“Syarat pertama,” Anas menatap Zanna dengan serius. “Dilarang keluar rumah selama aku pergi.”
Zanna menaikan alisnya, ia mengangkat tangan untuk bertanya. Seperti seorang murid yang mau mengajukan pertanyaan pada sang guru. Anas mengizinkan. “Berarti boleh keluar kalau ada kakak?”
Anas mengangguk. “Selama aku setuju.”
“Oh.”
“Syarat kedua,” Anas melanjutkan, “Nggak ada pisah kamar.”
“Keberatan.” Zanna bersuara, “Bukankah masih terlalu cepat untuk kita sekamar kak? Aku nggak pernah berhubungan dengan pria sebelumnya, kakak mau aku trauma?”
Zanna baru saja lulus SMA beberapa bulan yang lalu. Dapat dimaklumi jika gadis itu belum terbiasa. Mempertimbangkan hal ini, kerut dikening Anas bertambah. Pada akhirnya, Anas tetap menyetujui. Zanna bersorak dalam hatinya.
“Hm, untuk syarat ketiga,” Anas berpikir ulang sebelum melanjutkan. Ia terlalu lelah. Penerbangan dari Kalimantan Timur ke Jakarta menguras tenaganya. “Akan aku pikirkan nanti.”
“Kak,” Zanna mengangkat tangannya lagi. Anas menghela napas melihat Zanna yang selalu mengangkat tangan setiap ingin bertanya. Apa ia dianggap guru oleh gadis itu? “Selama di rumah, apa aku diberikan fasilitas laptop, hp, dan juga wifi?”
Anas geleng-geleng kepala, apa hal itu masih harus dipertanyakan? “Selama kamu menurut untuk nggak keluar rumah tanpa izinku, kamu boleh melakukan apa pun di dalam rumah.”
“Termasuk ketiga hal itu?”
“Ya, termasuk itu.”
Zanna bersorak senang. “Baiklah, aku setuju dengan syarat kakak,” setuju Zanna tanpa keberatan sedikit pun. “Ah, bukannya aku masih harus menemui ibu kakak?”
“Ibu lagi di luar negeri,” Zanna mengangguk. “Istirahatlah, hanya itu yang mau aku bicarakan.”
Zanna berdiri lalu keluar dari ruang kerja Anas. Gadis itu tampak begitu riang meskipun Anas melarangnya keluar rumah. Anas sendiri merasa heran, bukankah para gadis tidak suka jika ruang geraknya dibatasi? Mengapa gadis yang satu ini malah terlihat sangat gembira. Anas tersenyum ditempat. Gadis pilihannya memang tidak mengecewakan.
Asisten Anas, Darma, menatap presdirnya dengan ekspresi keheranan. Ia menyimak semua pembicaraan antara Anas dan Zanna. Tidak ada yang berbeda dari cara Anas berbicara, ia masih seperti berbicara dengan rekan bisnis. Ada syarat dan kesepakatan.
“Presdir apa tidak masalah mengurung Nyonya didalam rumah?” Ia memperhatikan ekspresi Anas dengan serius. Jaga-jaga jika Anas berubah marah. Ekspresi Anas tidak berubah, ia masih tersenyum. Darma melanjutkan, “Meskipun Nyonya terlihat senang saat ini, suatu hari nanti Nyonya pasti akan mengajukan protes.”
Anas memegang foto pernikahannya dengan Zanna, “Jangan meragukan gadis pilihanku.”
Setelah itu, Darma tidak berani menyinggung masalah Zanna dan memutuskan untuk berbicara masalah pekerjaan saja.
Malam yang melelahkan ini akan menjadi awal kisah cinta antara Anas dan Zanna. Pasangan yang tidak saling mengenal namun memilih untuk menikah.
Zanna berbaring di ranjangnya. Ia membuka hp dan segera masuk ke ruang obrolan keluarga. Ia mengetikan beberapa kata, ”Zanna sudah sampai di Jakarta dari tadi sore. Jangan khawatir :)”
Segera setelah pesan terkirim. Kakak pertama Zanna, Sera, langsung melakukan panggilan video di grup. Zanna mengangkatnya dan seluruh keluarga Zanna, mulai dari Bapak, Mama, kakak pertama dan kedua serta adiknya pun hadir di panggilan itu. Zanna tersenyum, ia melambaikan tangannya.
“Zan, mana suamimu?” Mama yang pertama memberikan pertanyaan. Wajah Mama membesar karena ia begitu dekat dengan kamera.