Zanna terbangun karena alarmnya berbunyi, ia membuka matanya yang bengkak. Rasanya sangat tidak nyaman. Mata Zanna terbuka lebar. Saat ini tubuhnya dipeluk oleh Anas. Wajah mereka sangat berdekatan hingga Zanna dapat merasakan deru napas Anas. Uh, mereka pasti ketiduran sehabis menonton. Mereka? pasti Zanna. Dirinya pasti yang ketiduran duluan. Zanna melepas pelukan Anas lalu pergi ke kamarnya sendiri untuk salat malam seperti biasa.
Anas ikut membuka matanya. Sedikit saja pergerakan, ia akan terbangun. Anas bukan tipe yang sulit bangun malah sepertinya, Anas lebih tidak bisa tidur sama sekali. Ia menyetel kamera CCTV di ponselnya dan melihat kalau Zanna tengah salat malam. Anas mematikan layar hpnya dan berjalan ke kamar mandi untuk mengambil wudu. Mulai hari ini, ia akan salat malam seperti Zanna.
Seperti kegiatan rutinnya selepas perpisahan SMA, Zanna menonton anime baru yang diunduhnya kemarin. Anas bersandar santai sambil melihat kegiatan Zanna di kamarnya. Ia tersenyum saat gadis itu tertawa terbahak-bahak. Setidaknya, Anas tidak perlu khawatir lagi kalau-kalau gadis itu akan kembali sedih.
Mendengar azan subuh, Zanna reflek untuk membangunkan Anas yang pura-pura tidur. Ia berlari kecil untuk menuju kamar Anas, memegang bahu Anas pelan untuk membangunkannya. “Kak Anas, bangun. Sudah subuh kak, ayo salat.” Anas membuka matanya seperti baru saja terbangun. Disentuh dibahu meskipun tanpa maksud pun sudah membuat pagi Anas menjadi cerah dibuatnya. Dasar.
Selesai salat, Zanna langsung menghampiri Anas dengan cepat. “Kak, kak, kak,” panggilnya bertubi-tubi.
“Hm?” Anas membereskan sajadahnya sementara Zanna mengekor di belakang. Ia membuka kancing kemejanya perlahan. Matanya menatap Zanna yang terlihat sangat ragu untuk berbicara. “Apa yang mau kamu bicarakan?”
“Hari ini, pulang kerja…” Zanna menggantung kata-katanya. Ia berdeham sebelum mengambil alih kancing kemeja Anas dan membukanya. Tangan Anas menggantung diudara, karena perbedaan tinggi badan, Anas bisa merasakan napas Zanna yang berhembus ke kulitnya yang terbuka. Zanna menghela napas terlebih dahulu, sebelum akhirnya kembali bersuara. “Belikan aku novel ya?” Zanna menatap Anas, ia harus mendongak untuk itu.
Anas mengangkat alisnya, “Hanya itu?”
“Ya? Nggak boleh, ya, kak?” Zanna cemberut, ia mundur beberapa langkah. Memberi sedikit jarak antar keduanya. “Iya sih, Bapak saja marah terus kalau aku beli novel.”
“Apa judulnya?” Seru Anas geli. Ia ingin tertawa sekarang ini namun diurungkannya. “Nanti kalau bisa aku mampir.”
“Harry Potter, buku pertama saja kak.” Zanna berseru semangat. Ia mendorong tubuh Anas ke kamar mandi. “Makasih kak.” Setelah itu Zanna kabur tanpa merasa bersalah sudah membuat suaminya itu merinding dipagi hari karena sentuhannya.
Anas menghela napas berat.
Zanna duduk di sofa dengan bingung. Mau menonton anime tapi mood nontonnya menghilang. Ia ingin membaca buku tapi harus menunggu Anas pulang. Zanna mencari-cari sesuatu yang menarik dilemari dekat TV. Bi Sari mendekati Zanna yang masih sibuk mencari.
“Nyonya cari apa? Nanti Bibi carikan.”
Zanna menggeleng. Ia menatap Bi Sari dengan maksud tersembunyi. “Bibi masih sibuk?”
Bi Sari menggeleng. “Sudah selesai, Nyonya.”
“Kalau gitu...” Zanna menarik tangan Bi Sari dan menyondorkan pada Bi Sari sebuah mikrofon. “Ayo kita karaokean, Bi.”
“Hah?!” Bi Sari tampak panik. “Nggak usah, Nyonya. Nanti Tuan marah.”
“Nggak mungkin, Bi.” Zanna mengabaikan Bi Sari dan mencolok kabel-kabel disembarang tempat selama pas. Ia juga mencari tahu melalui google untuk lebih lengkapnya. “Percaya sama aku.”
Zanna mulai mencari lagu-lagu yang mau dinyanyikan. Bi Sari masih khawatir tapi melihat Zanna yang tidak terlalu peduli kalau-kalau Anas marah, Bi Sari sedikit lebih tenang.
“Tu... tunggu sebentar, Nyonya.” Bi Sari berlari ke kamarnya dan kembali dengan membawa dua tamborin.
Zanna tertawa melihat tamborin yang dipegang Bi Sari, ia mengacungkan jempol. “Good Job, Bi. Ayo kita mulai.”
Lagu pertama adalah lagu Rhoma Irama - Begadang. Dinyanyikan ulang oleh Zanna Kirania.
“Tes. Tes.” Zanna memperbaiki tenggorokannya terlebih dahulu. “Bibi jangan takut sama saya, Bi. Suara saya memang cempreng dari lahir.”