Aku akan mulai dengan sebuah nama: Rylan Mahesa Tarumanegara. Namanya terdengar cool, bukan? Yep, nama cool untuk manusia yang cool. Tidak bisa dipungkiri bahwa pemilik nama itu berhasil memesona ribuan cewek ULB dengan kharisma dan bakatnya yang luar biasa. Bakatnya ini juga bukan bakat sembarangan, dan kisah yang tertulis mengiringi pertumbuhan bakat itu bagaikan simfoni Tchaikovsky yang mengalun mengikuti gerakan penari ballet dalam dongeng Nutcracker—saling melengkapi dan mengindahkan. Ehhh, hanya sekadar peringatan—kalau kalian berpikir aku bakal membicarakan soal bakat beternak lele atau semacamnya, kalian salah besar. Tidak, bakatnya tidak selangka itu, tapi tetap saja istimewa.
Beruntung, aku berkesempatan mengenal Rylan sebelum dia jadi idola sejuta umat. Tanpa diduga-duga, dan tanpa permisi, manusia ini hadir begitu saja layaknya asteroid menghantam bumi. Yah, agak hiperbolik sebetulnya menyebutnya seperti itu, tapi mau tak mau, memang begitulah kenyataan yang terjadi. Yep, siapa sangka bahwa kehadiran satu manusia asing akan membuat sebuah perubahan iklim dalam hidup seorang Karen, yang seumur-umur belum pernah terhantam asteroid? Ah, sepertinya aku perlu memberi pendahuluan yang pantas sebelum kita masuk ke pembahasan utama.
Alkisah, aku bertemu dengan Rylan pertama kalinya sewaktu menempuh semester tiga. Saat itu, aku sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan asesmen diselingi tugas kelompok bejibun, sementara peranku di Jubi sudah mulai meningkat gara-gara ditunjuk jadi Sekretaris Subdivisi Ilustrator. Aku nggak pengin menerima jabatan itu, sih. Namun, berhubung Mas Kevin (Kepala Subdivisi Ilustrator terpilih yang diturunkan dari Kepala Kreatif gara-gara kekurangan orang) merekomendasikan namaku di Musyawarah Besar—dan karena aku yakin bisa membagi waktu antara kuliah dan berorganisasi—aku pun menerimanya. Di sisi lain, nggak ada satupun anggota subdivisiku yang tersedia buat diserahi jabatan.
Singkat cerita, sebagai anak buah Dewan Pengurus, aku bertanggungjawab di bidang pendataan, pencatatan, dan membantu Mas Kevin mengarahkan serta membina anggota subdivisiku demi mencapai tujuan Jurnal Biru. Apalagi, sejak pertengahan semester genap, Jubi tengah mengalami krisis karena anggota lama sudah mulai hilang-hilangan. Nggak ada yang tahu pasti sebabnya, tapi aku pernah belajar tentang teori komitmen organisasi. Kemungkinan berkurangnya komitmen anggota dalam sebuah organisasi bisa disebabkan oleh rasa bosan atau tidak ada keselarasan nilai-nilai organisasi dengan nilai-nilai yang dianut individu. Maka dari itu, anggota Jubi yang tersisa berserta Dewan Pengurus harus mengadakan oprec anggota baru secepat mungkin saat pergantian semester ganjil. Kebetulan, saat itu para maba—alias mahasiswa baru—sedang semangat-semangatnya sampai kelimpungan dan pongah mencari organisasi yang cocok dengan minat dan bakat mereka. Jadilah, kami mengadakan open recruitment (oprec) dan seleksi anggota selama dua minggu berturut-turut untuk menjaring mereka. Mengadakan oprec ini membutuhkan banyak energi dan biaya. Untungnya, dana operasional yang dihibahkan dari Universitas kepada seluruh Unit Kreativitas Mahasiswa (UKM) waktu itu masih bisa dikerahkan untuk membuat konsep stand yang memukau bagi para pendaftar UKM.
