"Tunggu gue di atap!"
Itu lah yang dikatakan Randi padaku, saat makan siang di kantin tadi. Nurul sudah pulang bersama dengan Brian, dan Tika pun langsung bergegas pulang setelah semuanya barang dagangannya ludes. Aku menyandarkan kepala ke kursi yang ada di atap sambil menatap kembali hiruk-pikuk kota.
Aku menoleh ke arah pintu ketika suara langkah kaki terdengar. Randi datang mendekat.
"Yuk!" Ajaknya.
"Ke mana?" Tanyaku.
"Ketemu dokter gue."
"Buat apa?"
"Buat apa lagi."
Aku terdiam sejenak, "soal tangan gue?"
"Yuk, jam praktek dokter gue satu jam lagi selesai," Randi menarik tanganku, masuk kembali ke dalam gedung sekolah, menuruni tangga.
"Tunggu!" Aku menghentikan langkahku, menahan dia agar tak menarik tanganku lagi.
"Kenapa?"
"Gue takut, lo tiba-tiba ngajak ke dokter!"
Randi tersenyum, "kenapa, takut disuntik ya?" Tanyanya mengejek.
"Gak bukan itu masalahnya, kemarin jari-jari tangan gue memang mati rasa, tapi sekarang baik-baik aja kok!"
"Lo yakin, lo baik-baik aja?"
Aku tak menjawab, ragu dan hanya menunduk sambil menggeleng.
"Mending kita periksa aja. Setelah itu kita bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan jari-jari tangan lo."
Aku mengengguk pelan.
Randi kembali menggenggam dan menarik lengan kiriku, terus menuruni tangga, turun ke lantai dasar menggunakan lift, lantas bergegas masuk ke mobilnya ketika tiba di tempat parkir dan melaju menuju rumah sakit.
Aku berupaya keras untuk dapat menggenggam atau hanya sekedar memegang sebuah pencil yang diberikan padaku. Dan kejutan, setelah berhasil memegangnya aku justru menjatuhkannya.
"Kita harus melakukan X-ray, untuk mengetahui apakah ada saraf yang tertekan di pergelangan tanganmu. Hal ini sangat wajar terjadi pada penderita tulang retak yang membengkak, apalagi bila itu wanita," ujar dokter muda bernama Farzani ini. Dia tersenyum manis padaku.
Melihat senyumnya membuat rasa takutku hilang seketika.
"Jadi jangan terlalu khawatir, sebelum pemeriksaan dan hasil X-ray nya dapat kita lihat!" Tambahnya lagi dengan senyum yang lebih menawan.
Aku balas tersenyum, sejak masuk ke ruangan ini aku sama sekali tidak khawatir lagi.
"Lalu, jika hasilnya telah dapat dilihat, kami harus khawatir begitu?" Tanya Randi kasar.
Aku langsung melirik padanya- kesal, mengapa dia berkata kasar begitu dengan dokter tampan ini. Tapi sebelum raut wajahku berubah kesal, Randi telah terlihat kesal duluan saat melihatku membalas senyum dokter ini. Lantas aku harus bagaimana? Bukankah tidak etis jika memasang wajah masam di saat dia tersenyum padaku.
Dokter itu tersenyum pada Randi. "Tergantung apa diagnosa dan tingkat keparahan gejalanya."
Aku memandang kembali dokter muda itu, tapi dengan raut wajah serius.
Dadaku berdebar kencang sekali ketika dokter ini memeriksa hasil X-rayku. Wajahnya masih ramah sambil sesekali tersenyum melirikku.
"Lihat ini, ini adalah saraf median. Saraf ini berfungsi untuk mengendalikan otot jari tangan dan menerima rangsangan dari kulit di daerah tangan. Saraf ini berada di dalam lorong karpal di pergelangan tangan. Karena pembengkakan jaringan di sekitar tulang yang retak, menyababkan lorong ini mengalami penyempitan," jelas dokter Farza.
"Itu artinya Dok?" Tanya Randi memotong.
"Carpal tunnel syndrome atau sindrom lorong karpal. Biasanya dalam beberapa bulan sindrom ini akan sembuh dengan sendirinya, tanpa pengobatan khusus. Tapi jika diperlukan dapat mengkonsumsi obat antiinflamasi nonsteroid, untuk meredakan rasa nyerinya. Apa kamu merasakan nyeri di sekitar pergelangan tanganmu?"
"Tadi malam, saya merasakan nyeri yang hebat di pergelangan tangan saya Dok," ujarku memberitahu.