23:50.
Sepuluh menit lagi. Pastinya aku tak akan menunggu hingga, hari esok datang. Melarikan diri, lantas sekarang menatap genangan air pasang laut serta deburan ombak yang kasar menghantam tepian tebing, dengan aku yang berdiri di puncaknya. Angin kencang, menggulungkan ombak. Tentu akan sangat berbahaya bila aku loncat menujunya. Situasi yang cocok untuk mengakhirinya.
23:53.
Aku mendongak menatap langit. Langit malam masih saja cerah. Menoleh ke bawah menyaksikan keramaian di bibir pantai. Banyak orang berkumpul di pasir putih, berjarak dua puluhan meter di bawahku. Bersiap untuk menyambut datangnya esok. Tapi aku lebih tertarik dengan gulungan ombak di depanku.
SEKARANG.
***
“Uhuk... uhuk..”
“La, lo gak apa-apa?” tanya suara itu.
Gelap, aku tak melihat wajahnya. Hanya sekedar siluet dari tubuh tingginya. Dia mengangkat tubuhku dari pasir putih lantas memelukku. Erat sekali. Seolah tak ingin aku lepas dari pelukannya, dan pergi. Kembang api dengan indahnya mengembang di angkasa, membuat amarah lepas dari mata senduku. Aku melalui hari ini?
Dengan kuat aku mendorong tubuh besarnya yang memelukku. Lantas berdiri dengan seluruh tenangaku yang tersisa.
“Kenapa lo ada di sini?” Aku lirih bertanya.
Aku mengenal pemilik suara itu, wajah basahnya terlihat karena percikan cahaya dari kembang api yang terus meledak di langit.
“Kenapa gue di sini?” teriakku, “kenapa lo nyelamatin gue!” Aku jatuh berlutut, tertunduk, tangisku pecah.
Pangeran itu mendekat, berlulut, kembali memelukku. “Gue gak mau kehilangan lo!”
Dengan lelehan air mata, aku kembali mendorong tubuhnya. “Lo gak bisa nahan gue hanya karena lo gak mau!” teriakku.
“Gue bisa!” Balasnya berteriak, “gue sayang sama lo, gue gak akan biarin lo pergi gitu aja!”
“Tapi gue udah gak sanggup Ndi! Gak ada yang harus gue lakuin lagi, gak ada yang harus gue perjuangin lagi! Semua orang seolah perlahan pergi ninggalin gue sendiri, gue gak sanggup kehilangan orang yang gue sayang lagi. Biarin gue pergi!”
“Gue gak akan biarin lo mengakhiri hidup lo! Gue memang gak bisa kasih harapan apapun, karena pada akhirnya kita bakal kecewa juga! Lo ingat lo pernah janji bakal baik-baik aja kan? Lo bisa Nila! Karena lo adalah orang yang paling kuat yang pernah gue temui!”
“Gue gak sekuat itu! Gue udah sampai batas kekuatan gue, gue udah gak berdaya! Orang yang lo anggap kuat ini, jadi orang paling lemah di hadapan lo sekarang! Biarin gue pergi, dan mengakhiri ini sekarang juga!”
“Lo pikir Ibu senang liat lo begini? Lo pikir Ayah lo bahagia karena akan bertemu lo secepatnya di sana? Lo gak akan bertemu mereka! Mereka meninggal dengan cara baik-baik dan kondisi baik-baik, lo pikir lo lo pantas menemui mereka dalam kondisi berdosa? Apa lo lupa siapa tuhan lo? Lo seharusnya berharap sama tuhan! Jangan sampai tuhan yang menyayangi lo lebih dari siapapun di bumi ini jadi membenci lo, karena lo melawan takdir lo sendiri. Lo memang terlihat lemah sekarang, tapi gue di sini ada buat nguatin lo! Gue di sini buat lo Nila! Gue sayang sama lo! Gue cinta sama lo! Jangan tinggalin gue!” jelas Randi.
Aku yang sedari tadi hanya tertunduk dan menangis, mengangkat kepalaku, menatapnya. Mata Randi berair, nafasnya tersengal, menahan emosi. Aku terdiam, memalingkan pandangaku darinya. Aku ingin menyanggahnya, tapi perkataan Randi benar. Mungkin aku memang telah melupakan siapa tuhanku. Melupakan seseorang yang paling menyayangiku. Melupakan nama itu. Aku mengepalkan tanganku, rasanya hancur sekali.
Randi berdiri, mengulurkan tangannya, lantas tersenyum di tengah kegelapan. “Ayo pulang!”
Aku terdiam sebentar, mengatur nafasku yang terus memburu sedari tadi. Meraih tangannya, yang membantuku berdiri. Lantas melangkah berjalan di sisinya dengan tetap mengandeng tangan kecilku.
Mereka berdua langsung berlari menghampiri lantas memelukku yang masih basah oleh air laut.
“Nila kamu ke mana aja? Kamu hilang seharian, kita khawatir banget sama kamu!” ujar Nurul sambil terisak karena menangis.
“Kita seharian ini cariin lo. Lo jangan ngilang lagi! Gue minta maaf karena udah kasar sama lo tadi pagi!” tambah Tika ikut terisak.
Aku mendekap, membalas pelukan mereka. "Gue yang minta maaf karena udah gak jujur sama kalian.”
“Gak apa-apa! Yang penting kamu baik-baik aja sekarang!” tambah Nurul.
“Tapi, lo kok basah?” tanya Tika yang telah melepaskan pelukannya memandangku lantas menoleh memandang Randi.
“Kamu kelihatan kurang sehat! Ayo kita balik ke villa, kamu perlu istirahat Nila!” ajak Nurul.
Aku tak berkata apapun, hanya mengengguk pelan. Tika lalu merangkulku, kembali ke villa.
Pagi menjelang. Tubuhku lemah sekali, tapi aku terlalu bosan untuk hanya berbaring di kasur di dalam villa. Lantas pergi jalan-jalan menuju jembatan kaca setelah menyelesaikan sarapanku. Randi di sini, di sampingku, ikut menikmati pemandangan pantai di siang hari.
Aku menutup mata, menghirup udara dan menghembuskannya perlahan. Hari pertama di tahun baru, aku melaluinya. Bersama orang-orang berhargaku. Meski aku tak tahu harus melakukan apa, tapi aku merasa seolah telah terlahir kembali. Tuhan memberikanku harapan, meski aku tak tahu apa itu, tapi aku tetap harus menjalaninya bukan? Aku takkan membuatmu khawatir Bu! Nila akan datang pada Ibu dan Ayah dengan membawa segala kebaikan, agar Ibu dan Ayah tenang di sana dan berbahagia.
“Lo baik-baik aja?” tanya Randi.
“Eee?”
“Muka lo pucat! Lo sakit?” Randi terlihat khawatir, dia langsung menyentuh jidatku. “Badan lo panas!” lirihnya.
“Gue baik-baik aja kok!” Aku menurunkan tangannya dari dahiku, sambil tersenyum manis padanya seperti biasa.