Aku benci kisah-kisah romansa.
Ehm, bukannya aku sirik, tapi kalian harus tahu bahwa kisah yang kalian biasa tonton di FTV atau film-film rom-com itu nggak semulus dan semanis kenyataannya. Itulah mengapa kalau teman-teman sekampusku geregetan buat membeli tiket nonton film-film Indonesia—Dear Nathan, Dilan 1990, dan sejenisnya—yah, kalian tahulah kebanyakan film Indonesia bertema apa—aku memilih nggak ikutan. Heh, kedengarannya skeptis, ya? Tapi kalau kalian membaca ceritaku berikut ini, kalian pasti akan berubah pikiran. Sumpah demi beribu bintang di langit, deh! Eits, sebelum itu, aku ingin berkenalan terlebih dahulu. Kalian tidak keberatan, kan?
Namaku Karenina Paramitha Indriastuti, teman-temanku biasa memanggilku Karen. Tapi, jangan sekali-kali panggil aku ‘Kar,’ karena kedengarannya akan seperti ‘Kartini.’ Aku nggak mau disejajarkan dengan Ibu Kita yang harum namanya itu! Bisa-bisa nama beliau terkena polusi.
Hingga detik ini, aku sudah hampir empat tahun menjadi mahasiswi Fakultas Psikologi di Universitas Langit Biru. Selama tiga setengah tahun, sih, lebih tepatnya. Dan di semester tua begini, mahasiswa manapun akan menghadapi sebuah cobaan hidup bernama skripsi. Makanya, aku nggak akan menceritakan pada kalian mengenai ribetnya awal tahunku di Psikologi, karena isinya bakal cuma sambatan, ocehan, dan curhatan nggak penting tentang tugas jurnal yang menumpuk. Segala macam drama dan problematika maba itu belumlah seberapa dibandingkan kepusingan akibat beban lulus cepat yang mesti kamu pikul sebagai mahasiswa tua. Ugh, masa-masa semester awal akan selalu kuingat sebagai masa-masa menyebalkan yang bikin berat badanku naik tiga kilo gara-gara stress eating!
Nah, untunglah selama kuliah itu, aku berkesempatan bergabung dengan Unit Kreativitas Mahasiswa—disingkat UKM—yang bergerak di bidang jurnalisme, namanya Jurnal Biru, dengan nama beken Jubi. (Eits, ini bukan monster ekor sepuluh di anime Naruto, lho!) Aku tertarik bergabung karena suatu ketika, Jubi membutuhkan tenaga ilustrator. Ya, aku memang punya hobi menggambar sejak kecil. Aku ingat gambar pertamaku adalah Mickey Mouse, yang ogah kuberi ekor karena jijik. Menjelang memasuki taman kanak-kanak, aku mulai mengembangkan kemampuan dengan menjiplak gambar Cinderella di buku dongeng. Hobi menggambarku itu terus kupupuk sampai kuliah. Bahkan, aku tidak segan khilaf membeli peralatan gambar yang harganya agak mahal untuk memfasilitasi hobiku. Yep, aku tahu—seperti yang dikatakan Papa, hobiku itu boros, tapi hampir semua hobi juga begitu, kan? Ada orang yang hobinya lebih boros dariku, misalnya mengoleksi keramik atau Gundam, tapi hobi-hobi semacam itu sama sekali nggak meningkatkan produktivitas, melainkan hanya menghasilkan kepuasan yang menurut teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow berada di tingkat keempat. (Eh, aku nggak salah, kan?) Sedangkan menggambar, bagiku, adalah hobi sekaligus coping mechanism alias pelepas stres di sela-sela kuliah. Maka dari itulah, aku kemudian memutuskan bergabung di Jurnal Biru dan akhirnya diterima menjadi awak ilustrator. Namun karena pengembangan diri yang kudapatkan terbatas, ditambah sogokan dari teman dekatku sesama ilustrator, aku pun memutuskan ikut komunitas pecinta seni terbesar di ULB, namanya Wahana Seni Rupa. Lumayanlah, seenggaknya dengan bergabungnya aku di komunitas tersebut, aku bisa menyusun argumen logis kalau Papa menginterogasiku mengenai berapa besar pengeluaran kuliahku tiap bulan. Karena meskipun Papa suka cerewet masalah keuangan, Papa bukanlah orang yang suka merekcoki urusan kuliah putra-putrinya. Baginya, pengeluaran karena ikut komunitas di kampus sama saja dengan pengeluaran kuliah. Jadi, bisa dibilang aman, lah.
Omong-omong soal kuliah, sahabatku Mitha pernah bilang bahwa kuliah di Psikologi itu lumayan selo dibandingkan jurusan lain. Well, dia nggak salah. Tapi, kuliah di Psikologi itu membutuhkan mental yang kuat. Membaca jurnal dan buku-buku tebal sudah menjadi kebiasaan yang wajib bagi kami. Semakin banyak jurnal dan buku yang kamu baca, kamu akan semakin tenggelam ke dalam intisari keilmuan yang abstrak. Namun makin dalam kamu menyelami Psikologi, kamu juga akan semakin memahami bahwa sebetulnya ilmu yang kamu pelajari itu sangat praktis dan nggak ada gunanya kalau nggak dikembangkan. Makanya, banyak sekali lulusan Psikologi yang kebingungan di dunia kerja gara-gara nggak tahu bagaimana mengembangkan ilmu yang mereka peroleh sewaktu kuliah. Alhasil, para lulusan itu pun kembali ke kampus dan menjadi dosen. Ugh, beberapa kali Papa juga menasihatiku agar jadi dosen saja seperti dirinya. Tapi, Papaku lupa bahwa dirinya dulu kuliah di Teknik Sipil! Ilmu Teknik Sipil, kan, jauh lebih praktis dan berguna di lapangan dibandingkan Psikologi yang objek kajiannya lebih luas! Dan setidaknya, mahasiswa Teknik Sipil nggak perlu membaca banyak buku tebal seperti mahasiswa Psikologi, karena mereka di Tekpil nggak akan wajib memahami seluruh isi buku. Pendek kata, cukup tahu saja, sisanya tinggal bagaimana kamu mengolah logika bangun ruang dan rumus-rumus fisika.
Eh, tapi bukan berarti aku tidak suka membaca, lho! Kalau bosan menggambar, aku akan emringkuk di kamar sambil membaca. Hobi ini ditularkan oleh Mama, seorang sarjana Ilmu Sospol. Kontras dengaan Papa yang serba realistis, Mama adalah—ehm—manusia indie yang sesungguhnya. Ia adalah penggemar karya-karya Pram, Putu Wijaya, Gola Gong, dan Eyang Sapadi. Ia bahkan pernah menyisihkan uang arisannya untuk membeli novel Ayu Utami yang waktu itu lagi hype di kalangan anak-anak muda. Di sisi lain, aku nggak kenal sama sekali dengan karya-karyanya Ayu Utami, tapi berkat rekomendasi Mama-ku, aku jadi suka membaca karya-karya Pram dan Putu Wijaya.