Dream Map

Afyani29
Chapter #6

Siluet Dhuha

Salah satu alasan kenapa kita harus solat dhuha, ya karena doa kita belum terkabul.

🍀🍀

Aku sampai di rumah Mamak, setelah menempatkkan motor di halaman rumah, aku langsung menuju ke lantai dua lewat pintu belakang, akses keluar masuk bagi para karyawan Mamak yang tinggal di sini. Aku membuka pelan pintu berpelitur cokelat itu.

“Assalammualaikum,” serempak penghuni kamar menoleh ke arahku.

“Wa’alaikumussalam,” jawab mereka bersamaan.

“Tumben nih kamu ke sini, Mbak Bila yang juga kerja di butik cabang bertanya melihat kedatanganku, wajarlah kalau dia heran, aku emang jarang banget main ke sini kecuali kalau ada perlu.

“Biasa, si Arsi kangen sama aku,” jawabanku membuat Arsi mendelik.

“Kangennya Arsi tuh kadang ada maunya loh,” tambah Tika yang bikin Arsi malah terkikik geli.

“Tika tahu aja. Sini Poon,” Arsi menyuruhku duduk bersamanya yang sedang asyik berkutat dengan benda hitam persegi berukuran 14 inci.

“Jadi siapa yang sakit, anakmu yang mana sampai nyuruh aku datang buat ngompres?,” Arsi malah mencubitku. “Aduh.”

“Yang ini nih,” Arsi membuka file naskah di laptopnya. “Dari kemarin aku mau upload tapi nggak bisa terus.”

“Ya jelas nggak bisa lah, itu file kamu melebihi kapasitas,” Aku menggeleng takjub. Dasar Arsi, sudah tahu nggak bisa masih saja dipaksa, atau memang sengaja.

“Iya, aku tahu, harusnya di-compress dulu, tapi dari kemarin aku coba masih nggak bisa,” Arsi kembali mengutak-atik benda hitam persegi itu.

“Jadi?...,” belum selesai aku bicara Arsi sudah kembali memotong.

“Jadi aku minta kamu bantuin compress anak aku biar segera pulih dan main keluar,” Arsi tertawa renyah.

“Dasar, emaknya gimana sih,” aku mengambil alih laptop Arsi. Ralat ya sebelumnya, anak maksud Arsi tuh bukan anak manusia, secara Arsi belum jadi ibu-ibu, dan bukan pula hewan peliharaan karena Arsi nggak punya sejenis kayak gitu, dia sih cuma punya boneka yang bentuknya ulat tapi punya telinga kayak kelinci dan hidung menyerupai beruang, entah mau disebut boneka apaan tuh. Anak maksud Arsi di sini adalah naskah-naskah ceritanya. Kalau dia bilang anaknya keluar berarti dia mengajukan naskah itu ke redaksi, beda lagi kalau anaknya lahir, berarti naskah ceritanya sudah diterbitkan menjadi buku, dan sejauh ini Arsi sudah pernah menerbitkan beberapa karya, baik buku solo maupun antologi. Novel, puisi, cerpen, semua digarap oleh Arsi. “Yang ini kan?,” aku mulai mengutak-atik file naskah yang kata Arsi susah di upload. Binar netra Arsi terpancar saat aku hampir selesai.

“Sudah,” Arsi merangkulku dengan bahagia, sedangkan aku, kaget iya pasti, meski sudah tahu itu kebiasaan reflek Arsi kalau lagi senang, untung aja nggak sekalian lompat atau salto.

“Makasih Pon, makin sayang deh sama kamu,” Arsi tersenyum lebar, tapi bikin aku bergidik mendengar kalimatnya barusan.

“Sama-sama,” aku kembali melihat naskah Arsi yang tadi berhasil ku upload. “Widih, mainnya Alsa nggak main-main, kamu kirim naskah ke Gramedia?,” setahuku, Gramedia itu salah satu penerbit best seller di Indonesia ini.

“Ikutan lomba.”

“Lomba apaan?,”

“Ya nulislah, masa iya makan bakso,” aku menepuk tangan Arsi yang sontak meringis. “Ini nih, budayakan membaca. Padahal tadi kamu upload, disitu kan ada keterangannya. The writer’s show. GWP alias Gramedia Writing Project.”

“Ya kan aku nggak tahu itu apaan, kirain resep seblak,” jawabku asal.

“Doain ya, semoga naskah aku lolos seleksi,” Arsi menoel pipiku.

