Aku berjalan menyusuri trotoar yang basah sehabis hujan. Aku berbohong, bilang pada Nurul dan Tika, bila ingin pergi ke toko buku. Aku tahu mereka pastinya tidak akan ikut, mengingat seberapa antinya Tika dengan toko buku. Jalanan sore menjelang magrib lenggang, setelah terguyur gerimis sedikit, seragamku basah. Meski membawa payung, tapi aku sama sekali tak menggunakannya. Seperti yang kuracaukan saat mabuk, aku membencinya tapi sangat membutuhkan saat ini. Hujan begitu mewakili hidupku yang malang. Aku duduk menyandar di pagar pembatas trotoar dan jalan raya, menatap langit.
Bisakah langit memberiku sedikit cahaya, malam-malamku terus saja kelam. Tak banyak hanya setitik cahaya saja, agar aku dapat melihatnya di dalam ruang gelapku. Atau aku salah bermohon pada siapa? Tapi bahkan tuhan tidak memberikanku harapan apapun lagi. Pikirku saat ini, sebelum aku sadar bahwa kepada siapa seharusnya aku berharap dan apa tujuanku di sini sebenarnya.
Aku tidak ingin pulang ke rumah penuh kenangan itu di saat sadar begini, tapi aku lupa membawa baju ganti untuk ke club. Sungguh jalan hidup yang malang serta buruk sekali, aku tak menyukainya, tapi aku juga tidak tahu bahwa aku sudah melangkah sejauh ini di jalan itu.
Lamunanku buyar seketika, ketika genangan air di jalan terciprat ke punggung bajuku. Sebuah sedan berwarna merah muda itu melaju, dapat kupastikan siapa pemilik mobil itu. Tentu saja aku yakin, aku tidak akan pernah lupa nomor plat mobil yang sama dengan yang menabrakku. Yang membuat tanganku lumpuh seperti sekarang. Gadis licik itu masih punya dendam padaku ternyata. Yana Yuliana.
Alunan nada yang mengalir ibaratkan air, memecah cakrawala dan mengguncang dunia, sebenarnya bodoh dan sia-sia tapi hanya demi memuaskan batin yang tak pernah merasa puas, lupa akan siapa diri yang sebenarnya dan menolak kenyataan serta kebenaran. Waktu yang sangat berharga berlalu karena sesuatu yang tak ada gunanya, menelantarkan orang-orang di sisi, dan hancur karena kebodohan yang tak bisa dikendalikan karena nafsu. Serasa kembali ke zaman jahilliyah.
Aku menyadari itu justru di saat tidak sadar, dikuasai oleh akal entah siapa pemiliknya. Tapi aku menolaknya, itu karena justru aku ingin lari sebentar dari hiruk-pikuk kehidupanku. Alasan klasik anak remaja yang bahkan belum tahu kerasnya dunia.
Aku memutarkan jari kiriku, di mulut botol. Tentu saja karena tangan kananku tak berfungsi seperti seharusnya. Perlahan, pikirku―semua akan meninggalkanku. Aku tak memeriksa penyakitku lagi pada dokter tampan itu. Untuk apa, tidak ada harapan untuk kedepannya juga. Hanya akan berlangsung untuk beberapa hari ke depan.
Entahlah, pikiran jahil ngenggrogoti otak dan hatiku. Tapi tanpa kusadari, mungkin saja ada hal baik yang akan terjadi bila aku terus berjalan, bukan di jalan ini, di jalan yang lain, jalan yang sulit tapi mengantarku pada sesuatu yang jauh lebih baik lagi. Akankah aku berpaling dari jalan itu? Aku sama sekali tidak memiliki harapan. Tapi, saat ini aku hanya belum menyadari. Bahwa ada seseorang yang teramat menyayangiku, lebih dari siapapun di bumi ini. Tuhan masing sayang padaku.
***
Alarm handponeku terus saja berbunyi sejak beberapa jam yang lalu, tapi tanpa sadar, karena terganggu ponselku kulempar begitu saja ke lantai. Dan untungnya tetap hidup. Aku bangkit dari tidurku, beranjak berdiri lantas memungut ponselku di lantai. Pukul sepuluh! Aku terkejut selarut itukan aku tidur, bisa-bisanya bangun di jam segini. Aku bergegas ke kamar mandi, mengingat tak lama lagi, Tika dan Nurul akan datang menjemputku. Bukan, aku bergegas karena perutku rasanya mual sekali, lantas muntah sejadi-jadinya.
“Hah... seberapa mabuknya sih gue tadi malam?” ujarku lirih lantas melanjutkan muntahku.
Untungnya, aku terbiasa mandiri. Jadi walau mabuk pun aku masih dapat pulang sendiri. Setidaknya ada taksi atau ojek online. Aku terburu-buru menyiapakan segala perlengkapan liburan dan menginap selama tiga hari ke depan.
Suara klakson Tika sudah terdengar menggema di depan rumah, aku bergegas keluar dengan menarik koperku dengan wajah lesu karena belum sarapan, dan sekarang sudah jam setengah sebelas siang.
“Nila lo kenapa sakit?” tanya Tika khawatir sambil memasukkan koperku didalam bagasi mobilnya.
“Enggak kok, ini cuma kecapean belajar!” ucapku berbohong.