Malam jum'at yang dingin, di jalan pulang sehabis pengajian. Aku melangkah cepat mendahului Ibuku yang berjalan pelan. Kakiku menghantam aspal jalanan yang kuyup karena hujan lebat sehabis magrib. Suara langkahku terdengar kencang, tetapi tak sekeras bunyi hantaman benda besar jatuh dengan mendadak di belakangku. Dengan kagetnya aku menoleh ke belakang.
"IBU...!"
Lebih kurang lima meter di belakangku, Ibu terjatuh lemas, pingsan tak berdaya. Aku langsung berlari dan menghampirinya. Aku berteriak memanggil Ibuku, sambil terus melolong meminta bantuan sekiranya ada orang yang baik hati ingin membantuku dan Ibuku yang malang ini.
Tidak ada, tidak ada seorang pun di sini. Sungguh malam yang sepi, tapi tak sesepi perasaanku yang mulai menerawang ke kehidupan tanpa adanya kedua orang tua. Aku menangis, tapi sementara tertahan karena pria kecil itu datang menolong Ibuku.
Pagi ini, aku berlari menyusuri jalan dalam keadaan basah kuyup karena hujan yang tiba-tiba datang. Tetapi ajaibnya, pikiranku malah menerawang ke kejadian tiga tahun yang lalu. Mungkin karena sedang dalam keadaan yang kurang lebih mirip dengan kejadian waktu itu.
Di depan kelas terlihat Tika, yang mulut sedang komat kamit seperti melafalkan mantra. Kartika Sari, dia temanku. Yah... bisa dibilang begitu.
"Nila, lo kenapa? Hujan-hujanan lagi lo? Ke sekolah sampai basah kuyup begini. Lo gimana sih?" Ungkapnya sembari tercengang.
"Ya mau gimana lagi." Aku pasrah.
"Ya ampun sial banget sih lo!" Dia berterus terang.
"Ya begitulah nasib anak miskin!" Sambung Sia sambil berlalu ke kelas.
"Nyebelin banget sih tu anak!" Omel Tika.
Meisia Seran. Dia adalah temanku, teman yang terlihat sangat tidak menyukaiku. Dan aku cukup tahu alasan mengapa ia tidak menyukaiku. Selama ini aku selalu bersikap baik padanya, tapi yang diberikannya justru sebaliknya.
Sekarang aku telah dua tahun berada pada masa putih abu-abu. Di tempat yang berbeda dan orang-orang yang berbeda pula dibandingkan sebelumnya. Jam pelajaran masuk, Tika dan teman-temanku yang lain terlihat stress. Mungkin karena memikirkan kalau hari ini ada ulangan lisan sosiologi. Guru sudah masuk, dan Tika terlihat pasrah, aku tertawa melihat tingkahnya itu. Tetapi guruku tidak datang sendirian melainkan datang bersama seorang gadis. Gadis itu berhijab dan berkacamata, dia terlihat sangat cantik.
"Baik semua, sesuai berita yang kalian dengar bahwa kalian akan kedatangan teman baru, silakan perkenalkan diri kamu!" Pinta Bu guru.
"Tika, emang kapan dikasih tahu, ada anak baru di kelas kita?" Tanyaku sambil berbisik.
"Ya ada lah! Lo mana tahu gosip-gosip beginian!" Ujar Tika lumayan berisik.
"Hai teman-teman, perkenalkan nama aku Nurul Hikmah. Kalian bisa panggil aku Nurul."
Banyak dari teman-teman yang bertanya tentangnya, banyak juga yang memujinya. Kecuali Sia, dia selalu mengomentari semua hal tentang gadis itu. Sesi perkenalan sudah berakhir, waktunya ulangan. Gadis bernama Nurul itu pun duduk di bangku kosong di sampingku. Tanpa sadar aku menatapnya, dan dia menyadarinya lalu dia menoleh dan tersenyum melihatku. Dan aku hanya balas dengan menyeringai lebar. Konyolnya, ketahuan memperhatikan orang lain. Efek terlalu bergaul dengan Tika, aku jadi ikutan aneh.
Baik, karena anak baru telah mendapatkan tempat duduk barunya, maka kita lanjut fokus ke pelajaran.
"Kalian sudah siap ulangan anak-anak?" Tanya Bu guru.
"Siap Buk!" Ujar semuanya kecuali Tika.
"Mati deh gue...!" Keluh Tika pelan. Itu terdengar jelas di telingaku karena dia duduk di kursi di depanku.
Ya, aku hanya bisa menyeringai melihatnya. Padahal aku selalu menyuruhnya untuk belajar, bukan hanya di saat ulangan atau pun ujian.
"Dan Nurul, karena kamu masih hari pertama di sini, kamu boleh ikut ulangan susulan ya!" Ujar Bu guru kepada murid baru.
"Baik Bu!" Jawab Nurul dengan lembut.
Sepulang sekolah, seperti biasa aku disergap oleh mereka. Ya mereka... Sia, Rara dan Yana. Mereka yang selalu melakukan apapun yang sekiranya dapat membuatku merasa tidak betah di sini, membuatku merasa seolah berada di neraka terdekat di hidupku. Membuat hari-hari yang kujalani tidak satu pun terasa normal, karena aku diperlakukan dengan tidak normal sebagai manusia.
Yana Yuliana, nama yang kusebutkan tadi. Dia adalah seorang teman yang dulunya satu SMP denganku, bahkan satu kelas. Dia adalah anak orang kaya dan juga termasuk pintar di kelas. Sewaktu SMP aku selalu dikalahkan olehnya, dia selalu menjadi nomor satu di kelas. Tetapi itu tak bertahan lama, karena aku berhasil mengalahkannya dan masih bertahan sampai sekarang. Yana bisa dikatakan anak yang sombong, egois, gila kemewahan dan hanya memandang fisik serta harta. Tetapi meskipun begitu, aku menghargainya karena dia dulunya adalah teman Tasya, dan Tasya adalah teman sebangku-ku sewaktu SMP.
Ya aku menghargainya, sampai ketika aku melihat apa yang dia perbuat terhadap Tasya. Dan juga terhadapku, seperti apa yang dia lakukan saat ini. Aku disiksa...
Tak seperti biasanya, entah ada angin apa. Ada pahlawan yang menyelamatkanku. Bertubuh tinggi, tegap, gagah berani dan pastinya dia tampan. Dia adalah Randi Fadhlar Regis, anak kelas sebelah yang banyak disukai cewek-cewek di sekolah. Tak pernah terbayangkan sama sekali di pikiranku, akan ada tiba masanya seseorang menolongku. Aku tak memikirkan sakitnya pembullyan ini, aku merasa sangat bersyukur telah ditolong.
Pria itu menahan tangan Sia yang sudah bersiap hendak melemparkan telur mentah, yang seratus persen aku yakin adalah telur yang sudah membusuk isinya.
"Lo gak usah ikut campur ya, ini bukan urusan lo!" Sia membentak Randi, sambil terus meronta hendak melepaskan tangannya dari cengkraman Randi.