Hanya butuh waktu lima menit aku menghabiskan buburku ketika Randi menyuapkannya. Dia sungguh menyiksaku untuk memakan makanan itu.
“Makasih ya Ndi,” lirihku.
“Buat apa?”
“Karena lo ada di sini, nemenin gue. Gue senang.” Aku tersenyum manis padanya.
Randi balas tersenyum padaku, “gue juga senang.”
Randi merogoh tasnya, lantas mengeluarkan sebuah kotak kecil. Dia memberikan kotak itu padaku.
“Ini apa?” tanyaku.
“Hadiah! Happy birthday Nila. Sorry karena telat beberapa hari ngucapinnya, gue harap lo suka kado gue.”
Aku membuka kotak kecil itu, sebuah kalung berliontin berlian ungu berbentuk bintang yang berlapis perak di sisinya terpampang di hadapan mataku.
“Gue pakein ya!” izin Randi.
Aku mengengguk.
Randi mengenakannya pada leherku.
“Suka?” tanyanya lagi.
Aku mengengguk, tersenyum. “Makasih lagi ya!”
“Sama-sama!” Randi membalas senyumku. “Cantik!”
“Kalungnya?” tanyaku.
“Kamu!” celetuknya.
Aku sontak memalingkan wajah memerahku, mendadak sekali. Hatiku berdetak, kencang sekali.
“Apaan sih!”
“Haha... kamu malu?”
“Lo apa-apaan sih, kok jadi aku-kamu?”
“Iya ya, gak lagi!” Randi memandang jam di tangannya. “Sudah malam nih, lebih baik lo tidur sekarang. Jangan sampai larut!”
“Ya udah deh. Tapi lo...?”
“Gue bakal di sini sebentar, sampai Nurul datang!”
Aku mengengguk, lantas memejamkan mataku. Mencoba tidur.
“Good night Nila!” ucap Randi.
“Good night juga Randi!” balasku sambil tersenyum, masih dengan mata tertutup.
Dapat kudengar suara Randi yang tertawa pelan.
***
Liburan tahun baru berakhir, aku berhasil melalui tahun baru ini dengan baik. Yah... untuk beberapa hari ini, tapi aku harap akan baik-baik saja hingga hari nanti. Aku duduk di bangku-ku, baris ke dua dari depan di pojok kanan dekat jendela. Di sini lah aku menghabiskan seharian waktu kubelajar di kelas dua belas ini.
Pagi ini, kelas masih lenggang. Bersandar di dinding. Aku menutup mataku, menikmati alunan musik yang kudengar dari handset yang ku pasang di telingaku. Juga menikmati hari baru, yang berhasil kutemui, dan akan dengan semangat kujalani.
Randi pergi lagi. Kembali tak sempat ku ucapkan selamat tinggal padanya. Malam itu, adalah terkahir kalinya aku melihatnya. Dia pergi lagi, ketika aku terlelap dalam tidurku. Aku sedikit sedih sekarang. Dia mungkin sudah lega karena sudah mengatakannya, tapi tidak bagiku. Seharusnya aku katakan saja yang sebenarnya saat itu juga, tapi sudah tidak sempat.
Tragisnya, ketika aku mengetahui kabar itu pagi harinya. Dengan berlari dan masih mengenakan baju rumah sakit aku kabur dari kamar rawatku, menuju halte bus, lantas menaiki kereta cepat ke bandara. Terlambat, aku tak punya kesempatan bahkan hanya untuk mengatakan selamat tinggal padanya. Siapa yang tahu, apakah aku akan bertemu dengannya lagi suatu hari nanti? Hanya tuhan yang tahu. Aku mengelus liontin kalung yang diberikannya padaku, beberapa hari yang lalu.
Seseorang melepaskan handsetku, sontak aku membuka mata.