Hari ke-0, aku duduk termenung di pemakaman, memandang nisan bertuliskan nama ayah. Ibu menaburkan bunga, lantas aku mengikutinya.
“Yah... bentar lagi Ibu nyusul. Ayah tungguin Ibu ya!” ujar ibu sambil berlinang air mata.
“Ibu... heks heks....” Aku menangis.
Ibu menangis, memelukku. “Maafin Ibu Nila, maafin Ibu ya karena gak bisa menemani Nila lebih lama lagi! Maafin Ibu sekiranya belum bisa jadi Ibu yang baik!” Ibu mencium keningku.
“Enggak Bu! Ibu gak ada salah apapun sama Nila, Nila bahagia punya Ibu di sisi Nila selama ini. Nila minta maaf jika Nila belum bisa bahagiakan Ibu, Nila minta maaf kalau Nila pernah kurang ajar sama Ibu, Nila sayang sama Ibu. Ibu segalanya bagi Nila. Maaf karena Nila gak bisa bahagiakan Ibu!”
“Ibu bahagia punya Nila. Anak Ibu satu-satunya. Anak Ibu yang kuat. Kamu selalu membanggakan Ibu nak!”
“Ibu, Nila harus gimana? Kalau Ibu pergi, Nila harus gimana? Ibu gak boleh ninggalin Nila! Nila akan berdoa sama tuhan, agar tuhan gak jadi jemput Ibu, agar tuhan tetap membiarkan Ibu di samping Nila! Nila gak siap kehilangan Ibu... heks.. hekss....”
“Gak ada yang berhak mementukan Ibu pergi atau tidak Nila. Itu sudah ditakdirkan!” Ibu semakin erat memelukku yang semakin histeris menangis.
“Tapi....”
Ibu mengangangkat wajahku, menatapku sendu, memaksakan bibirnya untuk tersenyum.
“Nila janji sama Ibu, Nila akan baik-baik aja kan?” Air mata ibu menetes.
“Hah... bagaimana bisa Nila baik-baik aja Bu?” teriakku pelan.
“Kamu pasti bisa! Kamu adalah anak Ibu yang hebat!”
Itu kata terakhr yang kudengar, sebelum ibu dapat bertahan dua hari lebih lama dari vonis dokter. Bertahan dalam kondisi pingsan, dan hanya menyusul waktu saja. Tepat di minggu pagi, seminggu setelah ke alun-alun. Ibu menghembuskan nafas terakhirnya.
Aku tak menangis, aku terlalu sedih untuk menangis, tak bertenaga untuk menjerit, dan tidak terlalu terkejut untuk pingsan. Memang sudah takdirnya begini aku bisa apa? Hanya ikut mengamini doa yang dibacakan ustad ketika jenazah ibuku selesai dimakamkan tepat di samping makam ayah. Teman-temanku di sampingku, merangkul mencoba menguatkan. Tapi aku tak bisa berpikir jernih sekarang, aku melepaskan rangkulan mereka, beranjak pergi meninggalkan kerumunan yang mulai sepi. Aku ingin sendiri.
***
Namaku Nila, Nila Az-zahra. Aku takkan bercerita tentang diriku yang bisa menjadi yatim-piatu sekarang, bagaimana ayahku pergi, dan bagaimana awal dari kepergian ibuku. Aku hanya akan bercerita tentang bagaimana langkah lunglaiku di malam yang dingin ini. Bintang tak tampak lagi.
“Awan berengs*k! Kau kemana kan bintang indahku hah? Bintang hidupku, di mana kau sembunyikan hah?” teriakku.
Sudah larut malam, aku melangkah di jalan sepi menuju rumahku. Angin kencang, dan guntur terdengar, sebentar lagi akan hujan. Aku berhenti kembali menatap langit, dengan pandangan sayu. Setetes air hujan jatuh mengenai kelopak mataku yang kututup.
“Hah dasar! Lo tahu, kalau gue benci hujan. Tapi lo yang paling tahu kalau gue butuh hujan sekarang!” teriakku lagi pada langit.
Perlahan hujan lebat mengguyurku. Aku berteriak histeris, melawan suara hujan yang jatuh di genteng rumah penduduk.
“LO GILA!” teriak seseorang.
Selalu saja, bodohnya aku. Mengapa berhenti di depan rumah orang sint*ng ini lagi sih.
“BUKANNYA LO YANG GILA?” balasku berteriak melawan suara hujan,