Untuk kedua kalinya setelah tiga tahun berlalu, kejadian itu.
Aku Nila, Nila az-zahra. Murid tahun ajaran kedua di SMP luar biasa ini. Luar biasa susah dimasuki, dan luar biasa mahalnya. Aku hanyalah siswi biasa, dari kalangan menengah ke bawah di antara ratusan murid kalangan atas. Mendapatkan beasiswa untuk bisa ikut belajar di sekolah elite tentu sangat kusyukuri, setelah tragedi penembakan itu terjadi, yang menewaskan ayahku.
Aku tak akan menceritakan kisah teror mengenaskan yang dialami keluargaku beberapa tahun yang lalu itu. Aku hanya akan bercerita tentang bagaimana kakiku melangkah berirama menuju kelas, setelah kenyang makan di kantin tadi.
Dan irama itu terhenti paksa, berdiri terpaku memandang bangku di pojok kiri paling depan. Mulutku terbuka lebar, bersiap berseru.
"Ini apaan-apaan sih?" Tegurku.
"Aduh, gue lagi cari buku pr matematika gue. Di mana ya?" Dia terus saja membongkar dan mengacak-acak buku-buku milikku di laci meja.
"Lo yakin bawa?" Tanyaku memastikan.
"Yakin, tadi ada kok! Gimana dong nih, jam masuk sebentar lagi akan mulai!" Dia mengeluh.
"Ya sudah deh gue, gue bantu cariin!" Aku membantunya memeriksa kembali setiap buku yang telah diserakkannya di atas meja.
Seseorang menepuk pundaknya.
"Pinjam buku latihan gue aja, lo bisa salin jawabannya ke buku lo yang lain untuk sekali ini!" Teman itu menyodorkan buku latihan matematikanya.
"Serius?" Dia menyambut buku itu, "makasih! Lo baik bangat Yana!"
Teman yang bernama lengkap Yana Yuliana itu hanya membalasnya dengan tersenyum, sembari melangkah pergi menjauh dari kami dengan tatapan sinis ketika melihatku.
"Nila tolong lo beresin ya! Gue mau buru-buru nyalin sebelum guru galak itu masuk!" Pintanya.
"Iya iya!" Balasku.
Aku sibuk merapikan kembali buku-buku ini dan memasukkannya ke dalam laci meja. Sedangkan dia sedang kocar-kacir menyalin jawaban pr matematikanya. Meski begitu, pikiranku tak lepas dari orang yang sinis menatapku tadi. Dia selalu saja begitu, aku tidak pernah berbuat masalah dengannya, bahkan tidak satu pun dari seluruh siswa-siswi di sekolah ini.
Ada tiga hal yang kubenci di sekolah ini: makan enak sendiri, berjalan sendiri, dan duduk di pojokan sendiri, seperti saat ini. Jam kosong lagi, aku sama sekali tidak menikmati jam kosong. Teman-teman yang lain sibuk berkeliaran di luar kelas. Ada yang ke kantin, ke perpustakaan, atau hanya sekedar bermain dan bergurau dengan teman-teman yang lain.
Aku tidak suka ke perpustakaan, karena akan sama saja: duduk di pojokan, sendirian. Memandang lurus buku paket IPA. Hanya memandang, aku tak berselera sama sekali untuk membaca. Aku mimicingkan mata ke samping. Yana sedang berseru sedikit marah, dengan teman-teman yang tetap tidak mengerti ketika diajarinya mengenai pyhtagoras.
Tetapi sesaat kemudian mereka kompak tertawa bersama, ketika salah seorang temannya berkata bahwa dia kelaparan dan malah memikirkan bentuk segitiga siku-siku sebagai potongan pizza selama Yana menjelaskan. Seorang teman itu Tasya Yantana. Yap, teman sebangku-ku.
Asik sekali. Aku ingin sekali bergabung. Tetapi kembali lagi si Yana itu menatap sinis ketika menyadari sedari tadi aku memperhatikan kegiatan mereka. Aku langsung memalingkan wajahku lanjut membaca.
"Rajin banget belajar La, pantas sih juara dua di kelas!" Ucap Yana. Dia tersenyum manis padaku.
Aku tak membalas ocehannya, hanya balas dengan senyuman yang lebih manis darinya. Apa yang dia pikirkan? Apa dia hendak menyombongkan ranking pertamanya? Percuma saja, aku akan melampauimu!
"Wah, Nila sudah belajar sampai bab itu! Itu kan materi semester genap!" Ujar seorang teman.
"Gak perlu kaget, dia bahkan sudah menguasai seluruh materi semester ini. Mungkin sebentar lagi dia akan menguasai bab yang dibacanya itu!" Jelas Tasya.
"Lo duduk sebangku dengan Nila, tapi kenapa lo gak ikut ketularan pintarnya Sya?" Ejek seorang teman.
"Ketularan jawabannya pas ulangan matematika aja enggak, apa lagi pintarnya!" Keluh Tasya, "lo juga harus belajar yang rajin Yan, bisa saja semester ini Nila yang jadi ranking pertamanya!"
"Iya lo benar Sya! Gue harus belajar lebih giat lagi!" Balas Yana lirih. Dia tetap tersenyum manis padaku, tapi mata sipitnya yang menutup mengisyaratkan bahwa dia sangat tidak suka itu.
Aku tak memperdulikannya, hanya kembali pada rentetan paragraf di hadapanku ini. Tentu saja, sebentar lagi aku akan menguasai seluruh isi bab ini. Aku punya ingatan yang bagus sekali, bukan hal sulit untuk mengingat setiap kata di buku ini. Tapi bukan itu intinya, aku harus dapat memahaminya dalam waktu singkat. Dan itulah kelebihan Yana, berikan saja soal matematika dengan tingkat kesulitan tinggi padanya, terlebih jika itu HOTS, dia akan mengerjakannya dalam waktu kurang dari lima menit, dengan jawaban yang sering kali benar.
Kakiku kembali melangkah berirama, sambil menyenandungkan irama musik dalam hati, hanya untuk mengusir kebosananku ketika berjalan sendiri di lorong sekolah menuju kelas. Pukul 06:30, masih dini sekali untuk melaksanakan upacara di pagi senin yang indah ini. Sekolah masih sepi, hanya ada beberapa siswa yang sibuk membersihkan kelasnya, karena jadwal piket kelas.
Tasya sudah duduk termenung sedari tadi di bangkunya. Dia datang lebih awal dariku, dan itu adalah hal yang tak biasa.
"Tumben sudah datang Sya?" Sapaku sembari menaruh tas.
Tasya tak menjawab sapaanku, dia terus saja termenung.
"Sya! Tasya lo kenapa?" Tanyaku sambil mengguncang-guncangkan bahunya.