Aku kembali menjalai aktifitasku seperti biasa. Berangkat ke sekolah, pulang, berangkat bekerja, lalu pulang lagi dan belajar. Ibu telah keluar dari rumah sakit kemarin sore. Sedangkan Randi kembali menghilang. Entahlah aku tak tahu apakah dia ada perjalanan bisnis bersama Papanya lagi atau tidak.
Tapi sejauh ini semua berjalan normal, lebih normal dari kehidupanku selama enam belas bulan sejak masuk ke sekolah ini. Sia, Yana dan Rara, tidak menggangguku lagi. Juga kisah romansa Nurul dan Brian berjalan mulus. Brian benar-benar trauma untuk menduakan Nurul, mentigakan atau malah lebih dari itu. Dan Tika tak menyerah sampai di situ, dia terus menempeli Ceasar. Meski begitu dia dengan percayadiri berkata bahwa ia hanya akan fokus belajar. Dan aku tak mempercayainya. Buktinya sekarang meski sedang di perpustakaan membaca buku, dia hanya terfokus pada Ceasar yang sedang berpacaran di perpus. Berencana hendak menggacau, tapi petugas perpus lebih dulu datang memergoki pasangan itu.
Tuk tuk tuk tuk...
Aku sedang sibuk mengetik di tempat kerja. Bosku baik sekali karena memberikanku cuti ketika sakit. Setidaknya aku tidak kehilangan pekerjaanku. Tapi itu karena memang sedang tidak banyak orang yang meminta naskahnya diketikkan di sini. Tugasku bahkan lebih sedikit dari biasanya. Pukul 08:34, semua pekerjaanku telah selesai, aku sudah boleh pulang sekarang.
Setelah berpamitan dengan bos dan pegawai lain, aku beranjak keluar dari tempat yang penuh dengan komputer dengan masing-masingnya sudah diisi oleh pengunjung, bahkan ada yang antri menunggu giliran menggunakan komputer. Aku memasukkan telapak tanganku ke dalam kantong jaket, hujan masih turun sejak tadi, tidak terlalu lebat.
Sebuah mobil sedan hitam yang tak ku-ketahui nama dan jenisnya tepat terparkir di depanku. Aku dengan wajah masam menatap mobil itu, mobil ini menghalangi pintu masuk. Meski terbuka lebar, tetap saja memarkirkan mobil melintang begini menghalangi pintu masuk, padahal tempat memberikan jasa fotocopy ini memiliki halaman yang luas untuk tempat parkir, dan sekarang masih lenggang.
Tak butuh waktu yang lama, seseorang keluar dari dalamnya. Aku memandang heran, ada perlu apa Brian ke sini. Tidak mungkin untuk mempotocopy buku paket teman, agar lebih murah dibanding membelikan? Dia anak seorang pengusaha, di kantor ayahnya pasti banyak alat fotocopy. Bukan! Mungkin saja di kamarnya sudah beberapakali ganti alat fotocopy, mengantinya sesuai tren dan brand terkenal. Tapi apa gunanya juga mengoleksi alat fotocopy? Bukankah lebih masuk akal jika ia mengoleksi boneka stitch, atau mengoleksi barang-barang peninggalan mantannya yang bahkan tidak cukup jari. Aku memikirkan apa sih tadi!
Brin mendekat, "lo Nila kan?" Tanyanya.
"Iya, ada perlu apa?" Tanyaku balik.
"Gue utusan Dokter Farzani. Lo diminta untuk ketemu dia, ada hal penting yang mau dia bicarakan."
"Hal penting apa?" Aku sedikit gugup.
"Mana gue tahu, lagian nomer handphone lo kenapa gak aktif? Gue jadi repot-repot jemput lo."
Aku memeriksa ponselku, benar saja ponselku kehabisan baterai. "Handphone gue mati!"
"Ya udah, gue antar lo ke rumah sakit sekarang."
"Ya udah."
Aku masuk ke dalam mobil Brian. Brian langsung melajukan mobilnya meninggalkan halaman tempat kerjaku, menembus hujan.
"Lo tahu dari mana gue kerja di tempat tadi?" Tanyaku memecah keheningan yang sudah berlangsung kurang lebih sepuluh menit.
"Dari Nurul Hikmah," jawab Brian.
"Oh...."
"Lo teman sekelas Nurul di sekolah barunya ya?"
"Sahabat! Gue sahabatnya."
Brian langsung menoleh ke arahku, yang sedari tadi hanya fokus pada jalanan padat di depannya. Hujan sudah mulai teduh.
"Berarti lo tahu dong?" Tanyanya sedikit ragu.
"Apanya?" Tanyaku pura-pura tak mengerti.
Aku tahu sekali, jika dia sedang menyinggung soal bazar dadakan Tika itu.
"Bazar itu ide lo ya?" Tanyanya langsung.
"Bukan kok, Nurul sendiri yang mau!"
Kami sebelumnya sudah sepakat bila nanti Brian mempertanyakan hal ini, kami akan kompak menjawab atas kehendak Nurul sendiri. Karena jika tidak, bagaimana bisa kami bertanggung jawab dengan barang-barang mahal pemberian Brian yang kami jual super murah. Bisa-bisa kartu kredit Tika langsung kering kelontang untuk menggantikan barang-barang itu.
Ponsel Brian berdering, dia mengangkat telphone dari seberang sana.
"Iya, ada apa De?" Tanya Brian membuka percakapan telephone itu.
"LAGI?" Teriak Brian membuatku terkejut, dia memijat pelipisnya.
"Sudah gue bilang, jangan biarin tuh anak main lebih lama dari tiga jam!"
Dia terdiam sebentar mendengarkan.