“Aamiin.”

“Aamiin.”

“Sudah selesai, kan?” tanyaku yang dijawab anggukan Arsi, senyum Arsi masih terkembang saking senangnya naskah berhasil di upload. Apalagi kalau naskahnya lolos seleksi, sepanjang hari Arsi bakalan senyum tanpa ada tekuk muka sedikit pun kali ya. Aku beri sedikit bocoran buat kalian. Arsi ini kalau menyangkut naskahnya yang lolos, bahagianya nggak ketulungan. Pernah ketika novelnya berhasil diterbitkan menjadi buku di salah satu penerbit self publishing, aduh bahagia banget tuh anak. Biasanya di butik terkenal paling garang, iya, Arsi tuh orangnya agak galak dikit lah ya, meski wajahnya termasuk baby face tapi nggak bisa menutupi emosionalnya, sebab Arsi tuh tipe ekspresif, jadi kalau lagi marah atau gembira kelihatan banget dari mimik mukanya. Oke balik lagi ya, karena novelnya terbit, dia benar-benar senyum dan ramah sepanjang hari, tanpa marah-marah. Tapi tolong ya, yang nggak kuat jangan lihat senyumnya Arsi. Cewek bertubuh mungil itu punya senyum yang cukup manis, dilengkapi satu lesung pipi di sisi kanan, lumayanlah buat menggoda iman, aku sebagai wanita saja mengakui kalau senyumnya manis. Tapi jangan bilang ke dia, nanti dia salto pula gegara dapat pujian.

“Kalau kamu mau pulang ya udah, silakan,” Arsi menutup laptopnya.

“Ngusir nih,” aku mendelik. “Sudah ditolongin, bilang makasih nggak.”

“Makasih Uni, lain kali bantuin aku lagi ya,” Arsi memperlihatkan senyum manjanya. Bikin aku jadi greget.

“Eh, Si, jalan yuk,” aku melirik jam di pergelangan tangan. Masih cukup waktu untuk pergi sebentar ke Gelanggang Remaja sekedar cari camilan kunyahan sore.

“Nggak kesorean nih pulangnya nanti,” Arsi juga melihat jam. Dia tahu betul, kalau aku pulang kesorean bakal kena omel Mama.

“Nggak, makanya pergi sekarang,” aku meyakinkan.

“Oke,” Arsi beranjak mengikutiku.

🍀🍀

Gelanggang Remaja sore ini tak begitu ramai. Kami pun tak butuh waktu lama untuk antri membeli makanan. Apalagi yang dipesan kalau bukan ceker ayam pedas, itu jajanan favoritku di sini, meskipun ada banyak stand makanan berderet, aku tetap tak merubah seleraku. Beda lagi dengan Arsi yang moodnya berubah-ubah. Bukan karena Arsi nggak punya makanan spesifik yang disukai, tapi Arsi ini tipe pecinta kuliner, kalau bisa semua jajanan dicoba, apalagi kalau namanya rada nyeleneh dikit, seperti tahu jletot, bakso petir, pisang ketawa pasti bakal langsung tertarik. Maklum korban judul, bukan korban iklan. Seperti sekarang, Arsi asyik menikmati seblak cekernya.

“Pon, di sana ada es kepal milo, cobain yuk,” nah kan baru juga dibilang, korban judul udah beraksi aja si Arsi. “Kamu mau nggak? Kalau mau aku pesankan juga,” Arsi beranjak dari tempat duduknya.

“Kamu yang bayarin,” candaku yang dijawab Arsi anggukan setuju. Arsi menuju stand penjual es kepal milo. Tak berselang lama dia pun kembali.

“Mana esnya?,” Arsi datang dengan tangan kosong.

“Sabar dong, masih dibikin, nggak lihat tuh antreannya panjang. Mentang-mentang lagi hits yang beli membludak,” setengah menggerutu Arsi kembali duduk. Iya, emang es kepal lagi nge-trend sekarang ini, biasalah, kalau ada yang hits dikit pasti langsung viral.

“Haha, dan kamu salah satu korban jajanan kekinian,” ledekku pada Arsi.

“Bukan korban, tapi kita tuh harus nyoba hal-hal baru untuk nambah inspirasi,” Arsi kembali menyuapkan seblak ke mulutnya.

“Emang es kepal milo mendatangkan inspirasi?,” tanyaku usil.

Lihat selengkapnya