Di antara kerumunan massa di halaman restoran, salah satunya adalah orang yang berkepala botak—yang berinisiatif membuat pengumuman, supaya keluarga korban berani mengadukan masalah yang terjadi pada anaknya. Tempat pengaduan yang telah ditentukan, yaitu di Pos Hansip Kampung Baru. Tempat pengaduan itu—selama ini menjadi tempat warga untuk berkumpul dan bermufakat. Kini tempat itu berfungsi juga sebagai posko—yang menerima semua informasi, maupun kabar perkembangan kasus pedofilia oleh Herlington terhadap bocah-bocah yang polos dan tak berdosa.
Selanjutnya perban putih yang membalut pelipis di kepala, serta bagian lain yang terluka, membuat Herlington tambah terpuruk. Keperihan yang ditimbulkan oleh pukulan terhadap kepala Herlington, dan pukulan juga mengenai bagian perutnya, kini terasa sakit sekali. Tapi goncangan kejiwaan yang menimpa dirinya, jauh lebih dahsyat lagi. Saat muncul orang yang baru di dekat lingkungan tempat ia berada, ia merasa trauma dengan orang baru itu seolah-olah hendak melampiaskan kemarahan dengan cara memukul. Matanya kini menjadi lebih waspada untuk mengamati sekeliling. Penciuman hidungnya seolah-olah memiliki sistem peringatan dini, lebih mudah untuk mengenali dan mengendalikan situasi—seandainya terjadi serangan secara tiba-tiba, apalagi serangan yang dapat membahayakan tubuh dan nyawanya.
Setelah pengobatan terhadap luka-luka yang diderita Herlington di rumah sakit, ia dipapah ke dalam mobil yang tertutup bagian belakangnya. Herlington mendapat pengawalan dua pria bersenjata, dan senjata mereka itu terselip di bagian pinggang. Meski tangan Herlington terbelenggu oleh borgol, sorot mata petugas yang mengawalnya malah tak berkedip saat mengawasi sekeliling. Pada malam itu juga Herlington menjalani pemeriksaan intensif di Kantor Polisi Pulomas. Beberapa pertanyaan telah berlangsung oleh petugas yang bertubuh sedang.
Tapi ini berbeda, petugas lain yang menanyai Herlington. “Ketika Anda membayangkan suatu kejahatan menimpa dirimu, kejahatan apa yang paling membekas dan pernah terjadi pada dirimu selama ini?” tanya polisi yang baru datang ke ruangan pemeriksaan, ikut bergabung untuk bertanya.
Polisi pemeriksa yang baru mendekat ke Herlington, dan melontarkan pertanyaaan baru itu, berwajah cantik dengan mimik wajah yang serius. Tubuhnya jangkung, perawakan langsing. Kecantikannya yang menawan akan menggugah laki-laki untuk tertarik agar menggodanya. Tapi ketika ia menjalani tugas kepolisian, jangan sekali-kali menggodanya, sebab ia tak segan-segan mengempaskan tangan ke meja, supaya orang yang ia periksa mengalami kegemparan mental. Kehadirannya untuk mendampingi juru periksa bertubuh sedang yang berpangkat Bripda, karena kasus ini tergolong sensitif dan berbahaya. Di dekatnya Juru Periksa duduk berhadap-hadapan dengan Herlington.
Pertanyaan polisi wanita berpangkat Inspektur Polisi Satu itu, membuat Herlington mengingat-ingat banyak peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Ia belum dapat memilah peristiwa apa yang membuat dirinya sangat terpukul. Sampai peristiwa itu menggores dan sangat membekas, bahkan menyobek-nyobek kehidupannya pada masa lampau yang kelam. Banyak peristiwa buruk yang dialaminya pada masa lalu, tapi peristiwa yang paling membekas—harus benar-benar mengingatnya terlebih dahulu. Bayangan samar-samar muncul di hadapannya.
“Baiklah, kalau begitu untuk sementara pertanyaan dialihkan. Anda selalu mengatakan kepada anak-anak yang menjadi korban kekerasan cabul, bahwa Anda punya anak sebaya mereka di Minahasa. Lantas, apa yang membuatmu berpisah jauh dengan anakmu di sana?”
Pertanyaan terakhir ini tak kalah sulit bagi Herlington untuk menjawab dengan jujur. Ia menyadari, sekarang ini harus berhati-hati bila membalas. Alis matanya terangkat, dan wajahnya perlahan-lahan bersemu merah, lantas memberanikan diri untuk mencuri pandang ke arah wanita—yang ikut memeriksa kasusnya. Warna pertanyaan polisi cantik itu sukar untuk dijawab oleh Herlington bila hanya memakai kacamata formalitas. Kepala Herlington yang menahankan rasa sakit akibat pukulan, menggeleng secara perlahan. Pertanyaan itu sungguh sulit baginya, dan membuyarkan lamunannya.
