Ckitt...
Mobil itu berhenti mendadak. Bagian kanan tubuhku tersentak, aku sempat menghindar sedikit meski masih terbilang terserempet. Aku berdiri dari jatuhku, meringis menahan sakit pergelangan tangan kiriku yang lecet. Seseorang keluar melalui pintu mobilnya.
"Masih hidup ya?" Ujarnya.
"Yah... sayang banget, padahal gue kan mau lo mati secepatnya!" Lanjut Yana. Ya, wanita gila ini lah yang menabrakku.
"Lo apa-apa sih, lo sengaja?" Tanyaku.
"Enggak kok, gue cuma lewat. Lo aja yang gak hati-hati."
"Gak ada alasan buat gue untuk percaya kata-kata lo!"
"Gue gak perduli lo mau percaya atau gak! Tapi sekarang lo baik-baik aja kan!"
"Lo gak lihat, badan gue penuh luka-luka?!"
"Lo bisa nahan kan? Bukannya sudah ada banyak luka di hidup lo?"
Aku menamparnya, tak bisa kutahan lagi emosi yang sejak tadi berusaha kuredam. Dia terpaku dan menatapku tajam. Dia mengengkat tangannya ingin membalas menamparku, tapi kutangkis dengan tangan kananku. Aku berusaha menahannya, tapi tanganku sakit sekali. Dia menghentikan usahanya untuk membalasku.
"Hah... sejak awal lo memang lebih kuat dari dugaan. Tapi lo gak bisa menghentikan niat gue, lo tahu kan kalau gue itu ambisius? Gue akan wujudkan apapun yang gue mau, sekali pun itu buruk!" Ujarnya. Dia melangkah kembali menuju mobilnya.
"Gue akan lapor polisi!" Ancamku.
Dia membalikkan badah menghadapku, dan tersenyum kecut, "gue tahu lo gak akan melakukan itu, lo terlalu baik Nila! Naif!" Dia memasuki mobilnya dan melaju meninggalkanku.
Sekarang aku baru sadar bahwa lengan kananku sakit sekali sedari tadi. Aku tak menyadarinya karena terlalu emosi meladeni wanita gila itu. Aku menelfon Tika, menceritakan apa yang terjadi, dan memintanya untuk menjemputku. Hanya butuh waktu kurang dari lima menit untukku menangis menahan lenganku yang sakit dan Tika pun tiba, keluar dari mobilnya bersama dengan Nurul.
Tika dan Nurul merangkulku untuk masuk ke mobil dan Tika langsung melajukan mobilnya ke rumah sakit. Di rumah sakit aku diperiksa oleh dokter, Ibuku juga yang sebelumnya sudah ditelefon oleh Tika kemudian tiba di rumah sakit.
Awalnya aku hanya berfikir ini hanya sakit tangan biasa. Tapi setelah hasil MRI keluar menujukkan bahwa tulang pergelangan tanganku retak. Aku pun telah diberi obat untuk meringankan rasa sakit serta dipasangkan gips di lenganku. Butuh waktu berbulan-bulan agar tanganku sembuh, sedangkan untuk beberapa hari ini aku tidak sekolah. Rasa nyeri terus datang dalam tiga hari ini, Ibu dan teman-teman pun jadi repot karena harus merawatku dan menuntut Yana.
Tapi tak banyak hal yang dapat ditebus. Polisi hanya menyatakkan ini sebagai kasus kecelakaan biasa dan surat perdamaian pun diajukan setelah orang tua Yana bersedia menggantikan segala biaya pengobatan di rumah sakit. Tika sedari kemarin tidak terima akan hal itu. Dia terus-terusanya menyatakan bahwa ini adalah sebuah percobaan pembunuhan, mengingat apa yang beberapa hari yang lalu Yana ucapkan.
Dan tentu, tidak ada bukti. Kasus ini memang murni kecelakaan. Hanya saja aku yang harus menahan derita, karena jadi tak bisa melakukan segala hal dengan benar. Untungnya pemilik tempatku bekerja memberikan cuti, hingga bisa bekerja kembali seperti biasanya. Dan untuk saat ini yang menjadi kendala adalah bagaimana aku akan menjalani hari-hariku di sekolah, dan bagaimana dengan nasib tugas kelompok itu.
Sia datang ke rumah sakit tak lama setelah aku diobati di sana. Dan bukannya menjenguk dengan simpati atau setidak mendoakan kesembuhan, dia hanya memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Tapi aku sadar bahwa dia ingin sekali memaki dan mengasihaniku di saat yang bersamaan, apalagi ketika dia tahu bahwa itu adalah perbuatan temannya.
Tapi apa yang kuharapkan? Dia tak lama langsung keluar tanpa pamit, setelah mengatakan dia yang akan menyelesaikan tugas kelompok itu.
"Gimana dong? Sepertinya lo gak bisa berbuat apa-apa dengan keadaan lo sekarang! Terpaksa gue yang harus beresin semuanya!" Ujar Sia yang kemudian langsung keluar.
"Apaan sih?" Ujar Tika.
"Sia itu punya dendam apa dengan kamu Nila? Kayaknya dia benci benget sama kamu," tanya Nurul.
"Paling dia hiri sama Nila. Harusnya dia minta operasi hatinya di sini, supaya dia tahu betapa kotor dan busuk hatinya!" Ujar Tika lagi. Tak lama Tika menoleh padaku yang terbaring di kasur. "Tapi memang kalian punya masalah apa sebelumnya?" Kepo Tika kumat.
Aku menghela nafas pelan.
"Udah ah, gue mau istirahat. Sakitnya masih terasa ini!" Ujarku. Aku menyenderkan kepalaku pada bantal.
"Yah Nila, cerita bentar dong!" Pinta Tika sambil mengguncang-guncang lengan kiriku.
"Apaan sih Tika!" Bentakku pelan.