“Tuan, Nyonya belum makan malam,” Bi Sari berucap saat melihat Anas di dapur. “Bibi khawatir, Nyonya nanti sakit.”
Anas yang awalnya ingin mengambil air dingin di kulkas berhenti. “Ah, iya, nanti biar saya yang suruh makan. Bibi istirahat saja. Sudah malam.”
Bi Sari tersenyum, ia pamit pada Anas lalu pergi. Anas mengambil air dingin di kulkas dan segera meneguknya banyak. Ia harus menyiapkan mental sebanyak mungkin sebelum masuk ke kamar Zanna. Bayangan kulit Zanna yang terbuka masih terbayang-bayang dikepala Anas dan tidak mau menghilang. Ia harus menenangkan diri.
Anas mengambil sepiring nasi dan beberapa lauk pauk sebelum ke kamar Zanna. Kamar Zanna kosong, Anas menaikan alisnya. Ia lalu teringat saat mendengar suara gemericik air dari kamar mandi. Anas menaruh makanannya di meja rias, ia duduk dengan tidak tenang di ujung ranjang Zanna. Anas merasa dirinya sangat bodoh saat ini. Oh, ayolah, ia pria yang sudah berumur 28 tahun dan apa ini, ia gugup hanya karena berada di kamar Zanna.
Padahal setiap malam sejak Zanna sah menjadi istrinya, ia selalu ke kamar gadis itu untuk memberikan ciuman selamat malam. Lalu kenapa perasaan Anas tidak nyaman seperti ini. Zanna keluar sambil mengelap rambutnya yang basah dengan handuk. Anas yang melihat itu tertegun, ia menelan dengan susah. Meskipun sudah sering melihat Zanna tanpa jilbab namun ini pertama kali bagi Anas untuk melihat gadis itu menguraikan rambutnya. Biasanya, Zanna lebih memilih untuk mengikatnya, paling sering digulung keatas supaya tidak berantakan.
Anas menatap mata Zanna lekat, aroma sabun yang gadis itu gunakan melekat ke indra penciuman Anas. Aromanya sangat segar. Belum lagi, aroma sampo yang hampir menghilangkan akal sehatnya saat ini. Anas berdeham, ia menatap kearah lain.
“Bibi bilang, kamu belum makan.”
“Oh, aku lupa,” Anas menatapnya tajam. “Niatnya tadi habis mandi baru makan, hahaa.” Zanna tertawa canggung, tatapan Anas membuatnya ketakutan sedikit.
“Bagaimana bisa kamu lupa untuk makan. Lain kali jangan diulangi.”
“Siap.” Zanna melirik ke meja rias. “Ah, itu makanan untukku?”
Anas mengangguk. Ia lalu bangkit untuk segera pergi dari penjara penuh nafsu yang bernama kamar Zanna ini. Beberapa detik tinggal didalam saja sudah sangat menyiksa dan melihat Zanna dengan rambut panjang basah serta aroma tubuhnya benar-benar merusak akal sehat Anas. Ia harus pergi dan menyelamatkan akal sehat yang tinggal setipis benang.
“Makasih kak,” Zanna menahan tangan Anas, “Aku mau nonton, kakak mau ikut?”
Ah, akal sehat Anas putus sekarang.
Zanna membolakkan matanya. Itu terlalu cepat. Zanna bahkan belum sempat merespon sebelum tubuhnya jatuh ke ranjang bersamaan dengan Anas diatasnya. Napas Zanna memburu. Oksigen di sekitarnya seperti menghilang. Zanna tidak dapat bernapas dengan benar. Anas menatap mata Zanna lama. Ia lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Zanna.
“Jangan merusak akal sehatku, Zan.” Ia berbicara dengan suara serak. Bulu kuduk Zanna berdiri dibuatnya. “Jadi, masih mau menonton bersama?”
Zanna berkedip beberapa kali. Pikirannya menghilang untuk beberapa saat. Sedetik kemudian, Zanna dengan cepat menggeleng. Anas tertawa. Raut wajah panik Zanna membuatnya sadar kembali. Anas mencium kening Zanna lama, “Jangan lupa makan.”
Zanna mengangguk berkali-kali, ia menjadi anak kecil penurut kali ini. Setelah Anas pergi, Zanna masih terbaring di ranjangnya. Ia memegang debar jantungnya yang berdetak dengan kencang. Bekas bibir Anas pun masih terasa di kening Zanna. Gadis itu terdiam, ia masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Perut Zanna berbunyi mengembalikan kesadaran Zanna. Pipi Zanna langsung merona, ia terduduk sambil memegangi kedua pipinya. Perutnya kembali berbunyi, Zanna menghentikan perasaan itu dan mengambil makanan di meja rias dan memakannya sambil menonton.
Benar, nggak usah terlalu dibawa perasaan. Kak Anas pasti hanya main-main.
Zanna melahap makanannya dengan kasar.
“Aku nggak akan menyukai pria duluan lagi. Kejadian yang lalu-lalu nggak akan pernah ke ulang lagi.
Keesokan paginya, Anas tidak bekerja jadi ia sedang sangat luang. Tapi Zanna sama sekali tidak muncul dihadapannya. Zanna juga tidak membangunkan dirinya untuk salat subuh bersama hari ini. Berpikir tentang tindakannya malam tadi, Anas masih bisa memaklumi. Ia menghampiri Bi Sari yang tengah memasak.
“Bi, Zanna belum keluar dari kamarnya?”
“Pagi, Tuan.” Bi Sari menyapa Anas terlebih dahulu, lalu menjawab, “Nyonya belum keluar dari tadi, Tuan.”
Anas mengangguk. Seketika ia cemas. Anas sedikit berlari keatas, ia membuka kamar Zanna yang tidak terkunci. Di ranjang, Zanna berbaring sambil telungkup. Mendengar suara pintu dibuka, Zanna berucap dengan lemah. “Bibi, bisa tolong ambilkan aku obat sakit kepala. Aku nggak punya tenaga buat berdiri.”
Sebuah tangan besar memegangi dahi Zanna, gadis itu membuka matanya. Ia bahkan tidak punya tenaga untuk sekadar terkejut melihat Anas disini. Bergerak sedikit saja membuat sakitnya semakin parah.
“Ah, kakak nggak kerja?” hanya kalimat itu yang bisa keluar dari bibir Zanna sekarang.
“Apa lagi yang sakit?” Anas cemas. Suhu badan Zanna normal, gadis itu tidak demam. Namun, ia kelihatan sangat lemah saat ini. Matanya kuyu. Bibirnya pun pucat.
“Kakak nggak usah khawatir, aku cukup makan obat saja kok.” Zanna tersenyum lemah. “Aku Sudah biasa kayak gini. Tolong, ambilkan obat sakit kepala saja.”
Anas berdiri dan segera mengambil obat sakit kepala dan segelas air. Ia lalu teringat, “Kamu belum makan apa-apa ‘kan pagi ini?”
“Belum.”
Mendengar itu, Anas segera turun untuk mengambilkan beberapa potong roti untuk di makan. Setelah mengetahui bahwa Zanna sakit, Anas beberapa kali bolak-balik dapur. Bi Sari yang melihat semua itu keheranan. Ingin bertanya, tapi Anas seperti tidak berada di dunia ini. ia hanya fokus pada satu hal sekarang ini, Zanna.