Randi membuka suara.
"Lima tahun yang lalu, saat usia gue belum genap dua belas tahun. Nenek gue meninggal karena serangan jantung, dan itu membuat kakek gue frustasi karena berpikir tak bisa melanjutkan masa tuanya sendiri. Dua bulan setelah kematian nenek gue, kakek ditemukan tewas di kamarnya setelah memakan racun tikus.
"Setahun setelahnya, Paman gue, satu-satunya adik bokap gue, bisnisnya bangkrut dan jatuh miskin. Bahkan terjerat hutang delapan ratus juta dengan bank. Sebelum bank datang untuk menyita apartemennya, dan tanpa bilang apa-apa atau meninggalkan pesan, dia dan istrinya memecahkan kaca lalu melompat dari apartemennya di lantai sembilan.
"Dan dua tahun yang lalu. Kakak gue, Sabrina Laura. Tewas gantung diri di gudang rumah ini, setelah tiga tahun berturut-turut gagal diterima di universitas impiannya, dan dibully oleh teman-temannya yang diterima di kampus itu," cerita Randi.
Aku terperangah mendengar semuanya, "gue turut berduka atas apa yang menimpa keluarga lo."
"Tidak perlu berduka! Keluarga ini memang mengerikan! Semuanya mengambil tindakan bodoh sebelum kematiannya, tanpa berkata apapun dan kepada siapa pun. Kecuali gue! Gue tahu semua hal yang terjadi sebelum kematian mereka, yang tidak diketahui orang lain. Bahkan orang tua gue, tidak tahu apapun soal kematian mereka.
"Dan yang lebih mengerikan, tidak seorang pun dari mereka mengizinkan gue untuk mengatakan hal ini dengan siapapun. Dan gue sudah menyimpan rahasia mereka sendiri, selama bertahun-tahun. Begitu juga dengan Eliza, Mama dan Papa tak tahu apapun tentang apa yang terjadi selama setahun belakangan ini di hidupnya, semua yang dikatakannya sekarang pada Mama adalah bohong, atau hanya sekedar diam tak mengatakan apapun." Randi memandang ke arah dalam rumah.
Aku ikut memandang arah pandangan matanya, lalu kembali menatap Randi, "terus kenapa lo gak mencegah mereka mati dengan mengenaskan begitu?"
"Gue gak selamanya bisa mengawasi mereka, atau membantu mereka bangkit. Karena gue juga bingung harus bagaimana jika berada di posisi mereka saat itu. Dan di saat gue lengah, gak mengawasi mereka. Di saat itu juga, gue harus kehilangan mereka. Dan gue hampir kehilangan Eliza lagi!" Randi terlihat hancur.
"Gue akan bantu lo untuk mencegah Eliza melakukan tindakan bodoh itu lagi! Gue janji!" Aku mengucapkan janji atas sesuatu yang besar kepada Randi.
Randi Tersenyum, "gue percaya sama lo!"
Aku membalas senyumnya, "tapi kenapa lo bongkar rahasia ini ke gue? Sedangkan orang tua lo sendiri bahkan gak tahu kejadian yang sebenarnya."
Randi menatapku lamat-lamat, "karena Eliza ngasih tahu lo soal rahasianya!" Randi terdiam sebentar, "dan hari ini. Setelah bertahun-tahun. Akhirnya ada orang lain yang datang membantu gue melepaskan beban gue selama ini. Beban yang membuat gue merasa ingin segera mengakhirinya dengan cara yang bodoh juga."
Mataku lekat menatap mata sembab Randi. Dan Randi menggenggam tanganku.
"Sekarang, kamu adalah orang yang berharga untuk aku Nila! Aku janji akan selalu melindungi kamu!" Randi tersenyum manis ke arahku.
Pipiku memanas. Rasanya malu sekali. Aku menundukkan kepalaku. Aku? Kamu? Apa maksudnya? Kenapa dia memanggilku begitu? Aku berusaha menahan senyum merekahku. Lalu dengan berani mengangkat kepalaku.
"Emm... iya, bisa lepasin gak?! Bukan muhrim soalnya!" Perintahku.
"Hah? Oh iya, maaf!" Balas Randi malu-malu sambil melepaskann genggaman tangannya.
***
Sepersekian menit, kami hanya diam-diaman. Menoleh sana-sini, tak sengaja saling temu pandang! Lalu menoleh lagi. Tapi tak lama waktu berselang Mamanya Randi keluar dari balik pintu, memperhatikanku sebentar dengan seksama lalu membuka suara. Dapat kulihat dari raut wajahnya yang masih tetap sama seperti sebelumnya.
"Kamu!" Mama Randi menatap tajam padaku.
Aku menelan ludahku dan sontak berdiri dari dudukku.
"Apa yang sebenarnya sudah terjadi? Mengapa Eliza tidak mengatakan apapun pada saya?"
Pertanyaan wanita separuh baya ini seolah langsung menusuk ke dalam kepalaku, membuatku tak mampu memikirkan jawaban yang setidaknya dapat meringankan rasa curiganya padaku. Aku menoleh ke arah Randi. Hanya sedikit, aku tak berani memalingkan wajahku dari wanita yang sejak tadi memasang wajah masam padaku.
"Liza hampir tertabrak mobil tadi malam, dan Nila yang menyelamatkan Liza. Karena hujan deras, jadi Liza menginap di rumah Nila," jelas Randi berbohong. Dia memandangku.
Aku hanya terdiam dengan mulut yang sama sekali tidak kubuka sedari tadi. Apa memang harus seperti inikah untuk menyelesaikan persoalan ini?