Hujan mulai teduh dan tidak selebat tadi. Nurul dan Tika masih dengan sibuknya menari di bawah hujan, sedangkan aku sudah mulai menggosok-gosokkan lenganku menahan dingin. Dari sebelah sana terdengar suara siulan, aku menoleh dan melihat pria itu. Berdiri bersandar di tiang memandang teduh kami bertiga, menyilangkan tangannya, dan menghentikan siulannya ketika menyadari aku memandang ke arahnya.
Randi tersenyum kecut balas memandangku. Hujan masih mengguyur wajah manisku. Mataku mengerjab-ngerjab memandangnya, menahan tetesan air masuk ke mata. Hanya dia yang masih dengan tahannya memperhatikan kami yang sedang basah-basahan. Sedangkan murid-murid lain sudah mulai bosan menunggu hujan reda, memainkan ponsel mereka, mengaktifkan mode pesawat, dan tertawa bersama teman di sebelahnya. Dan dia dengan wajah lebam tampannya itu, menolehkan wajahnya ke arah parkiran seolah sedang menunjuk sesuatu.
Aku dengan wajah tak mengerti, mencoba mengabaikannya dan membantu berdiri Tika yang baru saja mengaduh karena terpeleset saat sedang melompat-lompat di atas genangan air. Membawanya berteduh bersama Nurul.
"Aduh duh duh.... Sakit Sar!" Rintih kesakitan Tika terdengar melengking. Tidak ada lagi bunyi hujan jatuh ke genteng sekolah yang dapat meredam suara nyaring Tika. Hujan telah reda.
"Tahan sedikit!" Perintah Ceasar, yang sedang berusaha mengobati kaki Tika yang keseleo.
Ceasar adalah teman sekelas kami, anggota klub basket sekolah. Orang teraneh yang pernah aku kenal selain Tika, meski sebenarnya dia adalah orang yang sangat rasional. Dan dia adalah teman dekatnya Randi.
"Emang lo bisa ngobatin Sar?" Tanya Randi.
"Gak tahu juga." Cengir Ceasar.
"Tapi ini tuh sakit banget Sar!" Teriak Tika.
"Ya sudah bawa ke rumah sakit aja."
"Tapi nanti di rumah sakit diapain?"
"Diamputasi! Supaya sakitnya hilang dan gak menyebar ke organ tubuh lain!" Ujar Ceasar dengan nada tinggi.
"Gila lo?"
"Ya enggak lah! Waras gue masih. Sudah pergi sana berobat, biar kaki lo sembuh."
"Gue gak bawa mobil, mobil gue lagi di bengkel."
"Naik taksi aja Tik, gue sama Nurul bisa nemenin lo kok!" Saranku.
Nurul mengengguk cepat, mengiyakan.
"Gue anterin langsung aja ke rumah sakit, searah juga kok," tawar Ceasar.
"Ya sudah gue ikut lo," balas Tika. "Kalian berdua pulang duluan aja, gak perlu temenin gue. Si Barbar ini bisa diandalkan kok!"
"Udah dibantuin malah dikatain!" Sewot Ceasar.
"Aku boleh ikut temani kamu gak Tika? Aku mau menjenguk seseorang juga di rumah sakit," pinta Nurul.
"Ya sudah lo ikut. Nila lo pulang duluan aja! Jangan sakit, kalau lo sakit besok gue nyontek sama siapa?"
Aku menyeringai. "Memangnya kapan gue pernah kasih lo contekan?"
"Emm... gak pernah sih kayaknya. Tapi tetap aja jangan sakit!"
"Gak perlu mikirin gue, lo yang harus sembuh dulu!" Ujarku.
"Heee... Nila lo kok baik banget sama gue." Tika hampir menangis.
"Sudah ah, jangan lebay. Makin lama ini!" Sergah Ceasar membuat Tika cemberut.
"Nih pakai!" Ujar Randi sambil menyodorkan jaket padaku, ketika Ceasar sudah melajukan mobilnya meninggalkan gerbang sekolah.
"Buat gue?"
"Iya buat lo, lo pasti kedinginankan?"
"Ya sudah, makasih ya!" Ucapku sembari mengenakan jaketnya.
Tubuh Randi jauh lebih tinggi dariku, mengenakan jaketnya seolah membuatku tenggelam.
"Lo pulang naik apa?" Tanya Randi.
"Jalan kaki," ujarku.
"Ya sudah yuk!" Ajaknya.
"Hah?"
"Tadi gue mau ngajak lo pulang naik mobil gue. Tapi jalan kaki kayaknya seru juga."
"Tapi jaraknya lumayan ja_"