“Kenapa kepalamu bergeleng-geleng begitu ya?” gertak polisi wanita itu. “Geleng kepalamu seperti menunjukkan perilaku orang yang sedang linglung?”
“Maaf, Bu. Sebenarnya saya tidak punya anak. Justru anak-anak yang datang ke tempat saya itu, selalu saya bayangkan menjadi anak saya,” jawab Herlington untuk menjelaskan pertanyaan yang terdahulu. “Dari sejak lama saya selalu membayangkan punya anak laki-laki yang gagah. Tapi saya gagal untuk menyemai benih.”
“Berarti bujukanmu selama ini hanya untuk memperdayakan anak-anak itu? Anda selalu mengatakan kepada anak-anak kecil itu, bahwa dirimu merindukan anak kandungmu di tempat yang jauh di kampung halaman. Modusmu selalu saja mengatakan, bahwa wajah si bocah serupa dengan wajah anakmu di Minahasa. Bagaimana Anda punya gagasan untuk mengatakan hal yang serupa secara berulang-ulang kepada setiap bocah? Ya…, ya…, Anda hampir selalu menyampaikan hal yang serupa kepada mereka—yang sedang kaurayu dengan menunjukkan kasih sayangmu. Caramu menunjukkan perhatian kepada anak-anak itu, selalu berlebih-lebihan, kan?”
Herlington terdiam. Ia bingung harus menjawab apa. Kepalanya masih tertunduk dengan kaku.
“Saya memang suka kepada anak-anak,” jawab Herlington. “Perasaan suka saya muncul sebagai hasrat dari dalam jiwa saya yang gelisah. Ada dorongan dahsyat yang sulit untuk saya kendalikan bila melihat anak-anak yang lugu, apalagi bila kami hanya berdua. Walaupun pada awal perkenalan saya pernah bertindak murah-marah kepada anak-anak, namun sebenarnya itu hanya cara pengelabuan saja. Jiwa saya selalu dihantui oleh bayangan kesendirian, dan merasakan kesunyian dari waktu ke waktu. Ada ruang yang kopong di dalam jiwa saya ini.”
“Sebenarnya Anda telah paham dengan apa yang melanda dirimu selama ini. Anda memang menyukai anak-anak sebagai anak peliharaan, bukan menyukai kepolosan jiwa mereka. Anda menyukai kegembiraan bersama anak-anak, dan mereka dengan lugu merasa kagum ketika berjumpa dengan orang dewasa yang pintar. Tapi ternyata Anda menyelewengkan kepolosan mereka sesuai dengan hasrat birahimu. Caramu memahami anak-anak ini bukan memahami kehidupan mereka yang tulus dan lugu. Anda malah memanfaatkan mereka, dan memperdaya mereka dengan menodai anak-anak yang tiada berdosa. Kenapa terjadi sifat buruk seperti itu di dalam dirimu selama ini? Keburukan macam apa yang Anda lakukan? Menurut keterangan yang diperoleh aparat kami, tindakanmu seperti pisau bermata tajam saat menghunus tubuh mereka dari arah belakang!”
Herlington tertunduk lagi. Mulutnya terkekang. Jiwanya membeku. Kesunyian melintas di dekatnya, dirasakannya sebagai siksaan yang pedih. Kekacauan melanda pikirannya yang galau.
"Coba Anda jawab secara jujur, Herlington!” tukas polisi wanita itu lagi.
Herlington menoleh ke arah wajah polisi wanita, dan wajah itu membawa kenangannya ke masa lampau. Perlahan-lahan bayang-bayang yang samar-samar terkuak sedikit dalam khayalannya. Wajah polisi mengingatkan Herlington akan wajah seseorang yang pernah dekat di dalam kehidupannya pada masa lampau. Seseorang yang pernah merobek-robek kesunyian di dalam dirinya, membuat kesunyian menjadi tiada berarti lagi, tapi keadaan tak berlangsung lama. Fantasi tentang anak-anak prapuber telah menyilaukan pandangan matanya, menyelewengkan hasrat birahinya.
“Panjang sekali ceritanya, Bu.”
“Kami di sini akan mendengarkan ceritamu yang panjang itu.”
