Aku keget lantas mengangkat tangan. Tapi pria di sampingku ini dengan sigap menjatuhkan pistol itu dari genggaman Yana dan merebutnya.
"Anda seharusnya tahu bahwa senjata api adalah barang yang berbahaya! Tidak bisa dibiarkan, anda telah melakukan tindak percobaan pembunuhan. Tahan di situ! Saya tidak akan melepaskan anda, sebelum polisi tiba di sini!" ucap pria itu.
Yana tak banyak melawan, di hanya tertunduk, menangis sejadi-jadinya.
Aku yang sebenarnya masih shok, tetap memberanikan diri mendekatinya. "Gue gak tahu lo kenapa bisa begini! Tapi gue sadar ini ada hubungannya dengan kematian Tasya, sepertinya lo butuh ini!" Aku menyerahkan surat itu.
Yana tak menerimanya, masih menatap penuh kebencian padaku.
"Ini wasiatnya! Gue rasa lo akan lebih lega setelah membacanya!"
Yana tetap tak menerimanya.
Aku menghembuskan nafas kasar, "atau lo mau gue bacain kenceng-kenceng di sini?" tawarku.
Yana langsung menyembar dengan kasar surat di tanganku. Di membuka, lantas membacanya.
Aku yang sedikit bergedik dan ketakutan lantas menjaga jarak aman dengannya. Aku tak tahu, apa isi suratnya. Aku tidak pernah membukanya. Tapi setelah membaca itu, Yana justru menangis tersedu-sedu. Apa dia merasa bersalah atas kematian temannya? Hanya itu kemungkinan yang kupikirkan.
Urusannya menjadi rumit, karena harus berurusan dengan polisi. Tapi aku tidak terlalu terbebani, karena pria sebaya bernama Karta ini senantiasa membantuku. Hanya saja ada satu fakta baru yang kuketahui, yang membuatku merasa sedih. Selama bertahun-tahun, semenjak kasus kematian Tasya terkuak media. Yana tidak dapat tidur dengan normal lagi. Dia sama sekali tidak dapat tidur tanpa obatnya.
Dan sekarang aku sadar, kenapa dia begitu bencinya terhadapku. Karena setiap kali melihatku, dipikirannya terus terngiang-ngiang wajah Tasya yang bahkan sudah tidak berbentuk. Karena butuh waktu berhari-hari untuk dapat menemukan jasadnya. Entahlah aku tak tahu mengapa bisa begitu. Sepertinya memang seburuk itulah akhirnya bila berusaha melawan takdir tuhan, melakukan kesalahan yang terburuk dari yang paling buruk.
***
28 desember, High Holborn, Holborn, London, Britania Raya.
Pukul 12:00 AM waktu London.
Kringg... kringg.. kringg...
Ponselku berdering, dengan mata yang sangat mengantuk aku mengangkat telephon.
"Halo?"
"Happy birthday Nila... yuhu... selamat ulang tahun ya my firend, I wish all the best for you...." teriak Nurul dan Tika di seberang sana.
"Yeah, thank you guys... I love you, bye...."
"Tunggu, tunggu dulu Nila kita ma_"
Aku langsung mematika telephonnya, dan kembali tidur memeluk gulingku. Aku masih setengah sadar, dan dipikiranku hanya ada kata 'tidur' sekarang. Hingga aku menyesalinya, ketika pagi beranjak datang. Menelphone mereka balik, lantas berbincang-bincang ria.
Hari ini akhir pekan, tidak ada jadwal kuliahku hari ini. Sambil bercermin memperhatikan penampilanku, untuk pertama kalinya aku mengenakannya, gaun putih pemberian ayah untuk ibu. Di hari spesial seperti inilah aku harus coba mengenakannya, hari ulang tahunku.
Aku membuka kotak kecil berisi kalung berliontin berlian hitam berbentuk bintang kecil itu, lalu mengenakannya. Aku menyimpan dan tidak mengenakannya selama beberapa bulan ini, aku bahkan belum menunjukkan keberadaanku di hadapan Randi. Aku hanya memilih mengematinya dari jauh tanpa diketahuinya. Aku merasa seperti menjadi seorang stalker, mengikuti ke mana dia pergi. Rasanya asik dan menantang sekali, membuat jantungku memburu cepat ketika hampir ketahuan olehnya, atau membuatku deg-degan tidak jelas ketika melihatnya tersenyum, bahkan merasa cemburu ketika dia berbincang ria dengan teman kuliah wanitanya yang berkulit pucat itu!
Jarak antara asramaku dan tempat tinggalnya tidak begitu jauh, aku bahkan dapat melakukan banyak aktifitas di tempat yang sama dengannya. Menyeruput kopi di kedai kopi ketika cuaca semakin dingin, berolahraga di tempat fitness yang sama, menyantap chiken wings, atau pergi ke sandwich café, bahkan datang ke toko percetakan yang sama. Beberapa kali dia melihatku tapi tidak yakin, karena aku bersikap seolah tak mengenalnya, atau bahkan buru-buru bersembunyi dan tentu tidak mengenakan kalung ini. Tapi hari ini aku akan menunjukkan diriku.
Aku mengenakan jaket kulitku, dan menyambar tas kecil, lalu mengenakan sepatu ketsku. Cuaca di luar sedang dingin-dinginnya. Lantas keluar dari asrama dan menaiki taksi, pergi menuju lapangan basket. Randi biasanya bermain basket di lapangan bila akhir pekan. Sambil duduk di kursi batu, aku dengan asiknya memperhatikan dari jauh. Menatap wajahnya yang penuh dengan keringat yang menetes ketika berkali-kali mencetak skor. Dia masih jago seperti dulu, dengan tangan kirinya. Dia memotong rambutnya, minggu lalu rambutnya panjang sekali bahkan sampai ke bahunya. Tapi hari ini poninya hanya sampai menutupi alis tebalnya, terlihat seperti Randi yang dulu.