“Nila!”
Aku yang baru saja keluar dari kampusku, langsung menoleh ke arah pria di ambang pintu kaca kampus yang memanggilku itu. Dia mendekat.
“Karta, kenapa?” tanyaku.
“Kamu... akhir pekan ada waktu gak?” Pria bernama Karta Wijaya itu bertanya santai.
“Nila gak punya waktu buat lo!” teriak Randi yang baru tiba, dia langsung merangkul ku.
Aku menyikut kuat perutnya, membuatnya mengaduh, melepaskan rangkulannya dan memegangi perutnya yang kubuat sakit.
Tanpa menoleh ke arah Randi, aku tersenyum memandang Karta. “Ada kok, mau apa emang?”
“Ah... itu aku mau traktir kamu makan di restoran Yunani di dekat sini. Sebagai tanda terima kasih karena kamu sudah mambantu tugas akhir dari profesor, kalau bukan karena kamu mungkin aku harus mengulang semester ini. Aku sungguh berterima kasih!” jelas Karta.
“Bisa dong, bisa banget!” ujarku penuh kemenangan.
Aku memandang Randi yang berdiri di sampingku. Mendongak, menatapnya dengan mata yang berbinar-binar, “boleh ya!” lirihku meminta izin.
Randi hanya menatapku datar, “bagus tuh, kalau gitu traktir pacarnya juga dong! Gue!” Randi menunjuk dirinya sendiri.
Aku menoleh, menatap tajam kepada Randi. Sedangkan orang yang ditatap hanya mengangkat bahunya tak peduli. Melihat itu, aku kembali mengarahkan wajahku pada Karta.
“Kalau lo gak mau, kita bisa pergi berdua aja!” sambarku.
“Gak... gak boleh!” Randi melarang.
Aku kembali mendongak, menerucutkan bibir memandang Randi.
“Ya udah, gak apa-apa! Kalau gitu sampai ketemu akhir pekan ya!” ucap Karta tersenyum sembari melambaikan tangannya lantas beranjak pergi ke arah berlawanan.
“Iya, hati-hati!” teriakku sambil melambaikan tangan.
“Seneng ya digodain sama yang lebih muda!” sindir Randi.
Aku menatap sinis Randi, “sama yang lebih muda apaan? Karta itu cuma junior aku, kita bahkan seumuran.”
“Seumuran? Padahal aku cuma setahun lebih tua dari kamu. Kedengarannya seolah aku doang yang tua.” Raut wajah Randi masam.
“Siapa yang bilang kamu tua?”
“Itu kamu bilang!”
“Iih... itu kan nanya....” Aku mencubit perut Randi.
“Akh... sakit! Katanya gak boleh sentuh-sentuh.”
“Kamu sih nyebelin!”
“Bantuin tugas apa emangnya? Kamu kok baik banget sama dia?”
“Aku baik sama dia karena dia pernah nyelamatin nyawa aku!”
Ingat kejadian di mana aku ditodong pistol oleh Yana. Sebuah kebetulan sekali Karta Wijaya, orang yang menolongku saat itu, satu jurusan denganku di universitas ini, hanya satu tingkatan di bawahku. Tahun ke-empat masa perkuliahan telah tiba, aku sedang sibuk-sibuknya menyiapkan revisi skripsi sebelum wisuda. Itu artinya hubunganku dengan Randi pun sudah berjalan hampir empat tahun.
“Katanya kamu sibuk!”
“Emang beneran sibuk kok! Kamu juga, bukannya kamu juga sibuk bantuin gadis pucat itu pindahan ke apartemen barunya?”
“Aku bantuin karena dia itu tetangga aku. Lagi pula kamu kok sempet-sempetnya bantuin Si sipit itu?”
“Kan udah aku bilang tadi alasannya, karena dia pernah selamatin nyawa aku. Tapi kenapa kamu senyum manis banget ke dia?”
“Masa sih?” Randi menyentuh bibirnya, “enggak ah! Kamu tuh yang senyum manis ke semua cowok. Jangan-jangan kamu baik sama aku juga karena aku pernah nyelamatin nyawa kamu?”
“Enggak lah! Itu karena emang aku manis. Lagi pula, aku baik sama kamu itu karena aku sayang tahu!”
“Ya udah!”
“Beneran kok!”
“Iya ya udah!”