PART 14
Finally, I’m on my way to meet the reason of my wait
I haven’t forgotten, even in my dreams
I couldn’t forget, even in my sleep
I will call out your name
Just wait, I’m going to find you, who I lost
Enduring through the tangled time
With my feet that won’t chase after the future
I will run till I run out of breath
(Above the time - IU)
***
GIA
Kenapa dunia ini selalu dipenuhi dengan standart? Untuk jadi pegawai negeri tingginya harus di atas 160 cm, untuk diterima di perguruan tinggi favorit juga nilainya harus sama bagusnya, bahkan untuk lolos dari remidi nilainya harus di atas KKM. Dan ketika seseorang gak bisa mencapai standart tersebut dia akan dianggap gagal.
Sama seperti gue sekarang. Satu minggu berlalu. Gue udah usaha mati-matian buat belajar hafalin semua rumus-rumus yang bikin kepala gue serasa mau pecah tapi apa hasilnya? Nilai gue tetep berada di bawah KKM. Tahu gak gimana rasanya memperjuangkan sesuatu tapi kita gak dapat apa-apa? Asli, sakit tapi gak berdarah.
Sebelum kertas ini ada di tangan gue, gue udah membayangkan bakalan pulang dengan wajah bahagia ngasih kertas-kertas ulangan gue ke mama dan gue dapat ucapan 'Mama bangga sama kamu'. Sesimpel itu tapi percuma. Semuanya pupus.
Ketika untuk pertama kalinya gue sedih saat menerima kertas-kertas bertuliskan angka 5 gue berharap ada seseorang di akan mengerti kalau gue udah berusaha. Bukan seperti yang dulu cuma diem. Emang takdir aja yang lagi gak memihak gue. Tapi siapa?
"Mau lo lihatin kertas itu sampek matahari tenggelam juga gak bakalan berubah."
Nama dia bahkan gaada di pikiran gue sekarang, tapi dia datang. Gue gak tahu gimana dia bisa nemuin gue di rooftop atas belakang kelas 11 ini, yang gue tahu dia duduk di sebelah gue dengan wajahnya yang gak menunjukkan reaksi apa-apa.
"Sorry ya Pak Guru, gue belum bisa buat lo bangga sebagai murid." Kalimat gue mungkin kedengeran lagi bercanda tapi gue ngucapin pakai nada datar seperti yang dia lakuin biasanya. "Jangankan jadi murid, gue jadi anak aja gak guna."
Dia ngelirik gue tajam. "Ucapan adalah doa."
"Emang udah dikabulin doanya," sarkas gue. Dia ngambil kertas-kertas di tangan gue lalu ia teliti satu per satu. Gue tahu sedikit banyak dia pasti masih curiga sama Pak Tresno. "Mau lo lihatin sampek fajar subuh juga nilai gue tetep sama."
Sarga menghela napas. Dia kelihatan lagi mikir serius tapi gue gak tahu apa yang dia pikirin. "Jawaban gue yang salah kan bukan Pak Tresno yang salah ngoreksi?"
"Gue lupa ajarin lo rumus nomer 24 ini kemarin, sorry." Entah dia berusaha menghibur gue atau dia benar-benar ngrasa bersalah.
"Satu nomer gak pengaruh kali! Palingan naik dua angka. Udahlah, emang iq gue di bawah rata-rata mau gimana lagi!" Ujar gue berusaha tenang padahal dalam hati gue juga pingin teriak di hadapan dia. Di hadapan semssta lebih tepatnya.