Aku berlari terburu-buru, seketika setelah turun dari dalam bus. Melirik jam di handphone genggamku, pertandingan sebentar lagi dimulai. Satu bulan telah berlalu setelah pesan chat malam itu, dan hari ini adalah final pertandingan. Aku telah berjanji padanya akan datang hari ini.
Tapi bukan hanya aku yang sedang berlari terburu-buru menuju gedung olahraga tepat lima belas meter di depan kami. Tika dan Nurul ternyata menyusul di belakangku, dan aku tak tahu itu sebelumnya. Saat bel pulang sekolah berbunyi, aku langsung pergi tanpa memberitahukan mereka akan ke mana.
Nurul terlihat semangat sekali berlari. Siapa sangka jika musuh bebuyutannya itu adalah pacarnya Nurul. Ya, Nurul dan Brian kembali menjalin hubungan. Sedangkan Tika bahkan tidak tahu untuk apa dia berada di sini. Tetapi wajahnya langsung bersemu merah, ketika matanya tak sengaja bertemu dengan mata Ceasar yang sedang bertanding di lapangan.
Pertandingan telah dimulai sejak delapan menit yang lalu. Dari tribun mataku menyisiri seluruh lapangan mencari dia. Tidak sulit untuk menemukannya, ketika dia berhasil mencetak poin disusul oleh teriakan dari murid-murid perempuan yang memberikannya dukungan.
Dia tersenyum senang di bawah sana, kemudian menyisiri seluruh bagian tribun. Ternyata dia juga mencariku. Aku tersenyum manis ketika dia menemukanku, mata tajamnya langsung berbinar dengan senyum mengembangnya.
Pertandingan terus berlangsung. Nurul cemberut di tempat duduknya. Tim Brian bukanlah tandingannya. Dan itu membuatku bingung, mengapa dulu dia begitu khawatir. Sebelum aku mengetahui rencana yang telah disusun dokter Farza sedemikian rupa sejak lama, tetapi selalu gagal, karena mereka berdua keras kepala sekali.
Randi terlihat mengagumkan sekali di sana, sekarang aku sadar mengapa ia begitu populer. Tetapi melihat murid-murid perempuan ini terus meneriaki namanya, membuatku sedikit kesal. Mereka berteriak tepat di samping daun telingaku, membuatnya menjadi sedikit berdengung. Begitu pula dengan Tika, dia membuat telingaku menjadi benar-benar berdengung dengan teriakan mautnya. Orang yang diteriaki langsung menoleh ke arahnya, Ceasar hanya memasang raut wajah keheranan. Berbeda dengan Nurul, dia tak sesemangat tadi lagi, Brian sama sekali tak meliriknya.
"Nila!" panggil Randi sambil mendekat ke arahku.
Pertandingan telah usai, dengan kemenangan yang tentunya diperoleh oleh tim Randi.
"Selama atas kemenangannya ya Ndi!" ucapku, kemudian mengulurkan tangan.
Aku sudah tak perlu memakai gips sekarang, dan gejala sindromku-pun mulai berkurang.
Randi tersenyum, menyalamiku. "Thanks!"
"Gua gak tahu kalau lo bakal nyamperin fans lo setelah selesai pertandingan. Lo beruntung karena menang, lo gak akan menemui mereka kalau lo kalah kan?" ujar Brian yang datang tiba-tiba.
"Kemenangan gue bukan keberuntungan. Justru sebuah mukjizat lo bisa sportif dan gak berlaku curang seperti biasanya," sindir Randi.
"Sebenernya gue berencana curang, tapi Si tua itu bersedia membanting gue kalau ketahuan curang."
"Gue pikir justru Si sok smart itu yang merencanakan kecurangan lo."
"Dia gak membantu sama sekali."
Tunggu, apa mereka sedang membicarakan dokter Farza?
"Sepertinya hanya dengan menjelek-jelakkan dia, kita bisa akur berbicara," tambah Brian.
"Selain itu, bukannya kita gak punya hal yang perlu dibicarakan baik-baik," balas Randi.
"Heeh, lo benar!"
"Terus kalau sudah tahu, kenapa masih di sini? Pergi lo sana!" usir Randi.
"Heh, santai dong! Lo pikir lo doang yang punya fans cewek? Tuh fans gue nungguin." Brian menunjuk kerumunan siswi-siswi SMA.
"Ya sana pergi, temui mereka dengan membawa kekalahan lo!"
Brian melangkah pergi dengan tatapan tajam yang masih ditujukan pada Randi.
Aku diam dan hanya menatap Randi.
"Kenapa?" tanya Randi.
Aku tersenyum manis, lantas menggeleng.
Randi salah tingkah, senyumnya mengembang.
"Sayang!" panggil seorang wanita sebaya.
Tidak dia tidak memanggil Randi, tapi seorang pria yang berada tak jauh dari kami. Aku menoleh memperhatikan mereka yang sudah saling berhadap-hadapan.
"Siapa?" tanyaku pada Randi.
"Pacar Ceasar!" jawab Randi.
"Hah, Ceasar punya pacar?" tanyaku tidak tahu.
"Iya, dia adik kelas. Mereka sudah pacaran semenjak orientasi," jelas Randi.
Aku membalikkan badanku memandang Tika yang sedari tadi berdiri di depan pintu masuk gedung olahraga. Wajahnya terlihat syok. Aku menutup mata dan menunduk lesu. Baru kemarin Tika menceritakan padaku dan Nurul jika dia merasakan sesuatu yang berbeda dengan Ceasar. Ini adalah pertama kalinya bagi Tika.
Sebenarnya dalam sebulan ini, banyak hal yang terjadi. Hal-hal yang tak disadari dapat menumbuhkan benih di hatinya menjadi tumbuh dengan indah, sedikit lagi benih itu akan bermekaran dengan mempesona, tetapi sepertinya sekarang benih itu menyakitinya.
Tika menunduk sebentar, tapi seketika kemudian senyumnya mengembang, dia berjalan mendekati Nurul dan Brian yang sedang berbincang, mengganggu pasangan yang baru saja berbaikan. Tika yang malang, dia berusaha menyembunyikan rasa sedihnya dengan tawa palsu yang keras.