Jangan cepat-cepat marah.
Siapa tahu yang awalnya sial, berubah jadi keberuntungan.
“Lo beneran mau bikin ekskul baru, Yong? Kayaknya bakal susah, deh,” tegas Anka, yang cuma bisa dijawab dengan napas frustrasi oleh Bora. Sungguh dia bingung. Dia juga bukan orang yang mau repot-repot soal satu ini, mana nggak punya pengalaman sama sekali. Tapi, ekskul di sekolah ini benar-benar nggak menarik, dan dia nggak mau menjalani tiga tahun tanpa pengalaman yang asyik.
“Menurut gue, sih, nggak usah. Ngapain juga repot-repot buat hal yang nggak pasti kayak gitu. Mending lo belajar daripada nyapekin diri buat ngurus hal begitu,” tambah Anka. Demikianlah prinsip hidup cewek itu. Dia nggak pernah rela menceburkan diri ke hal baru. Buang-buang waktu dan tenaga, katanya. Beda banget sama Bora, yang malah suka cari pengalaman baru.
“Tapi, kan, tadi Karin bilang ada kenalannya yang bisa bantuin. Harusnya nggak bakal susah lagi kalo gitu.”
“Justru karena yang tadi itu Karin, gue makin nggak setuju. Dia baru masuk aja langsung gabung sama geng gede yang udah turun-temurun di sekolah ini. Feeling gue, ya, yang bakal dikenalin dia salah seorang anggota geng itu juga. Lo mau berurusan sama orang-orang kayak gitu? Gue, sih, ogah.”
Bora diam. Otaknya mencerna omongan Anka, yang dirasa ada benarnya juga. Selama SMP, mereka berdua sebisa mungkin menghindar dari yang namanya anak geng. Walau anak-anak geng di SMA ini kelihatan lebih friendly daripada yang di SMP, Bora tetap nggak yakin mau berurusan sama mereka. Bagaimana kalau malah ikut kena masalah nantinya, itu yang selalu ada di pikiran dia dan Anka.
“Nggak bakal susah, kok.” Bora dan Anka buru-buru menoleh begitu mendengar suara yang nggak familier. Aneh, akhir-akhir ini ada saja orang-orang baru yang nyeletuk. Apa nimbrung ke obrolan orang lain itu biasa, ya, bagi semua orang?
Kali ini pemilik suaranya cowok tegap dengan rambut berjambul kecil. Garis mukanya tegas, cocok sama rahangnya yang tajam. Kalau dilihat-lihat, cowok itu mirip Park Seo-joon! Tapi, anehnya, kali ini Bora nggak melihat bunga-bunga sakura atau sinar-sinar gitu, tuh. Sial! Bisa-bisanya Reksa yang nyebelin lebih menarik perhatian Bora.
Tapi … lagi-lagi, tapi …. Ingat peraturan di awal, kan? Jangan pernah percaya omongan Bora! Memang, sih, cowok itu ganteng, tapi ya nggak kayak Park Seo-joon juga. Kalau dia kayak Park Seo-joon, mah, sekarang Bora sudah jadi daging gepeng karena diinjak orang-orang yang mau ngedeketin cowok itu.
“Ini Ketua OSIS teladan yang mau gue kenalin ke lo. Akas namanya. Dijamin proposal ekskul baru lo tembus kalau dia yang bantuin.” Karin mengambil alih.
Akas mendekat, lalu tersenyum. Maniiisss banget, sampai bikin Bora lupa bernapas! Nggak timbul sensasi berbunga-bunga kayak pas pertama ngelihat Reksa, tapi berhasil mencuri napas Bora selama sekian detik. Kan, sama aja, ya, nyusahin, bikin Bora nggak sehat.
“Karin emang paling jago muji,” ujar Akas sambil melirik Karin sekilas. Lalu, dia balik lagi melihat Bora, masih dengan senyum manisnya. “Aku Akas. Katanya kamu mau bikin ekskul baru, ya?”