Dream Changes Me

Auli Inara
Chapter #31

30. Menyelesaikan

Kembali....

Aku kembali lagi ke tempat ini. Tempat di mana untuk pertama kalinya aku merasakan getaran itu. Detak jantung yang tak karuan, ketika dia menatapku. Ketika pipiku berasa panas ketika melihatnya tersenyum, yang membuatku tak mampu menyembunyikan senyum manisku dari hadapannya.

Hiruk-pikuk kota selalu mengganggu. Tapi justru itu yang terus mengingatkanku padanya. Tentang bagaimana wajah dan rambut basahnya karena disiram air minum pemberianku, setelah lelah membersihkan seluruh toilet sekolah. Bukan hanya itu, dia bahkan dengan sabarnya melakukan berbagai pose aneh yang kusuruh, berniat hendak melukiskannya di atas kanvasku, tetapi hasilnya justru kacau sekali. Ya, dia melakukan itu selama dua minggu latihanku. Meskipun aku menyuruhnya begitu hanya untuk menjahilinya. Dia sadar itu, tapi sepertinya membuatku tertawa lebih menyenangkan baginya meski harus terus menuruti permintaan anehku. Aku bahkan pernah menyuruhnya memakai rok dan sepatu balet, menyanggul rambut panjang yang menutupi dahinya lantas memintanya bertahan dalam berbagai posisi gerakan tari balet. Lucu sekali bila mengingatnya, haha....

Atap ini, penuh dengan berbagai kenangan darinya. Pria tampan itu berhasil merebut hatiku dengan sikap lembutnya itu. Aku akan terus mengenangnya di dalam hatiku.

Brakk....

Bunyi pintu yang dibanting membuatku kaget, lantas menoleh ke arahnya.

“Kok lo ada di sini?” tanya Yana, dengan tatapan tidak sukanya.

“Lo ngapain ke sini?” tanyaku balik, tidak menjawab pertanyaannya.

Yana berjalan mendekat, menuju kursi dan meja kayu beratap, lantas duduk di sana. “Belajar lah! Perpustakaan penuh, kelas ribut banget. Gue udah ambil tempat ini! Mending lo pergi dari sini, ganggu!”

Ujian nasional dan ujian masuk universitas semakin dekat. Anak-anak kaya ini sedang sibuk-sibuknya belajar, mengejar universitas impian mereka. Aku memang naik ke sini, karena ingin belajar. Meski tidak setenang di perpustakaan yang telah penuh, setidaknya tidak seribut di kelas.

Aku mendekat, duduk hadapan Yana. Aku telah menghabiskan beberapa waktu yang lalu belajar di sana. Dan aku tidak ingin mengalah. Aku kembali membuka buku-buku ku, memulai mengerjakan beberapa soal matematika.

Yana mengangkat kepalanya, memandangku dengan tatapan bencinya, tapi aku tidak peduli dan fokus dengan buku dan pena di tanganku.

“Lo gak mau menyingkir dari sini?” tanyanya dengan intonasi yang tajam.

“Gue yang pertama kali datang ke sini! Gue gak punya cukup alasan untuk mengalah dari lo, lagi pula ini tempat umum!” balasku masih fokus menulis.

Yana menepis buku paket di hadapanku. Membuatnya terbanting ke lantai atap.

“Apa-apaan sih lo?” lirihku.

“Kenapa? Gak terima?”

“Kalau gue banting buku lo begini, emang lo bakal terima?” Aku membalas membanting buku miliknya.

“Hey! Punya otak gak sih lo?”

“Bukannya itu kembali ke diri lo sendiri? Bukannya lo lagi ngatain diri lo sendiri?”

Yana memasang wajah masamnya padaku, rahangnya mengeras dia menahan emosinya. Lantas kembali tenang kembali.

“Lo pikir orang gak punya kayak lo pantas di sini? Pastes duduk sebangku sama gue? Naj*s!” makinya.

“Lebih baik lo mulai menghargai orang yang lebih lemah dan rendah dari lo! Lo gak akan tahu kapan mereka akan berada di atas lo, kapan lo akan memohon-mohon bantuan sama mereka!” ujarku lalu memungut buku-ku yang dijatuhkannya, lantas pergi dari sini. Membiarkannya memikirkan perkataanku tadi.

***

Hari demi hari berlalu. Ujian akhir dan ujian nasional kami lalui dengan baik. Sampai ketika hari perpisahan tiba. Berbagai jenis pertunjukan pensi ditampilkan bagi masing-masing jurusan, hingga tiba saatnya Tika dan Ceasar mengguncangkan panggung pertunjukan dengan penampilan mereka yang memukau.

Lihat selengkapnya