Randi hanya diam, tidak menanggapi ucapanya Papanya. Rahangnya mengeras, tatapan matanya tetap ke bawah.
"Papa gak tahu bagaimana Mama-mu mengurus kalian selama Papa tidak di sini. Ini baru hari kedua Papa di sini, dan kamu sudah berbuat masalah. Apa pentingnya catatan prestasi, jika kelakuanmu buruk di sekolah. Jangan mengacaukan nama baik keluarga kita! Hukuman sama sekali tidak cocok bagi kita, cepat selesaikan ini dan jangan berbuat ulah lagi. Mengerti?"
"Baik Pa!" Jawab Randi pelan.
"Urus wajahmu itu, kamu pasti sudah besar hingga bisa membuat hancur wajah anak itu. Jangan sampai aset berhargamu itu hancur hanya karena hal sepele. Besok malam kita akan menghadiri acara jamuan makan direktur perusahaan JW. Berpenampilanlah sebaik mungkin, jangan sampai ada yang mempertanyakan soal wajah lebammu itu!"
"Baik Pa," jawab Randi lagi, singkat.
"Pulanglah ke rumah setelah menyelesaikan hukumanmu itu. Papa akan terlambat pulang, malam ini ada meeting dengan klien penting," tambah Papa Randi.
Randi hanya mengengguk sekali.
"Papa pergi dulu!"
Sebelum pria paruh baya itu melenggang keluar dari ruangan. Aku segera pergi menjauh, kembali ke kelasku, menyelesaikan tugas piket kelasku yang sempat tertunda.
"Nila, lo masih di sini?" Tanya Tika yang baru saja tiba di kelas.
"Iya," jawabku singkat. Aku saat ini sedang membersihkan papan tulis.
Tika masuk dan langsung merebahkan tubuhnya ke atas kursi.
"Lo dari mana aja tadi?" Tanyaku memecah hening. Rasanya aneh jika hanya berdiam-diaman dengan Tika yang sangat berisik ini.
"Gue sama Ceasar disuruh nyiram kebon tadi sama Bu Keke, capek!" Ujarnya.
"Lagian siapa suruh nguping?" Tambahku.
Tika memperbaiki posisi duduknya. Pertanda bahwa dia akan berbicara serius.
"Tadi gue nanya sama Bu Keke, soal perkelahian Randi. Bu Keke bilang kalau Randi dihukum membersihkan seluruh toilet laki-laki di sekolah selama seminggu!" Ujar Tika.
"Terus orang yang berkelahi dengan Randi- dia gak dihukum?"
"Korban mah bakal dirawat di rumah selama dua minggu! Mukanya parah, hancur banget!" Jelas Tika.
"Oh..." liruhku pelan.
Sadar betapa mengerikannya pukulan Randi. Sepertinya benar Randi adalah orang yang dibicarakan dua orang pria sebaya di apotek itu.
"Udah ah, gue pulang duluan ya. sudah sore soalnya." Tika beranjak keluar sambil melambaikan tangannya padaku.
"Iya...."
Aku bergegas menyelesaikan tugas piket kelasku, setengah berlari menuju kantin, membeli sebotol air mineral dingin, kemudian berlari lagi mengitari seluruh sekolah, memeriksa setiap toilet laki-laki dari masing-masing lantai. Sekolah kami memiliki tiga lantai, dengan dua toilet masing-masing di timur dan barat sekolah untuk setiap lantai. Jadi total toilet yang harus dibersihkan Randi adalah enam toilet.
Lift sekolah tentu dapat digunakan. Hanya saja lift tidak bergerak naik ke atap, karena itu kemarin kami harus menaiki tangga untuk ke atap. Aku telah memeriksa setiap toilet dan Randi tidak ada di sana, sedangkan toilet sudah sangat bersih. Toilet sekolah memang selalu terjaga kebersihannya, jarang ada yang berusaha mengotorinya. Dan tidak perlu susah payah untuk membersihkannya.
Aku mencoba naik ke atap. Benar saja Randi ada di sini.
Brakk...
Aku membanting pintu, mencoba mengejutkannya seperti yang kemarin dia lakukan.
Randi menoleh ke arahku. "Lo kenapa di sini?"
"Mau?" Tanyaku. Tetap di tempat, di depan pintu sambil menyodorkan tangan menunjukkan minuman yang digenggam tangan kiriku. Karena tangan kananku masih digips.
Randi tersenyum. Begitu pula denganku. Aku mendekatinya menyerahkan botol ini, Randi menerimanya.
"Kayaknya lo sudah tahu soal perkelahian gue tadi." Randi memutar tutup botol.
"Gue bahkan tahu lo dihukum membersihkan seluruh toilet laki-laki dalam seminggu ke depan!"