Aku berdiri mematung di depan ruang kesenian, menduga-duga sebentar apa yang akan dikatakan pak Damar padaku. Lalu melangkah masuk dengan cukup berani. Ruangan meter ini lenggang, sunyi, dan khidmat dengan seorang guru kesenian yang sedang membaca buku kumpulan pantun melayu lawas.
"Permisi Pak," sapaku sopan.
"Eh iya Nila!" Panggil pak Damar.
"Tadi katanya Bapak mencari saya, ada apa ya Pak?"
"Begini Nila. Ada lomba kesenian yang digelar setiap tahunnya sekabupaten-kota. Dan dari yang Bapak lihat, dari seluruh murid kelas sebelas yang paling berbakat melukis itu adalah kamu. Kamu bisakan mewakilkan sekolah kita untuk lomba melukis?"
"Kapan lombanya akan diadakan Pak?"
"Kalau gak salah 18 november nanti."
"Sebulan lagi dong Pak."
"Yah, lebih-kurang sebulanlah. Tapi apa tangan kamu bisa kembali seperti semula dalam sebulan ini? Bapak dengar dari guru keterampilan, hasil menggambar kamu tidak sebagus biasanya."
Aku menundukkan kepalaku sambil menutup mata, berusa mengontrol perasaan sedih dan marahku. "Soal itu saya belum tahu pak. Tapi saya akan segera memberitahukan Bapak, soal apakah saya akan mengambil lomba itu atau tidak."
"Bapak harap kamu mengambil lomba ini. Jika kamu menang, bukan cuma penghargaan yang kamu terima, tapi juga uang cash yang lumayah banyak. Tapi jika kamu tidak mengambil lomba ini, sepertinya Meisia yang akan menggantikanmu."
"Saya akan pikirkan lagi. Saya permisi Pak." Aku keluar dari ruangan itu dengan perasaan kalut sekali.
Haah... Aku mendengus untuk keberapa kalinya hari ini. Aku menatap tangan kananku yang dipasangkan gips. Jujur, aku selalu menantikan kesempatan untuk mengikuti lomba itu. Mengingat karena aku senang sekali melukis, dan aku juga mengharapkan uangnya untuk tambahan tabunganku. Tapi sepertinya kesempatan itu akan buyar seketika. Aku juga tidak yakin apakah, aku dapat melukis dengan baik dalam waktu sebulan ini. Karena pastinya, aku tak bisa menggunakan tangan kananku.
Awalnya aku berusaha semangat menjalani hariku meski dengan kondisi begini. Tapi sekarang semangatku langsung menciut, aku bahkan menjadi banyak mengeluh. Padahal tadi pagi Ibu berpesan padaku.
"Kita sudah pernah mendapatkan musibah yang mengejutkan, yang membuat kita kehilangan segala yang kita punya. Meski awalnya sulit, tapi kita bisa menghadapi dengan sabar. Jadi percayalah Nila, kamu bisa melaluinya!" Ujar Ibu memberiku semangat.
Huft... Aku tak bisa berfikir jernih. Omongan Ibu serasa omong kosong di kepalaku sekarang. Aku ingin cepat kembali ke kelas, dan menghabiskan waktu istirahat ini dengan tidur.
Rasanya baru kurang dari sepuluh menit, aku merebahkan kepalaku di meja beralaskan lengan, mencoba untuk tidur. Seseorang datang dan menumpahkan sesuatu yang dingin ke kepalaku. Sontak aku bangun mendadak, rambut basah oleh minuman dingin yang ditumpahkan Sia. Dia tidak datang sendirian, tetapi bersama Rara dan Yana.
Kelas saat ini sepi, dan hanya ada kami berempat di sini. Jam istirahat siang belum berakhir, banyak murid-murid menghabiskan istirahat siangnya di kantin. Sebelumnya Tika dan Nurul mengajakku untuk makan siang di kantin, dan aku hanya beralasan tidak selera makan agar bisa tidur untuk menenangkan pikiranku yang kalut.
Tapi sungguh malang nasibku harus berurusan dengan orang-orang ini, di saat santaiku.
Aku menatap tajam ke arah Sia.
"Ngapain lo natap gue begitu?" Sia memalingkan wajah dariku sambil menyilangkan tangannya, "gue sudah dengar dari Pak Damar. Bisa gak lo gak ikut lomba itu? Lagi pula dengan keadaan lo sekarang, lo cuma bisa mengacau!"
"Gue belum memutuskan soal itu, dan lo gak punya hak untuk mempengaruhi atau memerintah gue!" Ucapku kasar.
"Ya ampun, gak tahu diri banget sih! Lo pikir lo bisa apa?" Tambah Rara.
"Lo harus berterima kasih sama gue Sia, karena gue sudah bikin anak ini cacat!" Sambar Yana dengan lagak sombongnya.
"Jelas dong Yan. Gue berterima kasih banyak, karena lo sudah bikin si bus*k ini jadi cacat! Nanti malam kita ngumpul, gue akan traktir apapun yang lo pesan!" Ujar Sia. Dia tersenyum manis di hadapan temannya itu.
"Assik..." Respon Yana.