Pagi ini jam menunjukkan pukul 08.00 WIB. Kedua orang tua Satria tengah sarapan dengan nasi goreng. Satria baru saja bangun dari tidurnya lalu keluar dari kamarnya yang berada dilantai atas. Tidak seperti biasanya, baru kali ini ia melihat kedua orang tuanya masih berada di rumah. Satria pun tersenyum menyaksikan mereka dari atas. Apakah kehangatan dirumahnya akan bersemi kembali seperti dulu? Rasanya ingin sekali ia menyapa mereka. Dengan semangat ia menuruni anak tangga. Sesekali ia meluncur pada pegangan tangga agar lebih cepat.
"Nanti berangkat sekolah bareng Reno ya! Ini Mamah tinggalkan uang buat kalian jalan - jalan sepulang sekolah. Mamah sama Papah mungkin tidak akan pulang untuk beberapa hari. Kami akan menginap di luar kota, We love you Satria," ucap kedua orang tuanya secara tidak langsung.
Satria baru saja membaca selembar kertas tergeletak di atas piring yang masih membalik. Mendadak selera makannya hilang. Belum sempat ia menyapa kedua orang tuanya, mereka sudah meninggalkan meja makan dengan tergesa - gesa. Dua piring dengan sisa nasi goreng mereka masih di atas meja. Ternyata kehangatan di rumahnya benar - benar sudah hilang. Lagi - lagi mereka hanya berbicara melalui selembar kertas. Mereka tidak mengerti bahwa Satria merindukan mereka yang dahulu, sebelum mereka sesukses sekarang. Kesibukan orang tuanya membuat mereka tidak menyadari bahwa hari ini adalah tanggal merah. Untuk apa Satria harus pergi ke sekolah? Memangnya mau sekolah dengan hantu?!.
"Den Satria nggak apa - apa?" tanya bi Ijah. asisten rumah tangga di rumah mewah ini sambil mengangkat piring kotor ke wastafel.
Satria tidak menjawab pertanyaan Bi ijah, ia hanya menggelengkan kepalanya saja sambil merobek selembar kertas yang sudah ia baca dan menyimpan sejumlah uang Rp 500.000 ke dalam kantong celananya. Ia bergegas meninggalkan rumah untuk menemui Ucup. Ia tidak mau menemui Reno yang sombong.
Suasana di pemukiman kumuh. Tempat tinggalnya para pemulung, pengemis dan pengamen di kota ini. Berjejer rumah - rumah kardus. Berbeda dengan Rumah Ucup yang terbuat dari triplek. Setidaknya Ucup merasa lebih beruntung dari mereka, meski ukuran Rumahnya hanya sepetak. Mungkin seukuran kamar Satria, bahkan lebih besar ukuran kamar Satria. Jika rumah Satria mempunyai ruang tamu. Berbeda dengan rumah Ucup yang sudah terlihat kasur lantai. Kamar dan dapur menjadi satu ruangan seperti kost bahkan lebih baik tinggal di kost dibanding rumah Ucup.
"Bang Ucup ayo sarapan," ucap sang adik yang berusia 5 tahun. Seorang adik yang manis dan cantik. Ia membangunkan Ucup yang masih rebahan di kasur lantai. Tubuhnya digoyang - goyangkan oleh sang adik. Ucup seolah terkena gempa bumi. Tidak mau kepalanya pusing, Ucup pun bangun dari rebahannya. Hampir saja kakinya menendang tudung saji dari bambu. Ia pun langsung membuka tudung saji tersebut.
"Tempe all right lagi?" tanya Ucup setengah mengantuk. Matanya masih merem melek.
"Orek abang," jawab sang adik yang langsung menyendok tempe orek diharapannya. Tempe orek tersebut porsinya sedikit. Ucup pun bangun dan berdiri ke dekat pintu yang sudah reot. Ia melihat Ibunya tengah menjemur pakaian.
"Mak, ini lauknya cuma tem_?" Pertanyaan Ucup terhenti karena Ibunya langsung memotongnya
"Kenapa cup? Protes?" ucap sang Ibu nyerocos sembari mengangkat daster panjangnya berwarna hijau bunga - bunga yang ia kenakan. " lo mau makan mau nggak terserah lo! Gue udah nggak peduli lagi!" ia lanjut mengikat dasternya dengan kencang. Kini daster itu terlihat mini di atas lutut "kita makin miskin juga gara - gara lo cup!" dilanjut dengan memeras celana dalam Ucup yang bergambar spongebob lalu ia sengaja mengibaskannya ke wajah Ucup sehingga matanya mengedip karena terkena percikan air jemuran tersebut.
"Udah gue bilangin Cup nggak usah bergaya sok dermawan. Bapak lo emang keterlaluan ngasih nama yang nggak - nggak. Jadi gini kan anaknya. Padahal gue dulu tuh ngasih nama lo Yusuf Mahardika. Siapa tahu aja lo bisa sukses kayak dia. Eh gara - gara Bapak lo emang!" Ibunya masih nyerocos. Ucup hanya menyimak lebih tepatnya perkataan sang Ibu masuk kuping kanan lalu keluar kuping kiri.
"Lo kalau nggak mau makan tuh tempe mending lo cari gih kemana bapak lo! Udah 2 minggu kaga pulang - pulang. Kampret emang tuh bapak lo ngajak cerai kali!"
Sepertinya Ucup baru saja membangunkan singa yang tertidur. Tidak seharusnya Ucup menanyakan perihal lauk kepada Ibunya. Kini ia kenyang memakan ocehan Ibunya yang tidak mau berhenti. Ia pun bersendewa dengan keras.
Ibunya baru saja selesai menjemur pakaiannya yang terakhir. Ia menatap tajam Ucup "Lo ngapa masih disini? Buruan cari bapak lo!" ia menoyor kepala Ucup "Jangan balik kalau bapak lo belum ketemu!" lalu mendorong bahu Ucup.
Adik yang manis melihat Ucup melangkah pergi meninggalkan rumah "Mak, abang Ucup mau kemana?" tanyanya polos.
"Berak!" jawab Ibunya dengan cepat.