DREAM : A dream from dreamers

Delvia Dwi Septiani
Chapter #1

Part 1

Temaram yang menghiasi malam, menyatu dalam semburat rembulan yang meredam dinginnya malam, balutan asap perapian membuat udara dingin tersamarkan oleh hangatnya sumber cahaya yang berkobar. Semua orang membuat lingkaran besar, berdiri mengelilingi api unggun yang membara di tengah-tengah para siswa baru SMA Rajawali. Mereka sedang melaksanakan rangkaian akhir dari masa orientasi peserta didik, yaitu perkemahan sabtu minggu atau yang sering disebut PERSAMI. Perkemahan yang diselenggarakan di bumi perkemahan Cibubur ini diikuti oleh semua siswa baru, juga anggota OSIS selaku panitia.

Banyak kegiatan yang telah mereka lalui, mulai dari pemberian materi pentingnya berorganisasi, tanya jawab mengenai hal-hal yang ingin mereka tahu tentang SMA Rajawali, outbound, dan terakhir yaitu malam puncak berupa api unggun dan penampilan kreasi seni dari para siswa baru.

“Apakah kalian pegal?” teriak salah satu laki-laki yang merupakan anggota OSIS menggunakan pengeras suara. Mereka dengan serempak menjawab, “Pegal, Kak!”

“Bagus pada kompak. Kalian boleh duduk, pakai alas duduk yang sudah kalian bawa,” serunya. Laki-laki bernama Yoga ini memanggil anggota yang lain agar mendekat ke sumber suara, tak lupa dengan membawa perlengkapan yang diperlukan untuk menunjang penampilan para artis dadakan dari siswa baru ini.

“Teman-teman semua, akhirnya kita sudah sampai pada acara puncak yaitu malam api unggun. Nah sekarang kita mau kalian yang katanya berani dan punya nyali untuk menampilkan kelebihan yang kalian punya. Di sini kita sudah membawakan gitar buat kalian yang pengin menyumbangkan suara emasnya.” Yoga menunjuk gitar yang di bawa temannya. Anya, perempuan yang berdiri di samping Yoga dengan lantang berteriak, “Jangan malu, jangan ragu! Siapa tahu kalian bisa dapet gebetan setelah unjuk diri di depan!” Teriakan Anya rupanya berhasil membuat suasana menjadi ramai, siswa laki-laki saling bersiul dengan antusias.

Yoga kembali membuka suara, “Tidak hanya bernyanyi, kalian yang bisa nge-dance, acting, stand up comedy, baca puisi atau mungkin yang lainnya boleh maju ya!”

Semua siswa sangat bersemangat malam hari ini, pasalnya perkemahan ini merupakan acara yang paling ditunggu-tunggu, mereka memanfaatkan momen ini untuk melepas penat setelah selama 5 hari sebelumnya disibukkan mengikuti ritual yang lumrah dilakukan siswa baru saat memasuki jenjang SMA. Termasuk oleh Nabila, perempuan yang sedari tadi sibuk menuangkan minyak kayu putih pada telapak tangannya itu mendengarkan kata-kata yang keluar dari mulut kakak kelasnya. Udara malam yang dingin akan membuatnya mati perlahan jika dia tak membawa senjata andalannya, minyak kayu putih.

Kegiatannya menghangatkan tubuh terusik saat seseorang di sebelahnya mencolek bahu kanannya. “Bil, maju ga?” tanyanya, Nabila menoleh ke arah Fara.

“Ogah,” jawab Nabila sembari mengoleskan cairan hangat pada leher yang tertutup rambut panjang yang sengaja ia gerai. “Kamu aja, Far,” usulnya.

“Gua ga bisa apa-apa, hehe,” jawabnya merendahkan diri. Matanya mengedarkan pandangan dan melihat seseorang dari sekumpulan siswa laki-laki hendak maju. “Eh, liat deh, ada yang mau maju tuh!” Nabila mengikuti arah pandangan Fara.

Laki-laki bertubuh gempal yang merupakan siswa baru berjalan mendekati sumber suara, sontak saja menyita perhatian seluruh siswa.

“Wah ternyata ada yang berani maju, lho! Coba kita tanya, nama kamu siapa dan dari kelas berapa?” Yoga memberikan pengeras suara kepada laki-laki itu.

“Boni , Kak, dari X IPA 3,” ujarnya dengan gugup. Yoga kembali bertanya, “Kamu mau nampilin apa?”

Boni berdehem sebentar. “Sebenarnya aku enggak bisa apa-apa, Kak. Tapi aku punya kelebihan.”

Anya yang sedari tadi menentang tas berisi gitar di punggungnya lantas bertanya dengan antusias. “Wah, apa tuh?”

Boni mengarahkan telunjuk pada perutnya. Semuanya bingung. Apa maksudnya?

