Aku mengambil surat usang itu, lantas membuka dan membacanya lirih dalam hati.
To my lovely Sekar.
Happy birthday sayang! Selamat ya setahun lagi udah kepala tiga nih, jangan sedih karena makin tua, karena kamu masih secantik gadis usia tujuh belas tahun untukku. Sebelumnya aku minta maaf karena gak bisa ikut merayakan ulang tahun kamu tahun ini, bahkan gak bisa datang menemui kamu dan Nila. Keadaan keluarga kita saat ini sedang terancam, akan lebih baik kamu dan Nila bersembunyi di rumah. Karena mereka hanya mengincarku.
Aku gak bisa nulis doa yang panjang di sini cuma minta Tuhan menjadi kamu sosok yang lebih baik dari sekarang, dalam segala hal. Dan yang paling penting jadi makin sayang sama anak kita Nila dan pastinya suamimu tercinta ini, haha....
Aku harap kamu suka hadiah dariku ya, kamu harus berterima kasih banyak dengan keluarga Seran. Karena mungkin mereka bertaruh nyawa untuk mengantarkan hadiah ini, atau bahkan akan butuh waktu yang lama untuk memberikannya, atau kemungkinan paling buruknya sudah hancur bahkan sebelum kamu melihatnya.
Kamu jangan terlalu khawatir, insyaallah aku akan kembali ke rumah dengan keadaan baik-baik saja. Dan untuk Nila, bilang ke dia untuk fokus saja mengejar impian dan keinginannya. Ayah tidak seprotektif Nenekmu, yang terus menyuruhmu masak di dapur dan menjadi koki. Temukan teman-teman yang baik! Teruslah berbahagia! Ikuti kata hatimu nak! Ayah sayang kalian berdua....
From your lovely husband, Dimas Darka.
Terlambat. Aku menyesalinya sekarang, seharusnya ibu sempat melihat kado ini. Apa yang sebenarnya telah kulakukan. Tidak ada yang dapat diubah lagi sekarang. Aku memeluk gaun putih ini, tangisku pecah lagi. Aku teramat menyesalinya, dan satu-satunya yang dapat kulakukan hanyalah menjaga dengan baik gaun ini dan melaksanakan wasiat terakhir ayah. Nila akan melakukan apa yang Ayah inginkan: mengejar impianku dan mengikuti kata hatiku. Dan Ayah tidak perlu khawatir lagi, karena Nila selalu dikelilingi oleh teman-teman yang baik. Nila akan terus berbahagia. Nila sayang Ayah....
***
Waktu terus berlalu, tak lama lagi ujian akhir sekolah akan dilaksanakan, begitu juga dengan ujian masuk universitas. Aku serius mengejar beasiswa ke sana. Kami sibuk menghabiskan waktu untuk belajar, sesekali disibukkan oleh latihan pentas seni untuk acara perpisahan nanti. Masing-masing jurusan masing-masing menyiapkan pertunjukan drama, musik, tari dan lainnya.
Sore ini sehabis les, kami menyempatkan diri untuk mengangsur keperluan untuk pensi. Aku dan beberapa teman yang lain mendapat tugas untuk menggambar latar dan properti untuk pertunjukkan drama nanti. Dan salah satunya adalah Sia. Mulai dari menggambar pegunungan bersalju, hujan rimba dipenuhi dedaunan, hutan bersalju, gubuk kecil di tengah hutan, negeri awan, dan lainnya.
Dan kalian tahu siapa bintang di pertunjukkan ini? Aku memang belum pernah mengatakannya sebelumnya, bahwa Tika dan Ceasar adalah aktor handal di organisasi teater sekolah. Dan untuk pertama kalinya Tika mengatakan bahwa dia menyukai Ceasar, yang membuatku dan Nurul kaget setengah mati, adalah di hari-hari di mana mereka disibukkan oleh latihan teater untuk perlombaan yang mana Tika dan Ceasar dipasangkan sebagai sepasang kekasih, dan mereka adalah pemeran utama di drama itu.
Begitu pula dengan kali ini. Banyak dari teman-teman yang menunjuk mereka sebagai pemeran utama untuk pertunjukan drama jurusan kami: jurusan IPA. Tika bahkan dengan semangatnya berlatih, dengan mengenakan sayap palsu untuk memperdalam karekternya sebagai bidadari sombong, dan Ceasar yang menggenggam pedang kardus hendak menebas sayap bidadari itu.
"Akh!" ringis Tika dengan wajah kesakitannya.
Brukk....
Tika tersungkur, berlutut, memegangi sayapnya. Dia mendongak memandang Ceasar dengan mata berair, menampakkan wajah imut, putih, bersihnya. Ya, Tika itu cantik.
"Siapa yang kau maksudkan malu?" tanya Ceasar dengan tatapan dinginnya. Berdiri gagah ditambah dengan wajah tampannya. Membuat beberapa siswi yang menonton menjerit, terbawa perasaan.
"Kenapa kau lakukan ini padaku?" Tanya Tika dengan intonasi yang lebih tinggi dengan sedikit ringisan, air matanya ingin jatuh. Dia berakting seolah kaki dan sayapnya benar-benar ditebas.
"Untuk melumpuhkanmu! Siapa yang akan menjamin kau tidak akan melukaiku? Seorang pewaris tahta kerajaan harus selalu dalam keadaan aman, dan harus dapat melindungi dirinya sendiri. Terutama dari makhluk aneh sepertimu!"
"MAKHLUK ANEH?" Teriak Tika, "bagaimana mungkin seorang Bidadari cantik dari yang tercantik sepertiku kau sebut 'makhluk aneh'? Bahkan kekasihmu yang justru menikahi pangeran dari negeri seberang itu kalah jauh cantiknya dibanding aku. Tidak! Sama sekali tak dapat dibandingkan! Tak bisakah kau melihatnya?" ujar Tika dengan intonasi yang menggebu-gebu.
"Lantas?" balas Ceasar singkat. Dingin, jauh lebih dingin daripada salju pertama yang turun.
"Apa?" Tika terbelalak, tapi kembali meringis kesakitan, menutupi erat bagian kaki dan sayap yang ditebas Ceasar seolah darah telah mengalir deras di sana.
"Begitu kah sikap seorang Putra mahkota? Melarikan diri dari istananya sendiri lantas melukai seorang wanita cantik yang tak memiliki kesalahan apapun? Kita bahkan tidak sedang berada di medan perang! Dan aku tak sedikit pun berniat hendak melukaimu! Apakah kau melihat ada pedang tergenggam di tanganku? Tombak? Celurit? Atau bahkan busur di punggungku? Tuhan bahkan menurunkanku ke sini dengan sayap yang tak dapat lagi terbang! Dengan kekuatan apa aku ingin melukaimu? Yang kumiliki sekarang hanyalah wajah yang sangat cantik!" jelas Tika.
"Baiklah!" ujar Ceasar sambil mengulurkan tangannya.
"Apa mau mu?" tanya Tika curiga.
"Mari kuobati luka yang telah kutorehkan padamu! Aku bersungguh!"
Tika hanya menatap Ceasar nanar, tidak menyambut tangannya.
Ceasar memandang sekitar, "sebaiknya kau bergeges, badai salju akan datang. Masuklah bila kau tidak ingin mati membeku di sini!"
Dengan wajah sebal Tika menyambut tangan itu.