Puji syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan Seru Sekalian Alam, atas anugerah dan karunia-Nya aku bisa menghasilkan karya tulis ini. Terima kasih juga atas dukungan orang tua, teman-teman, dan pihak-pihak yang memfasilitasiku untuk menulis di sela-sela kesibukan kuliah. Jujur, sebenarnya aku tidak suka menaruh lembar prolog dengan banyak kata terima kasih, karena aku cenderung to the point kalau menyampaikan sesuatu. Tapi, salah satu penerbit yang kuincar mengharuskanku menulis lembar prolog ini sebagai prasyarat mengirimkan naskah. Ehem, maafkan aku, editor yang mulia! Ah, tapi rasanya kalau aku memulai dengan kalimat seformal ini, aku jadi canggung, ya? Hehehe, baiklah kalau begitu, aku nggak akan menggunakan kalimat formal lagi.
Oke, jadi pertama-tama, aku akan bertanya dulu. Apa yang kalian pikirkan pertama kali kalau mendengar kata ‘kuliah?’ Kebanyakan orang membayangkan dunia perkuliahan sebagai dunia yang penuh dengan kebebasan, orasi, dan aktivitas-aktivitas akademik serba formal dengan kewajiban membayar uang kuliah tunggal setiap semester. Tapi bagiku, dunia perkuliahan itu sebetulnya lebih dari itu. Seperti kata salah satu dosenku, Ibu Sri Hartati, “Kuliah itu seperti berselancar di atas gelombang, dan jika kita tak mampu menjaga keseimbangan di atas papan selancar, maka kita akan tenggelam.” Thank you, Ma’am! Nah, mungkin karena itulah banyak kasusnya mahasiswa yang memutuskan untuk ndhelik alias bersembunyi dari tanggung jawab dengan alasan cuti. Masih mending kalau cuti satu semester. Cuti bertahun-tahun pun ada. Eh, mohon maaf kalau aku menyinggung kawan-kawan sesama mahasiswa, tapi memang itulah kenyataan di lapangan yang terjadi.
Lepas dari kepelikan perkuliahan, aku bersyukur bisa menemukan teman-teman sehobi melalui Unit Kegiatan Mahasiswa. Tapi, tak lengkap rasanya jika kamu tidak mengalami hal-hal menarik di sana—sekre kebanjiran, perselisihan antardivisi, kisah-kisah bucin, seleksi alam, hingga munculnya bocah-bocah gondrong atau celana cingkrang yang rentan protes di depan rektorat. Fenomena menarik inilah yang kuuntai melalui Draw My Life, sebuah kisah dunia perkuliahan melalui perspektif berbeda dua mahasiswa bernama Karen dan Rylan yang juga berasal dari jurusan kuliah berbeda dengan latar belakang keluarga berbeda. Satu-satunya yang menyatukan mereka hanyalah hobi dan unit kegiatan yang sama.