Bel pulang sekolah masing lima belas menit lagi baru berbunyi, tapi Guru sudah keluar dari lima menit sebelumnya. Aku benar-benar bingung harus berkata apa, ketika Tika terus menyerocos, mengatakan ini dan itu.
Mulai dari Pamannya yang katanya hampir sekarat karena terjatuh lagi dari eskalator mall. Bibinya yang bingung ngasih nama anak kucing yang baru lahir. Mamanya yang kemarin bayar alfamart ke indomart. Kakaknya yang mukanya ungu setelah maskeran buah naga. Sampai Papanya yang memotong daging menggunakan cutter.
Sekarang aku jadi mengerti, asal muasal sifat konyol Tika. Aku dengan segala kerelaan hati mendengarkan seluruh cerita yang keluar dari mulut Tika. Tapi ini sudah pukul dua sore, aku mengantuk sekali karena tak dapat tidur siang.
"Huamm..." Aku menguap.
"Nila! gue lagi curhat kok malah nguap sih. Bosen banget ya dengerin cerita gue?" Oceh Tika.
"Haha, enggak kok, gue emang lagi ngantuk aja. Tapi emang benar sih cerita lo membosankan," ujarku menggodanya.
"Iih... nyebelin banget sih," regek Tika ngembek.
"Jadi gimana rasanya rendang buatan Bokap lo?" Tanyaku. Aku berusaha menghiburnya meski sebelumnya aku membuatnya kesal.
"Gak enak sama sekali." Tika menyilangkan tangannya ke depan, "hambar! Gak ada rasanya!" Ujar Tika jujur sekali.
"Tapi tahu gak. Setelah aku bilang begitu, Papa langsung naburin garam ke piring, terus dia ambil dagingnya terus dicolekin ke garam tadi! Dia pikir sambel apa, main dicolek-colek aja. Setelah itu dia makan, langsung dimuntahin. Keasinan katanya! Kayak makan garam!" Tika menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku tertawa mendengarkan ceritanya, sungguh keluarga yang UNIK mungkin bisa dibilang ANEH ya.
Karena besok aku yang bertugas untuk piket, aku pulang sedikit terlambat hari ini. Sedangkan Tika sudah pulang beberapa saat yang lalu. Dan seperti biasa setelah selesai piket, teman-teman yang bertugas bersama sudah pulang duluan. Dan aku masih harus di sini menyelesaikan tugas mereka menyapu, karena kebiasaan teman-teman ketika menyapu tidak pernah bersih. Sekitar lima menit setelah aku menyelesaikan tugasku, aku langsung beranjak pulang.
Dan nahas! Sia, Rara dan Yana ternyata telah menjaga pintu kelas dari bel pulang sekolah berbunyi.
"Udah selesai nyapunya?" Tanya Rara.
"Bersih gak?" Bentak Yana.
"Guys guys, jangan kasar gitu dong sama sahabat sendiri!" Sia sok-sokan menengahi, "Nila ini kan Ratunya kebersihan, jadi sudah pasti gak akan ada kotoran sedikitpun di kelas! Karena kotorannya sudah menempel semua di dia!" Sia tertawa.
Rara dan Yana juga ikut tertawa.
"Apa yang lucu sih?" Tanyaku, tak tau situasi.
"Wah, Bacot nih anak!" Ujar Yana.
"Udah langsung aja seret!" Sentak Rara. Yang langsung menarik lenganku kasar.
"Aw... sakit tahu gak, lepasin!" Ungkapku kepada mereka. Tapi tetap, mereka tak peduli.
Mereka membawaku ke toilet perempuan. Tempat paling aman melakukan pembullyan karena tidak ada CCTV di sini. Rara menghempaskanku ke dinding toilet. Lantas Yana dengan sigapnya mengeluarkan ember yang sedari tadi di simpan di dalam salah satu toilet yang di kunci. Mereka memiliki kunci toilet? Lantas dengan begitu mereka bisa memastikan tak ada siswi di toilet ini.
Aku sudah bisa menebak apa isi ember itu, dari baunya yang sangat menyengat, membuat seluruh ruang toilet ini serasa neraka. Aku merasa mual sekarang. Aku tak tahan, aku berusaha untuk kabur.
"Eit eit, mau kemana?" Ujar Sia yang menarik kerah seragamku, "lo gak akan bisa kabur dari sini Bus*k!"
"Lepasin gue, gue mau keluar dari sini!" Bentakku.
Aku berhasil melepaskan genggaman tangannya di kerah seragamku. Tapi aku lupa, Sia tidak sendiri. Rara dan Yana, masing-masing memegangi lengan kanan dan kiriku, menyandarkanku di dinding lagi. Lalu Sia bersiap menumpahkannya ke tubuhku.
"Rasain lo! Orang yang kot*r emang seharusnya di kelilingi dengan kot**an!" Sia tersenyum licik.
Astaghfirullah al adzim ya Allah, tolong hamba ya Allah! Aku tak tau apa yang harus aku lakukan. Sia mulai menuangkan isi ember ke kepalaku. Aku takut. Aku menutup mataku.
Tapi bukan adonan telur busuk yang mengenai kepalaku. Melainkan tangan gentar yang sedang menekan kuat kepalaku. Aku membuka mataku, gadis cantik berhijab Nurul lah yang sedang memelukku.
Nurul memiliki tubuh yang lebih tinggi dariku, jadi dengan mudahnya dia melindungi tubuhku yang lebih mungil darinya. Dapat kulihat Sia, Rara, dan Yana kaget atas kemunculannya. Tetapi, mereka tidak berbuat apapun selain tetap memengangiku dan Sia yang terus saja mencurahkan cairan itu ke tubuh Nurul.
Selesai. Mereka menghentikannya.
"Beg*, benget sih lo!" Teriak Sia.
"Iya, untuk apa juga lo ngelindungi di Bus*k ini!" Teriak Yana juga.
"Anak baru aja sudah sok-sokan jadi pahlawan ya!" Teriak Rara lagi.