Nah, pendeknya, Rylan adalah salah satu dari para maba itu. Pertemuan bersejarah kami dimulai pada suatu sore di bulan Agustus tahun 2016. Saat itu, aku sedang rajin-rajinnya main ke sekre dengan alibi mencari wifi demi menggarap laporan Teori Aplikasi dan Pengukuran Psikologi. Sambil asyik menggarap tugas, aku mengobrol seru berdua dengan Mbak Tika, menyambat satu sama lain. Mbak Tika adalah salah satu seniorku di Jurnal Biru. Ia adalah seorang wanita berusia 22 tahun yang periang. Saat itu, ia menjabat sebagai Pemimpin Umum Jurnal Biru. Ceritanya, kami di Jurnal Biru sudah melaksanakan sesi FGD minggu lalu dengan para pendaftar. Sesi berikutnya adalah wawancara dengan Kepala Divisi yang dilamar. Berhubung Mas Kevin selaku Kepala Kreatif tidak bisa hadir, Mbak Tika-lah yang menggantikannya, dengan syarat ada satu atau dua anak Kreatif yang menemani. Kebetulan hanya aku yang menyanggupi datang karena yang lain sibuk. Yah, seperti kataku tadi, di sekre ada wifi yang cukup kencang untuk membantuku menggarap tugas—dan streaming serial Netflix favoritku.
Sambil mengetik, aku bisa merasakan kekecewaaan Mbak Tika selagi mengoceh tentang banyaknya anggota yang hilang-hilangan dan tidak pernah lagi aktif membangun Jubi, seperti masa-masa terdahulu. Baginya, menjabat sebagai Pemimpin Umum merupakan beban mental. Setelah Pemimpin Umum sebelumnya, Mas Davi, turun takhta, para DP memutuskan memilih Mbak Tika sebagai pengganti Mas Davi karena Mbak Tika adalah salah satu aktivis kampus yang sering menjadi oposisi BEM. Menurut cerita, Mbak Tika memutuskan keluar dari BEM karena merasa nggak sreg dengan kepemimpinan ketua BEM yang baru. Terlalu lembek, katanya. Setelah keluar dari BEM itulah Mbak Tika dipercaya menjadi Kepala Divisi Kreatif di Jurnal Biru. Setahun kemudian, sifat Mbak Tika yang hangat dan mengayomi awak Kreatif berhasil mengantarkannya naik jabatan menggantikan Mas Davi sebagai Pemimpin Umum. Ya, harus kuakui dibandingkan Mas Davi, aku lebih suka dengan pendekatan Mbak Tika yang tidak terlalu radikal dan ceplas-ceplos tetapi tetap kritis. Visi dan misi Jurnal Biru dibawa bersamanya dengan gaya yang lebih ringan dan populer, namun tetap akademis dan edukatif. (Haduh, maafkan diksi kami yang belibet ini!)
“Serius, Divisi Kreatif adalah yang terparah,” tutur Mbak Tika. “Entah bagaimana, anggotanya di tahun ini semakin lama semakin berkurang. Anak ilustrator, sih, yang paling nggak berhasil lolos seleksi alam. Untung masih ada kamu, Ratna, dan Shiva yang bertahan. Dulu sewaktu Mas Anton masih jadi Kepala Divisi, keaktifan anggotanya bisa dibilang tinggi. Anak-anak Kreatif di masa itu masih sering datang rapat. Dan setiap kali ada mereka, seolah roda Jubi berjalan dengan sendirinya. Tahu sendiri, kan, ide-ide bocah Kreatif itu selalu out of the box. Nggak ada habis-habisnya inovasi mereka bermain. Si Denny misalnya—ah, bocah tengil itu—dia nggak pernah absen jadi panitia event Jubi. Ulang tahun, seminar, workshop, semua dibabat habis! Sayangnya, dia anak D3 Bahasa Inggris. Jadilah sehabis magang, dia mesti mengejar kelulusan terlebih dahulu, meninggalkan kita.”
