Butuh banyak alasan, sekadar untuk cari perhatian.
Reksa Adhya. Nama cowok yang sudah bikin Bora lelah kayak Hayati di MOS kemarin. Dan, sialnya, mereka sekelas! Duh! Kalau belum tahu reseknya Reksa, sih, Bora bakal kesenengan setengah mati. Tapi, sekarang, mah, ia merasa seolah ketiban sial nggak kelar-kelar gitu. Mana si Reksa jadi ketua kelas. Nggak kebayang, kan, anak ngeselin kayak dia disuruh mimpin murid sekelas? Sama, Bora juga nggak bisa ngebayangin sedikit pun, tapi anehnya cowok itu berhasil menyabet predikat ketua kelas teladan dari wali kelas mereka.
Toh, sekarang bukan si nyebelin Reksa yang bikin Bora diam termangu di tempat duduknya dengan muka kelipet mirip tumpukan baju di lemari. “Lo kenapa deh, Yong?” tanya Anka akhirnya. Dia sudah nggak tahan didiemin Bora kurang lebih sepuluh menit. Sahabatnya itu nggak tahu apa kalau Anka sudah capek ngebelah sekolah yang bentuknya “U” buat sampai di kelas Bora, dan sekarang dikacangin doang.
Bukannya menjawab, Bora malah mengembuskan napas sambil manyun. Kalau begini dia persis bebek, mengingat bibirnya yang tipis banget itu. “Nikahan Song Joong-ki Oppa makin deket, gue lagi masuk masa depresi, nih.”
Anka mendengkus habis mendengar jawaban Bora. Harusnya dia nggak menyia-nyiakan waktu buat ke sini. Kalau mau berpikir dikit, dia bakal tahu alasan sahabat tukang halunya nggak bersemangat tanpa sebab hari ini. Tentu omongan tersebut cuma boleh ada di kepala Anka. Sebab, kalau mendengarnya, Bora bakal mencak-mencak.
Sebelum ngefan sama Park Hyung-sik gara-gara drama Strong Woman Do Bong-soon, Bora lebih dulu mengidolakan Song Joong-ki. Dia termasuk orang mainstream yang menonton Descendants of the Sun dan meleleh sama karakter tentara itu. Nggak heran pas dengar berita Song Joong-ki mau nikah, dia langsung nangis kejer kayak calon pengantin ditinggal nikah pada hari H. Dan, habis itu dia langsung merapal mantra supaya Park Hyung-sik nggak nyusul Song Joong-ki. Nggak sanggup patah hati dua kali dalam setahun, katanya. Jadi, walau kesal, Anka bisa—atau lebih tepatnya mencoba bisa—mengerti Bora, meski rasanya seolah ikutan gila.
“Eh, Yong, udah lihat belom? Undangan Song Joong-ki! Dikirim langsung ke email gue, lho! Lo mau pergi bareng, nggak? Bolehlah kalau cuma bawa satu temen.” Teman sekelas Bora, Andin, yang sama halunya kayak Bora, tiba-tiba muncul dan heboh sendiri.
“Lo diundang? Gue duduk di sebelahnya. Mon maap aja, ya,” balas Bora nggak kalah halu.
“Kalian cocok banget, ya. Pantes baru kenal langsung akrab,” sindir Anka yang cuma bisa geleng-geleng dari samping. Kalau kayak gini caranya, Anka benar-benar bisa gila. Dikelilingi orang-orang penuh halusinasi. Walau nyatanya dia berhasil, sih, berteman baik dengan Bora sejak kecil. Jelas, tingkat halunya Bora jauh di atas Andin.
“Sebelah Kim Jong-un, kali. Makanya, kalau mata minus, nggak usah sok-sokan pake kacamata cuma di kelas.” Reksa, yang baru datang, langsung menyabet kacamata Bora yang dianggurin di atas meja dan memasangkannya ke Bora secara asal-asalan.
ARGH! Bora kesal banget! Kenapa, sih, si nyebelin Reksa pinter banget milih waktu buat mengacaukan semuanya? Bora mengumpat dalam hati. Mukanya sudah merah, pipinya menggembung mirip ikan karena menahan napas—penginnya, sih, napas itu diembusin kencang-kencang ke Reksa biar cowok itu kebauan atau terempas sekalian ke Antartika.
Bora memutar otak cepat sampai yakin kecepatannya bisa mengalahkan kecepatan cahaya, tapi nyatanya tetap blank. Sial! Kenapa giliran menghadapi cowok ini, Bora malah nggak bisa apa-apa, padahal biasanya dia nggak pernah kalah debat sama siapa pun. Maka, Bora milih pergi. Kalau menurut keyakinan Bora, sih, ditinggal pas lagi ngomong gitu malah bikin jauh lebih sakit daripada dibalas. Jadi, daripada buang-buang tenaga, mending dia langsung kibas debu, terus debunya mengepul di belakang dan bikin Reksa sesak.
“Eh, Bor!” seru Reksa sebelum Bora keluar kelas.