Bising dunia membuatku mengerti, hidup ini bagai sebilah belati. Jika aku tak tahu cara menggunakannya, akan menghujam diriku sendiri. Pun sama, jika aku tak tahu arah tujuan, aku akan tersesat.
🍀🍀
Viona : Si, nongkrong yok di bundaran
Pesan whatsapp itu kulayangkan pada Arsi, salah satu karyawan Mamak di butik. Sudah tiga tahun ini ia bekerja disana, tapi ia ditempatkan di butik pusat, sedangkan aku sendiri membantu di butik cabang. Semenjak ikut membantu di butik Mamak, aku jadi akrab dengannya. Arsi orang yang asyik diajak bicara dan bertukar pikiran. Meski usianya terpaut satu tahun dibawahku, tapi dia punya pemikiran yang kritis, jadi aku merasa nyaman jika harus curhat dan meminta saran padanya.
Arsi : Wokee
Viona : Pulang nanti aku jemput ke butik
Arsi : Siap menantimu, Pon
Aku hanya membaca balasan pesan Arsi. Lebaynya mulai kumat. Selain asyik diajak ngobrol, Arsi ini kadang-kadang punya segudang kalimat lebay, tapi aku maklum, sebab disamping sebagai karyawan butik, Arsi ini punya hobi nulis, jadi wajar kalau stok kata-katanya berlimpah. Dan diantara sekian banyak orang yang manggil nama aku dengan panggilan Viona, hanya Arsi memanggil aku Pon, katanya panggilan kesayangan, tapi menurutku itu mah satuan berat dalam matematika, alih-alih kadang manggil aku dengan sebutan Uni yang dalam bahasa padang artinya kakak perempuan, kalau lagi bagus otaknya, dia ingat dirinya lebih muda dari aku.
Jam 16.10, butik pun tutup. Aku segera meluncur ke butik pusat, memenuhi janjiku dengan Arsi. Arsi ini tipe orang nggak sabaran juga. Telat sedikit aku menjemputnya, sudah dipastikan ia menghilang dari butik, ia akan memilih pulang daripada harus menunggu lebih lama. Sampai di butik pusat, ternyata mereka lagi bersiap-siap pulang. Aku memilih menunggu di atas motor sambil memainkan ponselku.
“Kencan dimana kita hari ini?,” gadis berjilbab hitam itu langsung duduk di boncengan tanpa aba-aba.
“Kebiasaan deh, kan aku mau belokin motor dulu,” gerutuku pada Arsi.
“Kan badan aku kecil, masak nggak kebawa,” Arsi nyengir kuda, bikin aku geleng-geleng kepala.
“Mau ke bundaran kita. Emang kamu mau kemana?,” aku meliriknya dari kaca spion.
“Makan,” sahut Arsi enteng. Biar badannya kurus, si Arsi ini doyan makan.
“Makan apa?.”
“Apa aja yang penting enak.”
“Aku gak bawa duit banyak loh.”
“Nggak apa, kita patungan aja, makan sepiring berdua kan lebih romantis,” Arsi tersenyum usil.
“Mulai deh, lebaynya keluar. Untung Cuma satu makhluk kayak gini,” aku segera menjalankan motor.
Aku dan Arsi sampai di Gelanggang Remaja Sekayu, spot favorit anak muda buat nongkrong. Tak hanya itu, banyak juga keluarga bahagia yang memilih jalan-jalan sore disini. Ada beraneka macam kuliner berjejer disini, ada juga permainan mobil-mobilan dan odong-odong untuk anak-anak, dan wahana permainan menghibur lainnya juga ada disini. Bagi mereka yang hobi olaraga, ada sport panjat tebing dan arena futsal. Tempat ini tak pernah sepi pengunjung. Apalagi letaknya berada di pusat kota.
Aku memarkirkan motor di depan kedai yang menjual ceker dan seblak. Ini tempat makan favorit kami, ceker pedas disini lumayan enak, lagipula kebersihannya terjaga, itu yang membuatku lebih senang makan disini.
“Pon, sepiring berdua aja,” kata Arsi saat aku hendak memesan.