“Oh, Mas Denny yang gambarnya mirip Akira Toriyama itu, ya, Mbak?” celetukku. “Gilasih, meskipun dia agak norak, aslinya dia baik banget. Sumpah, aku ngefans berat sama komik-komiknya di tiap edisi khusus!”
“Iya, kan?” Mbak Tika membenarkan sambil menghela napas. “Ah, aku jadi kangen sama Denny.”
“Cieh, siapa tuh yang kangen sama Mas Denny?” Tiba-tiba, dari pintu belakang terdengar selorohan. Kepala keriting Shiva, kawanku sesama awak ilustrator, menyembul dihiasi cengiran lebar di wajah bundarnya.
“Heh, ngangetin aja kamu!” seru Mbak Tika. “Tumben kamu ke sekre jam segini. Bukannya kamu biasanya studio sampai jam 5?”
“Studionya udah selesai, kok. Terakhir asistensi kemarin, Mbak. Tadinya mau ada rapat Himpunan Mahasiswa Hindu Dharma, tapi ditunda gara-gara ketua kami ada deadline laporan pratikum. Maklumlah anak MIPA nggak bisa diganggu gugat,” ujar Shiva seraya duduk di dekatku. Cowok asal Bali dari jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota tersebut selalu membuatku menahan tawa karena setiap kali aku mendengarnya ngomong, logat Balinya yang kental selalu me-nyempil. Huruf ‘t’ kalau diucapkannya selalu menjadi ‘th.’ Lebih konyol lagi, sejak bergabung dengan Himpunan Mahasiswa di jurusannya, dia jadi bersemangat belajar bahasa Jawa. (Kampusku adalah salah satu kampus beken di Daerah Istimewa Yogyakarta, jadi maklumlah kalau banyak mahasiswa lokalnya.) Tapi, memang dasar logat yang suka nyempil. Suatu kali Shiva pernah membuat seisi rapat Himpunan Mahasiswa terpingkal-pingkal. Padahal, mereka sedang membahas anggaran dasar dan rumah tangga. Si ketua HM ngotot mereka membeli printer baru, tapi si bendahara menolak karena anggaran mereka yang tersisa tinggal dikit dan berencana dialihkan untuk proker Divisi Minat dan Bakat. Shiva berusaha menengahi dengan berkata, “Wiis, wiis, rasah dithuku, Bos! Iso thuku thaun depaaan!” (“Sudah, sudah, nggak usah dibeli, Bos! Beli tahun depan aja!”) dengan suaranya yang cempreng dan nyaring. “Bwahahaha!” Meledaklah seluruh hadirin rapat. Si ketua dan si bendahara spontan lupa dengan perdebatan pointless mereka dan ikut-ikutan ber-bwahaha bersama anggota HM lainnya. Ah, tapi memang dasar Shiva polos. Dia ikut-ikutan tertawa tanpa sadar bahwa dialah sumber lelucon pemecah ke-spaneng-an kala itu.
“Sudahlah, Shiv, nggak ada gunanya menggoda Mbak Tika seperti itu! Mbak Tika kan sudah punya Mas Hendrik. Iya, kan, Mbak?” kataku nyangir sembari menyikut pundak Mbak Tika.
“Pssst, tolong kondisikan. Jangan pernah bawa-bawa Hendrik ke dalam pembicaraan sakral ini,” tukas Mbak Tika sambil berlagak cemberut.
“Hilih, sakral apanya?” kataku. “Sudahlah, Mbak. Akui saja, selain Mas Denny, yang paling dikangenin dari angkatan tiga adalah Mas Hendrik, kannn?”
Muka Mbak Tika kini merah padam dan cemberutnya makin manyun, tapi ia tidak mengatakan apa-apa.
