Untuk kedua kalinya! Untuk kedua kalinya? Tidak, aku tidak bisa membiarkannya begitu saja! Aku berlari medekat ke tempat Eliza terjun bebas beberapa detik yang lalu. Mendongak ke bawah, dengan diselingi oleh teriakan orang-orang yang menyaksikan di bawah.
Randi menyambutnya? Randi menyambutnya! Tepat di lantai 12 gedung tua ini, dengan menaiki sebuah gondola yang biasa digunakan petugas main-tenance untuk membersihkan jendela kaca gedung. Semua orang bersorak, aku akhirnya dapat bernafas, dan mama Randi tidak jadi pingsan.
Kami bertiga bergegas turun ke lantai dasar, keluar dari gedung, untuk memastikan mereka baik-baik saja, tanpa sempat sedetik pun berkenalan ataupun sekedar tanya-jawab dengan orang tua Randi. Seperti: mengapa bisa ada aku di sini?
Mereka baik-baik saja, bahkan sangat baik. Bukannya menangis ketakutan, Eliza malah menertawakan wajah cemasku.
"Eliza!" Teriak mama dan papanya bersamaan.
Mereka yang sejak tadi buru-buru menuruni anak tangga dan berlari keluar gedung, mempercepat lagi langkah kaki mereka. Sampai-sampai mama tersandung karena menginjak gaunnya, dan papanya dengan ceketan membantunya berdiri kemudian memopong istrinya yang kakinya terluka mendekat ke arah anak-anak mereka. Tak tinggal diam, Randi dan Eliza langsung meloncat dan berlari menuju orang tua mereka. Mereka berpelukan, dengan tangisan yang keluar dari mata mereka. Tidak dengan Randi, dia berusaha keras agar tidak menangis.
Sial, aku merasakan berbagai emosi sekaligus malam ini. Melihat mereka baik-baik saja sekarang, membuatku sangat bahagia. Aku ikut menangis terharu. Tak ada waktu untuk mempertanyakan rasa penasaranku: apa yang sebenarnya yang terjadi tadi? Aku tak tahu pasti berapa lama mereka telah mendekapkan diri masing-masing dalam dunianya. Tapi saat ini aku tahu pasti, sudah lebih dari sepuluh menit mereka saling mendekapkan diri dalam pelukan hangat dan tangisan keluarga itu.
Orang-orang sekitar yang sebelumnya berteriak ngeri ketika Eliza jatuh dari atap tadi, terdiam, beberapa ada yang ikut merasakan harunya, diselingi oleh suara tepuk tangan mereka. Polisi datang, aku tak tahu siapa yang memanggil polisi, tetapi untunglah situasi sudah membaik sekarang. Eliza dan orang tuanya pulang menaiki taksi. Ada enam panggilan tak terjawab dari Tika, aku langsung menghubunginya, menyampaikan bahwa rencana berhasil, meski dengan beberapa kesalahan teknis. Randi berdiri bersandar di mobilnya yang tadi disembunyikan di basstman, menunggu aku untuk diantar pulang.
Aku menutup panggilan, setelah beberapa kali mendengarkan ocehan Tika mengenai kecelakaan itu, dan mengucap pamit padanya. Aku mendekati Randi, berdiri tepat di hadapannya. Dia pastinya mengerti maksud dari tatapanku ini: jelaskan apa yang sebenarnya terjadi!
"Masuk!" Ujar Randi tiba-tiba sembari membuka pintu mobil.
Aku menghembuskan nafas kasar. Benar-benar, aku tahu pasti dia hanya berusaha mengalihkan arah pembicaraan yang ingin aku mulai sebelum pulang. Tapi sepertinya, dia punya rencana yang lebih baik, membahas itu di saat jalan pulang.
Randi melajukan mobilnya. "Lo pasti kaget banget ya tadi?" Randi membuka percakapan.
"Hampir mati gue gak bisa nafas!" Ujarku jengkel.
"Haha... sorry ya!"
"Kalian sengaja?" Teriakku.
Randi menjauhkan sedikit kepalanya. "Gak seru kan kalau gitu-gitu aja, dibikin dramatis sedikit gak apa-apa lah!"
"Hah... tapi kasih tahu gue dong! Gue takut banget tadi tahu! Liat nih tangan gue masih gemetaran!" Aku menunjukkann tangan gemetaran dengan wajah khawatirku.
Randi hanya tertawa melihatku.
"Ih nyeselin banget!" Aku menghembuskan nafas kasar, "gue benar-benar takut loh tadi!" Ujarku dengan suara bergetar. Tangisku pecah.
"Gue..." suaraku tercekat, tubuhku bergetar hebat, "gue benar-benar takut... gue takut melihat kejadian itu lagi... gue takut, gue takut kali ini salah gue... gue takut karena cuma bisa diam... gue takut gue jadi pembunuh... gue_"
Randi menepikan mobilnya, mencengkram bahuku. Mata tajamnya menatap mata berkacaku yang mengalir air dari sana. Randi memelukku.
"Maaf! Gue minta maaf karena gak ngasih tahu lo soal ini! Maaf karena gue mau membuat lo kesal! Gue gak tahu kalau efeknya akan begini ke lo! Ini bukan salah lo, salah gue karena gak ngasih tahu lo!" Ujar Randi lirih.
Tangisku semakin pecah di pelukannya.
Tak lama ketika tangisanku mulai mereda, Randi melepaskan pelukannya, dia menggenggam tanganku.
"Lo gak perlu takut! Lihat!" Mata Randi menoleh ke arah tangannya yang menggenggam tanganku.
Sambil sedikit terisak, aku mengikuti arah matanya.
"Kuatin diri lo! Karena ada gue yang akan selalu mengenggam erat tangan lo, gue di sini buat lo!" Ucap Randi lembut. Dia tersenyum.
Aku sedikit terpesona dibuatnya, namun aku buru-buru melepaskan tanganku, kembali memandang ke depan.
"Lo kenapa?" Tanya Randi.
"Bukan muhrim!" Ujarku pelan, sambil menghapus air mataku.
Randi tertawa, "iya iya maaf! Nih!" Randi menyodorkan kotak tisu padaku.
Aku menyambutnya.
Dengan senyum indahnya yang masih terpampang, Randi kembali melajukan mobilnya.