"Suatu masa ketika saya masih anak kecil, seumur anak-anak yang dekat dengan saya itu, saya sering mendapat perlakuan kasar dari Papi. Saya anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Tak mudah bagi Papi untuk menghidupi anak-anaknya dengan layak. Papi pekerja keras, tapi apa yang dihasilkannya belum tentu memadai untuk memberi kami makanan secara pantas. Bila Papi sedang uring-uringan menghadapi beban hidup, tak jarang Papi tiba-tiba meledakkan amarah kepada saya. Penyebab kemarahannya, karena ia kecewa kepada dirinya sendiri yang tak dapat memenuhi kewajiban nafkah keluarga—gagal sebagai seorang ayah. Bila kemarahan Papi mencapai puncaknya, orang yang berada di dekatnya dapat menjadi pelampiasan kekesalan. Beberapa kali saya terkena cubitan, bahkan pernah mendapat pukulan pada bagian bahu dan kepala. Rasanya menyakitkan sekali saat terkena pukulan Papi yang keras di kepala, mungkin kerasnya seperti kepalan tinju orang dewasa yang dongkol.”
“Papimu bekerja sebagai apa untuk menghidupi anak-anaknya?”
“Papi saya seorang pedagang kain keliling. Papi berjualan dari pasar ke pasar. Tapi kan orang-orang tidak setiap hari membeli kain. Kalau perut memang harus selalu mengisinya setiap hari, apalagi saat kelaparan mencekik perut kita. Kalaupun Mami ikut membantu dengan cara membuat penganan ringan, hasil jualannya tidak seberapa pula. Waktu Mami kan lebih banyak tersita oleh perhatian mengurus anak-anaknya yang banyak itu.”
“Apa hubungan masalahmu dengan kesibukan Papi dan Mamimu untuk mencari nafkah?”
“Saya termasuk anak yang jiwanya menjadi kusut karena merasa pedih, dan terabaikan. Kehidupan masa lalu saya kurang terurus. Saya menghadapi kesulitan untuk bergaul, kala kesulitan itu terjadi. Akhirnya saya mencari-cari ke sekeliling, dan menemukan lingkungan yang nyaman di luar rumah.”
"Maksudmu apa? Dahulu Anda mencari lingkungan hidup yang seperti apa? Lantas apa yang Anda butuhkan pada saat itu?”
Herlington terdiam lagi. Menoleh sekilas ke arah orang yang bertanya.
“Saya bergaul dengan orang-orang dewasa,” jawab Herlington. “Mereka memperlakukan saya secara baik. Ada satu orang yang sangat baik memperhatikan saya. Ia sering membawa saya ke rumahnya. Ia guru sekolah saya ketika kelas enam SD. Kebaikannya membuat saya sukar untuk menolaknya. Apalagi untuk membencinya. Padahal mulanya saya benci dengan perbuatan nakal guru itu terhadap saya.”
“Maksud Anda, coba Anda terangkan dengan lebih jelas!”
“Guru itu suka memberi saya uang jajan. Membelikan permen atau benda permainan ala kampung. Ia membelai rambut saya dengan lembut. Menepuk-nepuk pipi saya dengan lincah dan santai. Memanjakan saya dengan segenap kasih-sayang yang ditujukkannya.”
“Kapan semua itu terjadi?”
“Ketika di rumahnya tidak ada orang.”
“Apa yang terjadi selanjutnya dengan Anda?”
“Ia membuka bajunya? Lalu….”
“Maksud Anda?”
“Ia juga membuka baju saya. Membuka celana saya. Menciumi saya. Sungguh, saya tak kuasa untuk menolaknya. Kejadian yang sangat menyiksa di bagian bokong saya, membuat saya traumatis. Satu kali…, dua kali…, dan seterusnya terjadi.”
Polisi wanita itu melihat sorot mata Herlington yang jujur dalam soal pengakuan itu. Tapi, ia terus bertanya, mendalami, dan adakah tersirat kejujuran yang sebenarnya di sana. Harus mengujinya. Bukan cuma teknik untuk mengalihkan perhatian orang yang ia periksa. Untuk sementara waktu polisi itu dapat memahami, mungkin pengakuan sejujurnya disampaikan secara apa adanya oleh Herlington, tapi faktanya bisa saja bergeser dari kejadian yang sebenarnya. Saat mulut yang terkuak di hadapannya membeberkan kisah masa lalu lagi, polisi itu berharap muncul keterbukaan, kejujuran, dan kemurnian di dalamnya. Berharap Herlington memang berbicara dari hati terdalam. Lantas, tatapan matanya membuat Herlington merasa nyaman seperti mendapat pelukan dari orang yang mengasihinya dengan sepenuh hati.