“Ini Kak kelebihan saya ... kelebihan berat badan,” ucapnya sambil mengarahkan jari telunjuk pada perut yang jauh dari kata sixpack. Sontak saja semua orang tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan Boni yang receh tersebut, termasuk Nabila dan Fara.

“Wah-wah, ternyata Boni ini punya bakat menjadi pelawak ya,” ungkap Yoga seusai tertawa, kemudian dia mempersilakan Boni untuk kembali ke tempatnya.

“Sekarang adakah dari kalian yang mau menyumbangkan suara emasnya?”

Alih-alih mengacungkan tangan, mereka lebih suka menggunakan jari telunjuknya ke arah temannya masing-masing, memaksa mereka agar dengan senang hati maju ke depan.

“Kalau gak ada, kita yang tunjuk nih!” Suara gaduh para peserta yang saling berbisik semakin memanas, memaksa agar ada orang yang mau mengorbankan dirinya untuk maju, siswa sebanyak ini tak mungkin kan tak ada yang berani? Terlihat payah memang. Mari berhipotesis, mungkin saja mereka malu karena merupakan siswa baru, sehingga masih dalam tahap penyesuaian dengan suasana sekitar.

“Lo aja!”

“Lo kan jago ngegombal.”

“Males, lo aja sana!”

“Duh, masa gaada yang maju.”

“Yaudah lo sana maju!”

Para panitia sibuk mengedarkan pandangannya, salah satu panitia menjatuhkan telunjuknya pada sekumpulan siswa laki-laki.

“Ya kamu yang pakai sweter warna abu-abu, silakan maju!” pintanya sembari memeragakan tangannya agar mendekat. Siswa laki-laki yang ditunjuk tersebut dengan tenang melangkah menghampiri para panitia.

“Silakan perkenalkan diri.”

Siswa laki-laki itu meniupkan udara ke telapak tangannya, lalu merapikan rambut yang bergaya side part itu agar terlihat keren.

“Selamat malam semuanya! Kenalin nama gu—“ Ucapannya sempat terpotong karena ia buru-buru mengingat mengenai salah satu peraturan di Rajawali.

“Kenalin, namaku Fazril Alfansyah dari kelas X IPS 1.” Fazril memperkenalkan dirinya sembari tebar pesona pada kaum hawa.

Peraturan di SMA Rajawali yaitu dilarang menggunakan sapaan “Lo-Gua” saat berinteraksi bersama kakak kelas, terlebih saat sedang MOS seperti ini, para siswanya bebas menggunakan sapaan tersebut saat berinteraksi dengan teman seangkatan. Namun, jika tak sengaja menyapa senior dengan sapaan itu, siswa yang melanggar berhak mendapat hukuman yaitu meresume satu buku yang ditentukan oleh tim penegak tata tertib. Beruntung bagi Nabila yang memang lebih nyaman dan terbiasa dengan sapaan “Aku-Kamu” ketimbang “Lo-Gua”.

“Tinggi banget!” ungkap Fara dengan mulut terbuka. Nabila melihat ke arah Fazril dan setuju dengan pernyataan temannya bahwa cowok yang kini sedang menebar senyum itu memiliki perawakan yang tinggi, juga tegap.

Sebuah gitar akustik sudah berada dalam pangkuannya, dia memetik senarnya untuk mencari kunci dari lagu yang ingin ia nyanyikan.

“Eits tunggu dulu, mau pakai temen duet enggak?” tanya Yoga.

Tak butuh waktu lama untuk berpikir, ia langsung mengiyakan penawaran itu. Panitia mulai mendekati kerumunan siswa perempuan dan berhenti tak jauh dari tempat Nabila berada, kakak kelas itu menjatuhkan pandangannya ke arah Nabila dan berseru, “Kamu, ayo maju!”

Nabila melihat kiri dan kanan, ia merasa bingung dan bertanya pada dirinya sendiri, “Hah? Aku?”

“Iya, kamu yang pakai jaket pink.”

“Cepetan Bil,” ucap Fara. Nabila beranjak dari duduknya, kemudian dia berjalan sembari melekatkan jaket yang ia kenakan, beruntung tempat panitia itu berjarak lebih dekat dengan api unggun sehingga dirinya tidak terlalu merasakan udara dingin yang menusuk tulang.

“Sebelum mulai, kenalin diri kamu dulu ya,” ujar Anya diikuti anggukan dari Nabila.

“Hai semua, nama aku Nabila Frisca dari kelas X IPA 1.” Nabila memperkenalkan diri sembari tersenyum simpul, Fazril tertegun melihat senyuman itu. Manis, batinnya. Namun tanpa disadari siapapun, ada satu orang yang berdiri beberapa meter dari tempat mereka berada, ia merasa bahwa perempuan yang memakai jaket pink tersebut mirip dengan seseorang yang pernah dikenalnya.

Lihat selengkapnya