Setelah kepergiannya yang mendadak itu, waktu berlalu cepat. Tidak ada hal spesial yang terjadi, Tika tetap saja mengejar Ceasar yang masih setia pada pacarnya, Nurul beberapa kali menjual barang-barang pemberian Brian yang kembali pada kebiasaan lamanya: berselingkuh. Aku menjalani hariku dengan baik. Sia, Yana dan Rara tidak pernah lagi menggangguku. Hanya saja, tatapan dingin mereka tak pernah berubah, mereka memperlakukanku seolah tiada. Tapi itu tidak masalah untukku, hanya saja aku harap hubungan pertemananku dan Sia akan membaik suatu hari nanti. Dan Randi hanya sesekali menghubungiku, mungkin karena dia sibuk belajar di sana.
Sepuluh bulan berlalu, kami sudah kelas tiga sekarang. Dan segala ketenangan yang kurasakan telah berakhir, aku kembali lagi di tempat ini.
"Kalau begitu, kita harus mengambil tindakan operasi secepatnya. Saya akan beritahu kamu kapan jadwal operasinya ya!" ujar dokter Farza.
"Baik Dok!" balasku.
Sudah lebih dari dua bulan aku memakain wrist support, gejala yang sama kembali lagi. Kesemutan, sakit, dan mati rasa pada tangan dan jari tangan kananku. Mendengar dari penjelasan dokter Farza dua bulan yang lalu, carpal tunnel syndromeku kembali lagi karena terlalu memaksakan jari-jari tanganku bekerja ketika aku belum benar-benar sembuh. Dan gejalanya tidak berkurang, meski aku mengkonsumsi obat setiap hari, justru perlahan memburuk.
"Kamu tenang saja soal biayanya, akan saya tanggung. Saya masih berutang budi padamu," tambah dokter Farza tidak lupa dengan senyum manisnya itu.
Aku balas tersenyum, "terima kasih dok!"
"Iya. Tapi bagaimana dengan kondisi Ibumu?"
Entahlah, ibu kembali dirawat di sini. Keadaannya memburuk dengan cepat, ibu menjalani kemoterapi suntik. Ibu sudah kehilangan rambut indahnya sekarang. Aku meringis setiap kali melihat rambutnya rontok parah di tanganku ketika aku menyisirkan rambutnya. Aku bahkan menangis setiap kali melihat ibu memuntahkan obatnya, ibu tidak lagi menerima obat-obatan itu. Untungnya aku tidak perlu pusing memikirkan biaya, karena bantuan selalu menyertai ibu.
Mengetahui bahwa aku harus menjalani operasi, ibu memberikanku dukungan. Aku menangis dipelukannya. Siapa yang seharusnya mendukung siapa? Bukankan keadaan ibu jauh lebih mengenaskan dariku. Bertahun-tahun ibu berjuang antara hidup dan mati, tapi bisa sampai sejauh ini? Ibu adalah orang yang paling kuat yang menjadi segalanya bagiku. Melihatnya bertahan keras seperti ini, membuatku berpikir apa jadinya aku tanpanya, jika dia pergi, apa tujuanku lagi berada di dunia ini. Tapi egois namanya, bila aku tetap menginginkannya di sisiku, itu hanya akan membuatnya lebih menderita lagi. Apa aku benar-benar telah membahagiakannya?
Aku mulai memejakan mataku, ketika biusnya mulai bereaksi. Air mataku menetes dari kelopak mataku yang tertutup. Itu tak bisaku tahan, aku terlalu sedih untuk tidak menangis, dan mungkin nanti aku tidak bisa menangis lagi karena saking sedihnya. Aku seolah kehilangan kekuatanku dalam sekejap, seolah ada monster jahat yang menyerap tenaga dan energi positifku. Peri kecil ini sedang melalui hutan terlarang yang mengerikan itu sendirian.
"Maaf, kami sudah melakukan segala cara untuk menolong Ibu Sekar. Tapi tubuh Bu sekar tidak mampu lagi untuk melawan pertumbuhan sel kanker ganas di otaknya. Mampu bertahan hingga selama ini saja, Bu Sekar sudah luar biasa..."
Tidak, aku tidak ingin mendengar penjelasana apapun lagi dari dokter. Lima belas hari? Hanya sedikit itukah waktu yang tersisa untuk kuhabiskan bersama ibu? Lalu apa yang akan kulakukan untuk mengisi sisa waktu ini? Apa yang harus kulakukan setelahnya? Aku harus apa tuhan? Mengapa bagitu sulit bagiku, setiap langkah dalam hidupku mengapa serumit ini? Harus sekuat apa aku, agar tak meratapi semua ini? Aku tersungkur ke lantai, pingsan seketika.
Air mataku sudah kering untuk kembali menangis. Menatap dari jauh, wajah tersenyum malaikatku menatap bunga-bunga indah di taman ini. Tidak, bahkan di saat air mataku telah kering pun, setitik air tetap saja jatuh. Ibu benar-benar menikmati sisa harinya, ia sudah ikhlas akan takdirnya. Aku akan menghabiskan sisa harinya bersamanya, melewatinya dengan baik, berusaha terlihat baik-baik saja. Aku segera menghapus air mataku, berjalan mendekatinya sambil membawa es krim coklat kesukaannya. Ibu suka dengan segala hal berbau coklat. Aku duduk di sampingnya, tersenyum manis sambil memberikan es krimnya. Ibu membalas dengan lebih senang lagi, ia cekatan merampas es krim dari tanganku. Membuatku tertawa kecil.
"Emm... lihat!" ujar ibu yang baru saja menyicipi es krimnya sambil menunjuk pelangi.
"Eh, pelangi?"
"Akhirnya setelah Randi si tampan rupawan itu pergi, kita dapat melihat pelangi lagi. Ibu sudah kangen padahal!" rengek Ibu.
"Ibu...." balasku merengek. Memajukan sidikit bibirku yang belepotan oleh es krim.
"Hah... iya Ibu lupa, mau sekangen apapun Ibu ingin melihat pelangi, tetap saja kamu pasti lebih kangen lagi dengan Si tampan itu!" goda ibu.
Aku tersenyum, "gak apa-apa kok! Aku juga kangen lihat pelangi! Setidaknya Ibu punya kesempatan lagi untuk melihatnya," ujarku lagi.
Ibu tersenyum, mengusap pelan kepalaku, "makasih ya nak!"
Aku balas dengan senyum paling manis.
Usapan pelan tangan ibu di puncak kepalaku berubah menjadi mengacak-acak rambutku hingga berantakan.
"Gemes!" ujar Ibu lirih.
Aku tertawa renyah.
Sehari berlalu, tinggal empat belas lagi waktuku yang tersisa bersama ibu. Malamnya, aku bahkan membuat jadwal kegiatan yang akan kami lakukan dalam empat belas hari ke depan bersama ibu. Ibu tidak terlihat sedih sama sekali, justru terlihat senang karena akhirnya dapat melakukan kegiatan-kegitan yang disukainya setelah selama ini hanya bersemedi di dapur membuat kue.