Ingat ya, harus tetap semangat dan saling support
🍀🍀
Aku menatap foto yang terpajang di meja belajar. Empat orang tersenyum penuh kemenangan dengan memakai toga. Aku dan ketiga sahabatku, Fahrul, Reva, dan Marta. Foto selfie itu diambil saat berada di audotarium kampus tempat acara wisuda diadakan. Hari kemenangan bagi para mahasiswa yang berhasil menyelesaikan studinya.
Flashback On
Padang, Oktober 2017
“Alhamdulillah, akhirnya kita bisa ada di tempat ini juga, bukan sebagai panitia lagi, tapi sebagai wisudawan,” Reva tersenyum lebar.
“Iya, Alhamdulillah, perjuangan kita mencapai tiitiknya juga,” sambung Marta.
“Tapi semua belum berakhir di sini loh,” Aku mengingatkan.
“Benar, kita baru di garis start, selanjutnya kita masih harus melangkah untuk sampai ke garis finish,” Fahrul mengobarkan api semangatnya.
“Setuju, ini adalah langkah awal menuju cita-cita,” Marta mengangguk setuju.
“Dan mewujudkan peta mimpi,” imbuhku, yang dibalas anggukan semangat dari mereka.
“Kalian udah ada rencana belum habis ini mau ngapain gitu?,” pertanyaan Marta membuat ketiga temannya menampilkan mimik serius untuk kemudian kembali tersenyum. “Pasti udah ada semua nih,” tebak Marta melihat ekspresi kami bertiga.
“Mulai dari mana nih yang mau duluan?” Reva memberi isyarat sahabatnya agar memberitahu rencana selepas wisuda ini.
“Mulai dari yang paling ujung,” Fahrul melirikku yang memang duduk di pojok.
“Eh, kok aku?,” Aku menunjuk diri sendiri dengan menampakkan ekspresi sebal pada Fahrul.
Emang dasar ya si Fahrul, wis udahan aja masih bikin jengkel.
“Iyalah, siapa lagi, kan dirimu yang duduk paling ujung, tapi bukan ujung dunia,” kekeh Fahrul yang tak peka dengan kejengkelanku.
Manusia nyebelin.
“Oke, Baiklah. Setelah ini aku bakal balik lagi ke rumah,” jawabanku membuat mereka bingung. Sebab rumah dalam artianku itu ada dua.
“Rumah mana nih? Rumah Nenek di Bukittinggi, apa rumah mama di Sekayu?” cecar Marta tak sabar dengan jawabanku.
“Insya Allah rumah Mama di Sekayu,” Aku menatap ketiganya yang memancarkan raut sedih.
“Ini beneran kamu balik ke Kampungmu yang di ujung kulon sana?,” ujar Reva dengan wajah memelas, seolah meminta agar Aku tak pergi.
Aku terkikik mendengar kata ‘ujung kulon’ dari Reva barusan. “Bukan Ujung Kulon, itu mah tempat para badak bersemayam.”
“Intinya, tuh Kampuang jauah dari jangkauan,” kalimat Fahrul sontak membuatku membelalakkan mata.
Enak aja dibilang jauh dari jangkauan, dikiranya hutan rimba, apa?.
“Maksudnya jauh dari jangkauan Fahrul, secara jarak antara Pekanbaru-Palembang kan bukan dalam hitungan jam,” skakmat dengan jawaban Marta. Muka Fahrul pias menahan malu. Marta emang jagonya. “Bakal rindu tak tertahan, ciye yang bakal calon LDR-an,” lanjut Marta lagi yang bikin Fahrul salah tingkah.
“Eh, apaan sih, nggak gitu juga kali,” kalau aja si Fahrul nih cewek, udah keliatan wajahnya bersemu malu, sayangnya dia laki-laki yang tak begitu ekspresif, terlalu datar untuk menampakkan wajah berdasarkan suasana hati. “Bukannya tadi lagi bahas rencana ke depan, kok malah nyasar bahas hal lain?,” Fahrul segera mengalihkan pembicaraan, tak ingin ketiga sahabatnya tahu kalau yang dibilang Marta tadi ada benarnya.
“Ya nggak apa-apa sih buat pemanis, anggaplah appatizer-nya gitu loh,” Marta tersenyum jahil pada Fahrul.
Nih anak emang ya, bisa banget bikin seorang Fahrul mati kutu.
“Dikira jamuan makan malam apa,” omel Fahrul yang tak mau lagi teman-temannya membahas perihal jarak antara Aku dan dirinya.
“Oke balik ke Viona,” Reva kembali menatapku. “Serius kamu bakal balik lagi ke Sekayu,”
Aku mengangguk mantap. “Iya.”
“Kapan,” tanya Marta yang berharap tidak dalam waktu dekat ini Aku kembali.