“Huwaaah, beruntung banget ya jadi Mas Hendrik. Kok, bisa, ya? Begitu kepilih jadi Sekretaris Umum langsung dapat jodoh?” kata Shiva. “Aku, nih. Udah kepilih jadi Sekretaris Kreatif, masih jomblo aja. Padahal jabatannya kan beda tipis.”
“Itu mah karena kamunya aja yang nggak proaktif, Shiv,” godaku. “Mana, tuh? Katanya mau pedekate sama anak FKG yang waktu itu…”
“Haisssh, jangan nyebar gosip di sini, dong!” gerutu Shiva, mukanya merah padam. “Semua orang di Peternakan sudah terinfeksi kabar burung itu. Aku nggak sudi anak-anak Jubi ikut-ikutan!”
“Aduh, Shiv, namanya juga kabar burung. Setiap burung akan terbang ke manapun dia suka untuk mencari sarang baru,” kata Mbak Tika, ikut-ikutan menggoda. “Sudahlah, yang namanya jodoh nggak akan ke mana-mana. Bukannya aku skeptis, tapi aku pun nggak tahu apakah Hendrik dan aku akan terus bersama. Pasti ada saja kejadian nggak terduga yang bakal membuat kami berpisah suatu hari nanti.”
“Wah, berat, beraaaat!” ujarku. Shiva hanya bisa tersenyum kecut. Dugaanku adalah, dalam hati dia merasa tertohok dan tidak nyaman dengan pembahasan itu. Aku pun buru-buru mengganti topik.
“Omong-omong, Mbak, kemarin sudah berapa anak Redaksi yang terpilih?” tanyaku pada Mbak Tika.
“Kurang lebih lima orang,” sahut Mbak Tika. “Dua anak Sospol, tiga dari Vokasi. Ngeselin banget, deh, harus dapat anak Vokasi lagi. Bisa-bisa mereka hilangnya cepat, kayak Galih, Warti, dan Nanda.”
“Ah, iya juga,” kata Shiva membenarkan. “Kenapa, ya, banyak banget anak Vokasi yang pengin masuk Redaksi? Padahal, mereka kan harus aktif terus, sedangkan anak-anak Vokasi banyak praktik lapangan. Memangnya mereka bakal bisa menjamin buat cari berita yang hot di sela-sela kuliah?”
“Nah, aku juga tidak tahu. Takdir, kali,” kataku. “Nanda dan Warti menurutku punya gaya tulisan yang bagus, tapi mereka selalu punya alasan nggak ikut Rapat Tema karena tugas praktik. Warti terutama, karena dia anak D3 Teknik Sipil.”
“Kasihan dia,” kata Mbak Tika. “Ayahnya nggak pernah membolehkan dia pulang lebih dari jam 9 malam gara-gara kakaknya—yang kuliah di Jakarta—nyaris dijambret sama orang. Kabarnya juga nyaris diperkosa. Tapi, sepengalamanku kuliah di Jogja, dunia malam di sini relatif ‘aman,’ nggak kayak Jakarta yang ekstrim.”
“Eh, tapi rumor klitih di Sleman waktu itu sempat bikin ibuku panik, lho, Mbak,” kata Shiva sembari bergidik. “Aku sampai pernah ditelpon sepuluh kali dalam sehari, diwanti-wanti buat nggak pulang larut malam, padahal waktu itu Divisi Minat dan Bakat LM Peternakan lagi banyak proker dan kami sering rapat sampai tengah malam. Aku pun meyakinkan ibuku supaya tidak khawatir, karena aku bisa menjaga diriku sendiri. Toh, kalau pulang larut malam, selalu ada Abdel dan Fathan yang pulang bareng denganku, karena kami satu kontrakan.”
“Klitih… seram juga,” kataku, ikut-ikutan bergidik. “Tapi kabarnya, peristiwa itu hanya isapan jempol saja, Shiv. Soalnya, ternyata, yang melakukan klitih itu nggak lebih tua dari kita-kita ini. Maksimal anak SMA, dan motifnya hanya pamer antar geng sekolah.”