelai dengan lembut, seperti lembutnya sutra tangan dewa. Sosok wanita yang mengecup kening Bara dalam kebersahajaan namun meninggalkan kenangan indah selamanya. Sosok wanita yang memberikan cintanya dengan tulus, melebihi cintanya kepada diri sendiri.
Sesaat Bara merasa dirinya menemukan sosok seorang Ayah sejati dan sekaligus sosok seorang wanita sebagai Ibu di dalam diri Herlington. Ia pun merasa bangga memiliki orang seperti Herlington sebagai sosok yang pintar, cerdas, serta punya pengetahuan luas yang mengasihi. Sosok yang telah lama ia dambakan, kini hadir membelai dengan penuh cinta. Mengajak Bara berbicara secara terbuka, seolah-olah kata-kata terlontar dari hati ke hati yang terdalam. Sosok yang tidak menggurui dalam cara ia berbicara, tapi terbuka dengan apa adanya. Omongannya terasa menyentuh kedalaman jiwa, bukan menggurui yang janggal, dan bukan sok tahu. Sosok yang sungguh natural, alamiah, mekar bersama keterbukaan, seperti sinar matahari—yang selalu setia menyinari bunga-bunga melati di pagi hari. Sosok yang hadir seperti hujan pada senja hari saat menyirami kebun anggrek lily.
Di warung yang tertutup itu hanya ada Herlington dan Bara di sana. Cemilan Coklat yang enak dan rapuh, sudah dua batang Bara habiskan. Wafer rasa coffea liberica dilahapnya—serasa sedang menikmati makanan yang rapuh. Minuman susu bercampur bubuk Coklat yang hangat, tersisa setengah gelas saja lagi.
Sentuhan, bahkan ciuman lembut di pipi dengan berulang-ulang, mendarat dengan ringan di pipi kanan Bara. Jejak ciuman Herlington bagai pendaratan pesawat terbang dengan akurasi yang tepat. Mendarat dengan lembut dan presisi. Mendarat di landasan pacu. Kumis tipis yang menghias wajah laki-laki tegap bila tersenyum dengan aroma kebapakan, terasa bagai tusukan jarum yang tajam dan menimbulkan sensasi geli.
Pada awalnya Bara merasa sesuatu yang wajar kalau mendapat perhatian yang begitu besar dari Herlington. Tapi kemudian ia merasa agak terganggu. Ada sesuatu yang aneh dari perlakuan laki-laki tegap itu kepadanya. Tapi perasaan itu bergeser, diabaikannya begitu saja. Ada peristiwa yang rahasia dan ingin dikuaknya lebih jauh dari sosok laki-laki itu.